Hari itu, di ruang kerjanya yang luas di lantai teratas Abimana Group, Jafran duduk di balik meja kayu gelap dengan cahaya matahari menembus jendela besar. Kopi panas masih mengepul di mug porselen di samping laptopnya, tapi ia hampir tak menyentuhnya. Matanya terpaku pada layar, jari-jarinya bergerak cepat di keyboard, membuka satu situs informasi bisnis, lalu berpindah ke media sosial, direktori perusahaan, dan artikel koran online.
Ia mencari semua petunjuk tentang Zumena. Sedikit pun detail yang bisa ia temukan. Nama terakhir yang ia tahu hanyalah Sanders, sebuah keluarga yang di kalangan bisnis cukup dikenal—namun informasi pribadi Zumena nyaris nihil. Tidak ada akun media sosial yang jelas, tidak ada foto publik selain beberapa foto acara yayasan yang pernah muncul di media lokal. Bahkan dalam laporan acara amal atau gala, Zumena selalu digambarkan sebagai “pendiri yayasan Sanders” atau “anggota keluarga Sanders”, tanpa informasi lain.
Jafran menghela napas panjang. "Misterius, ya … tentu saja," gumamnya pelan, sedikit tersenyum tipis. Ia terbiasa mengungkap rahasia dan mengelola informasi, tapi menghadapi wanita ini … berbeda. Zumena bukan hanya menarik secara fisik; ada aura yang tak bisa ia baca, sisi rahasia yang sengaja disembunyikan.
Ia menutup laptop sejenak dan menatap keluar jendela. Kota tampak sibuk, kendaraan berdesakan di jalan raya, orang-orang bergerak dengan ritme hidup masing-masing. Namun pikirannya tetap hanya satu: Zumena. Ia membayangkan wajahnya, senyum tipisnya, tatapan mata cokelat gelap yang seolah menantang sekaligus menjaga jarak.
Dengan hati-hati, ia mulai menelusuri jejaring bisnis keluarga Sanders. Ada beberapa perusahaan yang terdaftar di bawah nama Sanders, mulai dari Bengkel, Real estate hingga Yayasan sosial. Jafran mencatat satu per satu, menyusun diagram kecil di kertas tebal di sebelah laptopnya. Ia ingin memahami latar belakang Zumena, bukan sekadar ingin tahu—ia ingin tahu apakah ia bisa memasuki dunianya tanpa merusak batasan yang ia pertahankan.
Dalam pencarian itu, ia menemukan sesuatu yang menarik. Yayasan panti jompo yang kemarin mereka kunjungi bukanlah satu-satunya proyek sosial keluarga Sanders. Ada juga beberapa program pendidikan anak jalanan dan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi. Jafran menatap daftar itu, kagum. Tidak banyak orang muda yang bersedia menanggung tanggung jawab seperti itu, apalagi dengan keterlibatan langsung seperti yang Zumena lakukan.
Ia menyalakan ponsel dan mengetik pesan untuk asistennya, tapi tidak mengirimkan apa pun. Hatinya menimbang: ia tidak ingin terlihat seperti stalker atau terlalu terburu-buru. Tapi naluri bisnisnya memberi saran, bahwa informasi lebih banyak adalah kunci.
Jafran pun memutuskan untuk menghubungi salah satu rekan bisnis lama yang mungkin memiliki koneksi dengan keluarga Sanders. Ia menekan tombol panggilan di ponsel, menunggu dering sambil memutar kursi, memandangi skyline kota. Dering terdengar beberapa kali sebelum suara berat seorang pria terdengar di ujung sana.
“Jafran … lama tak dengar kabar,” suara rekan itu, jelas mengenalinya.
“Halo, Arman. Aku butuh informasi, agak … personal. Tentang keluarga Sanders. Kamu tahu siapa mereka, bisnis mereka, proyek-proyek yang mereka jalankan?” Jafran bertanya hati-hati, nada suara netral.
Ada jeda di sisi lain. “Sanders … hmm … maksud kamu, Zumena Sanders? Anak perempuan keluarga itu?”
Jafran tersentak sedikit. “Ya, kamu tahu dia?”
“Sedikit. Keluarga itu memang cukup tertutup, tapi proyek sosial mereka tidak begitu rahasia. Anak perempuan mereka … Zumena, sangat terlibat di yayasan panti jompo dan program beasiswa. Tapi orang itu … misterius. Jarang muncul di publik, hampir tidak ada akun media sosialnya yang nyata. Kamu tertarik padanya?”
