33. Abuse

1378 Kata
"Seneng banget ya Pris, akhirnya mama kamu bisa pulang dengan kondisi yang kelihatan jauh lebih baik." ujar Hana yang sekarang berada di rumah Prisa karena ikut menemani Prisa membawa mamanya pulang dari rumah sakit. Mereka kini sedang ada di kamar Prisa, ada beberapa barang dan pakaian yang juga harus di rapikan dan Hana dengan senang hati membantu bahkan sampai sudah malam seperti sekarang. Prisa tersenyum, "iya, thanks banget ya Han kamu mau repot nemenin aku bawa mama pulang, mana masih disini bantu beres-beres. Maklum, karena keseringan di rumah sakit, rumah jadi ga begitu ke urus." "Iya sama-sama, aku seneng kok bantuin kamu gini." "Pris, kamu sama Pak Deni beneran udahan?" tanya Hana dengan suara agak pelan pada Prisa. Prisa tertawa kecil, "udahan gimana? Mulainya dari mana memang??" "Sebenernya kemarin aku ketemu sama Pak Deni, dia nanyain kamu. Dia juga cerita kalau kamu udah bener-bener ga mau ada urusan lagi sama dia. Bener Pris? Galau banget kelihatannya si Pak Deni." Prisa mengangguk, "keputusan yang sangat tepat bukan?" Hana tidak bisa langsung menjawab, dia terdiam karena ia juga sudah mendengarkan cerita dari sisi Deni. Awalnya memang ia juga berpendapat Prisa harus meninggalkan Deni, tapi setelah mendengarkan kesedihan Deni secara langsung ia juga jadi ikut ragu. Namun sekarang ia bingung harus bagaimana cara bicaranya dengan Prisa. "Pris, jujur aku nggak maksud ikut campur atau ngebela Pak Deni sama sekali..." Hana mulai memberanikan dirinya bicara. Prisa menatap Hana, "ada apa?" "Waktu Pak Deni cerita ke aku, aku jadi kasihan sama dia." "Memangnya dia cerita apa?" "Dia beneran sesayang itu kayaknya sama kamu Pris. Dia juga kecewa sama keluarganya dan merasa bersalah sama kamu. Dia sekarang pengen banget perjuangin kamu dan ngelawan pemikiran keluarganya. Dia juga ngerasa bersalah banget karena saat masalah ini berlarut-larut dia juga sempat bicara hal yang nggak enak sama kamu dan mungkin bikin kamu ngerasa semakin sakit hati." "Aku tahu Han, dia udah coba nyampain itu ke aku." "Lalu?" Prisa menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan sambil menggeleng, "aku nggak bisa." "Jadi selama ini cuma Pak Deni ya yang ada perasaan sama kamu? Kamu enggak?" Prisa tidak bisa langsung menjawab, dia menggigit bibir bawahnya sekilas sebelum menjawab, "sebenernya aku sayang sama dia Han. Kalau nggak sayang nggak mungkin aku rasanya kacau dan sedih banget karena masalah ini, pastinya aku akan langsung tinggalkan saja tanpa pikir panjang." "Terus apa yang bikin kamu nggak mau? Bukankah waktu itu kamu bilang kamu mau perjuangin tapi kayaknya Pak Deni nggak bakalan bisa. Tapi sekarang kelihatan jelas kalau Pak Deni juga mau perjuangin kamu dan sadar kalau keluarganya salah." "Realita dan logika." Hana langsung kaget dan mengerutkan dahinya menatap Prisa, "maksud kamu apa Pris?" "Saat ini yang aku butuhin adalah hal nyata. Aku nggak punya waktu dan tenaga lebih untuk hal semacam itu. Untuk perjuangin hal yang bahkan aku nggak tahu ini ujungnya bakal gimana. Mama dan Nania sedang sangat butuh aku Han. Mama sakit yang butuh uang yang sangat tidak sedikit. Nania bahkan sudah berpikir untuk nggak lanjut kuliah, bahkan ke sekolah aja dia udah nggak sesemangat sebelumnya karena tahu semua permasalahan keuangan ini." Prisa menjelaskan dengan napas yang terdengar sedikit sesak. "Pris..." "Aku butuh uang, memang Pak Deni akan selalu ada di sisi aku dan bantu aku sebisanya, aku tahu dia pasti akan melakukan itu untukku. Tapi aku yakin juga kalau itu nggak akan cukup, aku tahu kapasitasnya. Bahkan hanya dengan menerima sedikit bantuannya saja aku akan dihadapkan dengan permasalahan di belakangnya yang aku sendiri nggak tahu apakah aku masih bisa menghadapinya atau tidak." Prisa mengusap sudut matanya dengan cepat agar tidak ada air mata yang jatuh. "Han, kamu tahu nggak kenapa mama bisa pulang dengan keadaan yang terlihat jauh lebih baik?" lanjut Prisa bertanya pada Hana. "Kenapa?" "Aku dikasih uang oleh Pak Dehan atas permintaan Manda, adiknya Pak Dehan. Nggak sedikit, dia ngasih banyak yang bisa aku pakai untuk beberapa pengobatan mama selanjutnya dan bayar kebutuhan lain juga." Hana membelalak kaget tidak menyangka, "serius Pris? Semuanya dari Pak Dehan?" Prisa mengangguk, "awalnya aku tidak mau menerima ini. Kamu tahu kan kalau ini terlihat sangat memalukan? Tapi aku benar-benar sudah buntu dan gak tahu lagi harus bagaimana. Akhirnya aku terima bantuan itu. Kalau aja aku mutusin untuk tetap berjuang dengan Pak Deni, otomatis aku nggak bisa nerima bantuan ini." Hana mengernyitkan dahinya, "kenapa tidak bisa?" Prisa menggeleng, "gimana jadinya kalau Pak Deni tahu kalau Pak Dehan tiba-tiba ngasih aku bantuan sebanyak itu secara tiba-tiba? Terus gimana juga kata keluarga nya? Apa menurut kamu aku bisa nutup-nutupin hal ini? Dan otomatis setelah menerima bantuan ini aku harus semakin mengakrabkan diri pada Manda dan juga Pak Dehan itu sendiri. Lalu gimana dengan Pak Deni? Aku tahu ini hanya akan memperibet segalanya. Aku juga bingung gimana jelasin permasalahan yang ada di kepalaku ini." Walau awalnya Hana bingung, namun setelah ikut coba memikirkannya, ia mulai paham dengan permasalahan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Prisa. Hana mengangguk paham, "ah.., aku sekarang paham apa permasalahan yang kamu maksud Pris." "Untuk saat ini aku hanya ingin meminimalisir masalah dan mencari solusi atas semua masalah dan beban yang ada." "Tapi Pris..., kalau kamu berpikir begitu, bukankah itu artinya..." Hana coba menyampaikan sesuatu tapi karena ragu ia memilih untuk kembali diam. Prisa menghembuskan napas kasar sambil memijat pangkal hidungnya, "aku sekarang terlihat hanya memikirkan diriku sendiri bukan?" Hana menatap Prisa dengan pikiran yang terasa ikut kacau, "jatuhnya kamu seperti ninggalin Pak Deni karena kamu nggak bisa dapatin apa yang kamu butuhin dari dia. Aku tahu kok Pris kamu nggak ada niatan seperti itu, hanya saja takutnya nanti Pak Deni akan berpikir demikian." Prisa tertawa, atau lebih tepatnya tertawa depresi, "emang kok Han, aku nggak mau sama Pak Deni karena nggak ada yang bisa aku dapatin dari dia, nggak ada yang bisa aku manfaatin dari dia. Pikirannya sebelum ini tentangku memang benar adanya. Kalau aku terus sama dia yang ada hanya aku yang terus merasa rugi. Aku tidak dapat apa yang aku butuhkan, tapi bisa dipastikan aku akan mendapatkan hinaan lagi." "Prisa??" Hana kaget mendengar ucapan Prisa. Tidak mungkin Prisa bicara seperti barusan. "Aku ingat kata-kata Bu Lia dan aku rasa itu memang benar. Saat ini siapapun akan melihatku sebagai orang yang akan memanfaatkan siapapun atas kondisiku. Walaupun aku berusaha untuk baik, ucapan dan pandangan orang-orang pasti sama saja. Lihat saja bagaimana aku selama ini Han, aku nggak mau bergantung pada siapapun dan memberatkan siapapun tapi aku tetap saja dihina dan direndahin. Sudahlah kesulitan sendiri, dipandang buruk pula. Aku udah capek kalau harus dengerin apa kata orang." "Tapi itu bukan berarti buat kamu berubah jadi orang lain kan, Pris?" Prisa menggeleng, "ini masih aku kok. Hanya saja Prisa yang lebih bisa ngehadapin kejamnya realita. Aku nggak mau selalu berlagak baik dan idealis, nyiksa banget. Aku baru sadar kalau aku harus sedikit lebih logis dan tak terus berusaha seperti orang suci." Hana terdiam, ia ingin sekali menyadarkan Prisa kalau ia sedang berada pada pikiran yang salah. Tapi disisi lain Hana merasa tidak pantas mengatakannya melihat seberapa berat dan sulitnya jalan yang sudah dilewati Prisa selama ini. "Jadi jatohnya sekarang kamu malah mau manfaatin kebaikan Pak Dehan?" Prisa kembali memijat kepalanya entah sudah untuk ke berapa kali. "Pris? Are you okay now?" tanya Hana mulai khawatir dengan Prisa. Terlihat jelas kalau wanita itu bahkan sudah lelah dengan pikirannya sendiri. "Selama Pak Dehan ingin terus membantuku, aku tidak akan menolaknya. Aku akan terus melakukan apapun yang membuatnya dengan senang hati terus membantu. Aku tidak peduli lagi dengan harga diriku, saat ini satu-satunya orang yang bisa membantu semua masalahku adalah orang seperti Pak Dehan. Termasuk kalau Pak Deni menyadari ini dan menilaiku memang hanya ingin memanfaatkan orang lain seperti yang pernah ia katakan padaku, aku sudah tidak peduli lagi. Nyatanya aku memang sedang memanfaatkan orang lain, tepatnya Pak Dehan." "Pris, bahkan kamu rela lepasin orang yang kamu sayang seperti Pak Deni, aku tahu kamu pasti sudah sangat kesulitan dan lelah selama ini," Hana ikut sedih dan langsung bergerak memeluk Prisa. * "Nania? Kamu ngapain diam disana?" mama memergoki Nania yang sedang berdiri di depan kamar kakaknya. Nania tampak kaget, "eh, enggak ngapa-ngapain kok." "Kamu udah panggil mbak mu sama Mbak Hana keluar buat makan? Itu makanan udah siap dari tadi loh, mama juga udah nyuruh kamu sejak tadi." "Iya ini aku baru mau manggil. Mama duluan aja, nanti kita nyusul." "Cepat ya sayang." "Iya ma."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN