(++) Jejak yang Tak Bisa Dihindari.

1111 Kata
Lampu hangat pameran lukisan menyorot setiap kanvas, menciptakan bayangan lembut di lantai yang mengkilap. Jafran melangkah pelan, matanya terus mencari sosok yang tak pernah lepas dari pikirannya. Dan di ujung ruangan … ada dia. Zumena berdiri di depan lukisan abstrak, matanya menyapu garis-garis warna dengan fokus penuh. Rambut panjangnya jatuh di bahu, gaun hitam sederhana tapi elegan membingkai tubuhnya, seolah ia sendiri bagian dari karya seni itu. Jafran menelan ludah, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia ingin mendekat, ingin mengobrol, tapi rasanya harus hati-hati. Kemudian melangkah perlahan ke arah restroom, menyadari ada Jafran yang mengikuti dari belakang. Dadanya berdebar, tapi ia tidak ingin menunjukkan ketakutan. Ada campuran amarah dan rasa penasaran di dalam hatinya. “Kenapa kamu mengikuti aku?” suaranya tiba-tiba terdengar, tajam, tetapi ada nada bergetar yang sulit ia sembunyikan. Jafran menoleh sebentar, wajahnya serius namun tenang. “Aku tidak sengaja, Mena … Aku memang ada di pameran ini, tapi aku tidak berniat mengikutimu sampai sini. Aku hanya ….” Ia berhenti, mencari kata yang tepat. “… hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.” Zumena menatapnya dengan mata yang menyala-nyala, setengah marah, setengah ingin menantangnya. “Kalau kamu benar-benar tidak sengaja, kenapa bisa sampai di sini? Kenapa tidak di tempat lain?” Ia melangkah sedikit lebih dekat, matanya menantang Jafran. Jafran menghela napas, merasa jantungnya diperas oleh tatapan tajam itu. “Karena … karena aku kesal, Mena. Kesal karena kamu menghilang begitu saja. Pesanku tak dibalas, teleponku tak dijawab … kamu seperti menghilang dari hidupku begitu saja.” Zumena mendengus, menahan emosi yang ingin meledak. Ada dorongan kuat di dadanya, ingin menampar Jafran—tapi ada sesuatu yang lain, jauh lebih berbahaya, membakar dari dalam. Tanpa sepatah kata lagi, ia melangkah lebih dekat lagi, dan tiba-tiba bibirnya menempel pada bibir Jafran. Ciuman itu tegas, panas, dan membungkam kata-kata yang ingin keluar dari mulut Jafran. Tubuh mereka menempel, setiap detik menyalurkan hasrat yang tertahan sejak malam-malam sebelumnya. Zumena merasakan tangan Jafran menempel di pinggangnya, menariknya lebih dekat, dan untuk sesaat, semua amarahnya larut bersama gairah yang meledak di dadanya. Jafran membalas ciuman itu dengan hangat, tangannya menyisir rambutnya, menekan tubuhnya ke arah tubuhnya sendiri. Zumena menahan napas, merasakan gelombang gairah yang tak terkendali, namun ada juga rasa gugup—rahasia yang belum siap ia ungkap, batas yang belum ia lepaskan. “Aku … aku tidak seharusnya …,” bisik Zumena di sela ciuman, suaranya serak tapi masih tegas. “Tapi kamu ingin …,” jawab Jafran, membelai pipinya dengan lembut. “Aku bisa merasakannya, Mena. Kamu menginginkannya.” Zumena menatapnya sebentar, mata cokelatnya berkobar. Tanpa kata lebih banyak, ia menggenggam jas Jafran, menekan bibirnya lagi ke bibir Jafran, lebih agresif, lebih panas. Tubuhnya menempel penuh, dan dorongan yang selama ini ia tahan akhirnya meledak. Mereka bergerak cepat, Zumena menuntun Jafran ke dalam restroom kecil di ujung lorong, pintu diketuknya sebentar tapi tak ada yang membalas. Lampu neon di restroom memantul di keramik dingin, menciptakan refleksi samar pada wajah mereka. Zumena menutup pintu di belakang mereka, tubuhnya menempel ke pintu sejenak, napasnya tersengal. Jafran masih berdiri di dekat wastafel, matanya terpaku pada setiap gerak tubuhnya, detak jantungnya seolah berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Zumena menatapnya tajam, ada kemarahan terselip di mata cokelatnya, tapi di bawahnya ada hasrat yang tak bisa ia sembunyikan. “Kenapa kamu tidak bisa membiarkanku sendiri?” bisiknya, suaranya