Jafran tersenyum tipis di balik telepon. “Mungkin. Bisa kamu bantu aku memahami lebih banyak tentang siapa dia? Secara profesional, tentu saja.”
Arman tertawa ringan. “Hati-hati, Jafran. Kamu tahu, wanita itu punya kepala sendiri. Tidak mudah ditembus. Tapi kalau kamu serius … aku bisa kasih beberapa kontak staf yayasan. Tapi jangan menghubungi dia secara pribadi, itu bisa salah langkah.”
Jafran mengangguk, meski Arman tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Arman. Cukup itu dulu. Aku akan atur langkah selanjutnya dengan hati-hati.”
Panggilan berakhir. Jafran menatap layar laptop lagi, menatap daftar kontak yayasan yang baru saja ia catat. Ada rasa lega terselip—setidaknya ia bisa mulai menelusuri dunia Zumena lebih sistematis. Tapi di balik itu, rasa penasaran dan ketertarikan pribadi tetap ada, lebih kuat dari yang bisa ia akui pada dirinya sendiri.
Ia menatap ke luar jendela sekali lagi. Kota berdenyut, orang-orang bergerak di jalur masing-masing, tapi pikirannya tetap pada wanita itu—pada senyum tipisnya, tatapan matanya yang menyimpan rahasia, dan keanggunan yang sulit ditembus. Ia tersenyum tipis, menegaskan pada dirinya sendiri:
“Zumena … aku akan menemukan cara mengenalmu. Perlahan, tapi pasti. Dan bukan sekadar informasi … aku ingin tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Beberapa jam kemudian, setelah menutup laptop, Jafran berdiri dan berjalan ke jendela. Sinar matahari mulai memudar, digantikan lampu kota yang menyalakan malam. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara malam masuk melalui jendela yang terbuka sedikit.
Di ruang sepi kantornya, ia memikirkan malam-malam yang sudah mereka lalui—malam di mobil, tatapan mata Zumena yang membekas. Ada sensasi panas yang belum padam, rasa penasaran yang membuatnya ingin lebih dekat, tapi juga kesadaran bahwa ia harus melangkah hati-hati.
Ia menyalakan ponsel lagi, menatap pesan yang belum dibalas. Zumena tetap diam. Tidak ada respons. Dan itu … justru membuatnya semakin penasaran. Mengapa wanita itu begitu berhati-hati? Mengapa ia menjaga jarak begitu tegas, tapi tetap meninggalkan jejak yang membara dalam ingatannya?
Jafran tersenyum tipis, memutar kursi ke arah laptop, dan mulai menyusun strategi. Dia akan menggunakan semua koneksi, semua informasi yang bisa ia dapatkan, tapi dengan cara yang tidak membuat Zumena merasa terganggu. Tidak ada tekanan, tidak ada pemaksaan. Hanya … ketekunan dan rasa ingin tahu yang tak bisa diabaikan.
Ia menutup mata sejenak, membiarkan imajinasinya mengalir: Zumena berjalan di taman panti, menatap penghuninya dengan penuh kelembutan; Zumena yang tersenyum tipis di mobil, rambutnya kusut oleh angin; Zumena yang menyimpan rahasia besar, tapi tetap menawan hatinya. Semua itu bersatu di pikirannya, membentuk gambaran yang sulit untuk dilupakan.
Ketika malam semakin pekat, Jafran menyalakan lampu meja, membuka laptop kembali, dan mulai menulis catatan, daftar, dan strategi. Ia tahu, perjalanan untuk memahami Zumena baru saja dimulai. Tidak hanya melalui fakta dan informasi, tapi melalui interaksi, perhatian, dan—jika waktunya tepat—mungkin melalui hati dan rasa saling percaya.
Dan di dalam hatinya, satu janji terbentuk:
“Zumena … aku akan menembus dindingmu, pelan-pelan. Aku akan menunggu, tapi aku tidak akan menyerah. Aku harus tahu, siapa dirimu sebenarnya.”
Dengan pikiran itu, Jafran menutup laptop dan menatap kota yang kini berkilau oleh cahaya lampu. Ada rasa puas terselip, tapi juga ketegangan yang menggairahkan. Ia menyadari satu hal: Zumena bukan wanita biasa, dan ia bukan pria yang bisa menyerah begitu saja.
Dan dalam keheningan malam itu, Abimana Group tetap berdenyut, tapi hati Jafran berdetak lebih kencang—untuk satu nama yang tidak pernah lepas dari pikirannya: Zumena Sanders.