serak tapi penuh gairah. Jafran melangkah pelan, mendekat, tangannya meraih wajah Zumena, menatap matanya dengan intens. “Karena aku … tidak bisa,” jawabnya rendah. “Aku ingin kamu, Mena. Aku ingin setiap bagian dari dirimu, meski kamu marah padaku.” Zumena menggigit bibirnya, napasnya tercekat. Tubuhnya sedikit mundur, tapi tak mampu menahan diri dari tarikan Jafran. Tangan Jafran menyusuri punggungnya, menekan tubuhnya ke arah d**a yang hangat. Zumena merasakan gelombang panas merambat ke seluruh tubuhnya, detik demi detik gairah yang selama ini ia tahan, meledak begitu saja. “Jafran ….” Suara itu nyaris terdengar sebagai desahan. “Ini salah ….” “Tapi kamu mau ….” Jafran membalas dengan lembut namun tegas, tangannya menyisir rambutnya, menekan bibirnya ke leher Zumena, mencium lembut tapi panas. Zumena menutup mata, membiarkan tubuhnya menempel penuh, setiap sentuhan mengirim getaran liar ke seluruh tubuhnya. Zumena merasakan lengannya terbuka, menahan tubuh Jafran lebih dekat, bibirnya kembali menempel di bibirnya, ciuman itu lebih panas dari sebelumnya. Napas mereka bercampur, tubuh menempel, dan Zumena merasa setiap ketegangan dalam dirinya larut ke dalam hasrat yang membara. Jafran menunduk, tangan kanannya menyusuri pinggangnya, menekan lebih erat. Zumena menahan napas, tubuhnya bergetar di pelukan Jafran. Ia tahu, ini salah, tapi rasanya terlalu enak untuk dihentikan. Setiap sentuhan, setiap bisikan, membuatnya semakin liar. “Mena … aku ingin kamu,” Jafran berbisik, suaranya serak, memeluk tubuhnya lebih erat. “Aku tidak peduli dengan batas, aku hanya ingin kamu di sini, bersamaku.” Zumena menatap matanya, bibirnya tersenyum tipis tapi penuh gairah. Jafran menunduk, mencium bibirnya lagi dengan liar, membiarkan tubuh mereka menempel penuh. Zumena merasakan tangannya menelusuri punggung Jafran, menekannya lebih dekat, dan perlahan, mereka bergerak ke arah wastafel, tubuh menempel ke permukaan dingin. Ciuman itu berubah menjadi sentuhan panas, tangan mereka saling menjelajah, setiap gerak menyalurkan gairah yang meledak dalam d**a. Zumena merasakan desahan Jafran di telinganya, membakar semua ketegangan yang selama ini ia tahan. “Jafran … aku ….” Zumena menahan napas, tubuhnya menggeliat di pelukan pria itu. “Aku … tidak bisa ….” “Aku tahu ….” Jafran membalas dengan suara rendah, tangannya semakin menelusuri tubuhnya, bibirnya kembali menempel di lehernya. “Itu sebabnya aku di sini. Aku ingin kamu menyerah padaku, Mena.” Zumena menutup mata, membiarkan semua ketegangan meledak. Napasnya tercekat, tubuhnya bergetar, dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya benar-benar terbawa oleh gairah yang membara. Jafran merasakan setiap reaksi tubuhnya, setiap desahan, setiap getaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya, dan itu membuatnya semakin liar. “Aku …,” Zumena tergagap, tubuhnya menggeliat, “aku … tidak bisa menahan ….” "Bersama, Mena." Beberapa menit berlalu, dan mereka berdua terengah di dalam ruangan itu, tubuh menempel, napas bercampur, dan mata bertemu dalam keheningan yang penuh gairah. Zumena tahu, ini hanya permulaan, tapi untuk saat ini, semua ketegangan, semua batas, semua kerahasiaan, larut dalam hasrat yang membara. Zumena menoleh sebentar, mata masih berkobar, dan dengan suara serak tapi lembut, ia berbisik, “Aku … tidak bisa menghindarimu.” Jafran tersenyum tipis, menatap matanya dalam-dalam. “Aku tidak akan pergi, Mena. Aku ingin kamu tahu itu.” Dan malam itu, di ruang kecil itu, gairah yang terpendam bertemu dengan keberanian Zumena yang baru muncul. Mereka menyerah pada detik-detik liar yang membara, sebuah malam yang tak bisa dihapus dari ingatan—malam di mana hasrat, emosi, dan rahasia yang tertahan menemukan jalannya keluar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN