Sore ini Prisa berjalan menghampiri mobil yang terparkir di depan shelter yang ia rasanya sudah akrab sekali, yaitu mobil milik Dehan.
"Ayo masuk," sapa Dehan menurunkan kaca mobil melihat Prisa tampak tidak langsung membuka pintu mobil sat sudah mendekat.
Prisa langsung tersenyum dan masuk ke dalam mobil di samping Dehan yang duduk di kursi kemudi, "selamat sore, pak."
"Sore, kita langsung jalan aja ya."
"Baik, pak. Oh iya, semalam bapak bilang kita jalan keluar bareng karena sekalian sama-sama dari shelter. Tapi jadinya bapak malah jemput saya. Bapak nggak jadi ke shelter hari ini?" tanya Prisa saat mobil mulai melaju. Ia sama sekali tidak melihat Dehan hari ini selama di shelter.
"Jadi kok, tadi pagi saya ke shelter. Tapi tampaknya kamu sibuk sekali sampai tidak melihat saya." jelas Dehan melirik Prisa sambil tertawa.
"Eh? Serius pak? Kok bisa saya nggak lihat ya? Maaf ya pak."
"Wajar kok, saya tadi cuma sebentar. Saya harus balik lagi karena ada yang harus saya kerjakan."
"Pak Dehan lagi sibuk hari ini?"
"Udah selesai kok, bahkan sebelum jemput kamu saya juga sempat antarin Manda."
"Kemana, pak?"
"Ke rumah kamu."
Mata Prisa terbuka lebar karena kaget, "ke rumah saya??"
"Iya, katanya nyusulin Gama sama Nania. Tadinya dia mau pergi bareng Gama, tapi dia nya telat karena ada kelas khusus dulu makanya nyusul aja saya antar. Katanya cuma mau main ngobrol aja sih."
Prisa mengangguk, "tahu gitu kenapa nggak ajakin aja biar kita jalan sekalian ramai-ramai, pak?"
Dehan terkekeh pelan, "sudah keduluan bilang ke kamu kita cuma keluar berdua."
"Ya sebenernya nggak masalah sih, Pak. Ngomong-ngomong saya bau ga sih, pak?" tanya Prisa tiba-tiba sambil mencium badannya sendiri.
"Bau apa?"
"Bau anjing."
"Hah!?" Dehan terkejut menoleh ke arah Prisa.
"Eh, maksud saya kan seharian ini saya di shelter dan hari ini saya banyak ngurusin anjing gitu pak, takutnya baunya tinggal di saya. Tapi tadi saya udah bersih-bersih dikit, terus ganti baju dan pakai parfume kok pak." Prisa dengan cepat menjelaskan apa yang sebenarnya ia maksud.
Dehan langsung tertawa, "oalah, saya kira apa. Nggak kok, nggak bau apa-apa, malahan wangi."
Prisa tertawa malu, "syukurlah."
"Kita mau kemana ya?" tanya Dehan karena mereka masih belum memiliki tujuan.
"Saya juga nggak tahu pak, kan bapak yang ngajakin."
"Saya juga nggak punya ide, kamu ada keinginan ke suatu tempat nggak? Kan judulnya sekarang saya mau terima kasih ke kamu, jadinya ya terserah kamu mau kemana, saya akan ikutin."
"Hm...," Prisa coba berpikir kemana ia ingin pergi, lagian jarang-jarang ia bisa pergi bebas keluar seperti ini karena terlalu sibuk dengan berbagai hal.
"Kemana aja bebas nih, pak?" Prisa bertanya lagi untuk memastikan pada Dehan yang menunggu jawaban.
Pria itu mengangguk, "selagi masuk akal dan bisa dijangkau ya bebas. Apa kamu sudah dapat ide?"
"Kalau ngejar sunset jam segini masih bisa nggak sih, pak?"
"Kamu mau lihat sunset?"
"Kalau boleh sih, pak."
Dehan melihat jam tangan hitam yang melingkar di tangan kirinya, "bisa sepertinya, saya tahu tempat yang bagus. Kita kesana? Atau kamu punya tempat yang lebih spesifik?"
Prisa langsung tersenyum senang, "saya ikut bapak saja."
"Baiklah, kita langsung kesana dan semoga saja kita sampai tepat waktu."
*
"Sepertinya kita sampai tepat waktu," ujar Dehan pada Prisa saat kini mereka tengah berjalan di area dermaga. Tidak hanya mereka, tapi ada beberapa orang lain juga yang sepertinya memiliki niat yang sama dengan mereka yaitu menunggu sunset sambil berjalan di sebuah jembatan yang cukup besar ini.
"Bagus ya pak tempatnya." Prisa tersenyum senang dan mereka perlahan berhenti melihat ke arah laut yang juga memperlihatkan matahari yang sudah mulai rendah mendekat ke garis lautan lepas.
"Kamu belum pernah kesini sebelumnya?"
Gadis itu menggeleng, "belum, ini yang pertama kalinya, pak. Bapak sering?"
"Hm, cukup lama sejak terakhir kali saya kesini. Dulu saya sering dengan Manda kesini, dia sangat suka tempat ini, dulu bahkan hampir setiap sore dia merengek minta kesini."
Prisa tertawa melirik Dehan yang berdiri disampingnya sambil bersandar pada tangan jembatan di hadapan mereka, "artinya Manda suka sekali tempat ini."
Dehan menggeleng, "bukan, lebih tepatnya dia suka jajanan disini. Dulu dekat sini ada yang jualan makanan manis yang Manda nggak pernah absen belinya. Sekarang yang jualan sudah nggak ada lagi."
"Oh, makanya Manda nggak minta kesini lagi?" Prisa coba menebak.
"Nah, kayaknya sih gitu, dia ngejar si jajanan aja nampaknya."
Prisa tertawa, "dasar, ada-ada aja tingkahnya Manda ya, mas."
Dehan terdiam mendengar kata panggilan terakhir Prisa padanya.
Prisa yang tadinya tertawa langsung terdiam karena kaget, "eh astaga, maaf maaf, pak. Duh saya jadi salah panggil karena lagi bahas Manda. Soalnya Manda sering cerita-cerita tentang dia dan bapak, terus dia kan manggilnya Mas Dehan, saya jadi kebawa-bawa. Maaf banget ya, Pak Dehan."
Prisa terlihat sangat malu sekaligus merasa bersalah dan kurang sopan kepada Dehan. Bisa-bisanya ia bisa sembarang panggil.
Dehan yang tadinya juga agak kaget kini tertawa, "nggak usah minta maaf, nggak masalah kok. Lagian lebih nyaman manggil kayak gitu nggak sih dibanding 'bapak'? Umur kita tidak terlalu beda jauh dan kita juga lagi nggak di kantor. Malah kita juga sudah lumayan akrab satu sama lain bukan?"
Prisa kaget dengan respon Dehan, "eh? Nggak pak, saya jadi ngerasa nggak enak. Tadi itu emang murni salah saya kok pak."
"Udah lah Prisa, santai saja jangan terlalu kaku. Saya juga ingat kalau Manda pernah nanya, kenapa kamu selalu panggil saya bapak padahal kita udah sering sama-sama dan akrab? Dia malah nuduh saya yang terlalu sok jadi bos padahal udah bukan di lingkungan kerja lagi."
"Tapi kan, gimanapun bapak kan tetap bos saya. Bahkan di dua tempat sekaligus, termasuk shelter."
Dehan tertawa, "nurut Manda aja ya? Saya juga nggak mau kita terkesan kaku terus dan seperti apa yang Manda bilang."
"Hm, baiklah Mas Dehan."
Dehan tersenyum mendengar panggilan itu, sedangkan Prisa langsung menolehkan wajahnya ke arah lain sambil memegang pipinya yang terasa panas dan mungkin saja merah karena malu.
"Mataharinya sudah semakin rendah," ujar Dehan setelah beberapa saat mereka saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing saat melihat ke arah bentangan laut.
"Bagus banget ya, mas." jawab Prisa sambil menyisipkan rambutnya ke telinga karena sempat berantakan karena angin. Di sisi lain ia masih gugup memanggil Dehan dengan panggilan baru yang mungkin harus ia biasakan.
Dehan mengangguk sambil tersenyum melihat pemandangan, "benar-benar sudah lama sejak terakhir kali saya melihat sunset. Makasih ya sudah mengajak saya kesini."
"Harusnya saya yang berterima kasih sih, pak, eh maksud saya, Mas Dehan." Prisa masih memperbaiki lidahnya yang masih dalam masa penyesuaian, "saya juga sudah lama tidak melihat sunset seperti ini."
"Kenapa? Kamu terlalu sibuk?"
Prisa tertawa kecil, "ya nggak ingat aja sih pak, eh mas. Soalnya kalau ada waktu kosong saya lebih milih untuk istirahat, bukan pergi ke luar atau yang gimana gimana."
"Weekday kamu kerja di kantor, weekend kamu harus ke shelter. Dan di dalam waktu itu kamu juga harus jagain mama kamu yang kadang sakit. Kamu memang tampak sibuk dan sangat butuh istirahat."
Prisa tertawa mendengar penuturan Dehan, "Mas Dehan sendiri pasti juga lebih sibuk sekali."
"Tidak terlalu kok." Dehan dengan cepat menggeleng, "Prisa, apa boleh saya tanya sesuatu?"
"Boleh, memangnya mas mau tanya apa?"
"Saat ini kamu tulang punggung keluarga, kan?"
"Hm, mungkin bisa dibilang begitu."
"Sejak kapan? Eum, maksud saya, ayah kamu?" Dehan bertanya sedikit bingung dan ragu namun tampak begitu penasaran.
"Ooh itu, ayah saya meninggal waktu saya kelas 1 SMA, mas. Waktu saya sekolah mama saya masih kerja di pabrik, baru berhentinya waktu mama sakit yang kemarin ini. Jadi saya bener-bener sendirian jadi tulang punggung keluarga itu ya baru-baru ini, pak, eh maksudnya mas."
Dehan mengangguk, "kamu hebat ya."
Prisa menggeleng, "nggak juga kok. Saya masih kurang banget, nggak bisa menuhin semua keperluan secara mandiri. Kadang orang pada kasihan dan jujur saja kadang saya malu. Bahkan saya masih gugup buat persiapan kuliah Nania, entah saya sanggup apa tidak, tapi saya sudah terlanjur janji. Eh, maaf mas, saya malah jadi cerita panjang lebar," Prisa tersadar dan langsung minta maaf.
Dehan dengan cepat menggeleng sambil tersenyum, "nggak masalah kok. Kalau kamu mau cerita ya cerita saja, apa salahnya?"
Prisa terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu sambil melirik Dehan, ia menarik napas sejenak sebelum lanjut berbicara, "ya gitu deh mas, saya pengen banget Nania lanjut kuliah dan capai impian dia dan hidup dengan lebih baik, biar nggak gini-gini aja."
"Saya dengar Nania itu pintar ya?"
"Iya, mas. Dia sangat rajin."
"Gama sering bilang kalau Nania itu orangnya rajin sekali. Itu yang bikin dia jadi ikutan rajin dan ga mau ada di bawah Nania biar ada yang bisa dibanggain di depan Nania." Dehan menjawab sambil tertawa pelan melihat Prisa.
Prisa mengangguk, "nilai mereka kalau nggak salah selalu deketan, dan kata Nania si Gama emang dasarnya udah pintar."
"Itu artinya Nania memang harus lanjutkan studinya. Memang kesuksesan itu nggak semuanya berpatok pada kuliah atau pendidikan tinggi, tapi untuk tipe seperti Nania dia memang terlihat berpotensi dalam akademis. Sayang sekali kalau tidak dilanjutkan."
"Saya juga mikir gitu mas, saya akan merasa sangat bersalah kalah tidak berhasil membuat Nania melanjutkan pendidikannya." Prisa termenung melihat matahari yang semakin mendekat ke garis laut. Langit sudah semakin terlihat oren dan cantik.
"Nania beruntung punya mbak yang peduli dan ingin sekali memperjuangkan keinginan adiknya. Saya yakin jika kamu dan Nania yakin, pasti akan ada jalan."
Prisa tersenyum simpul, "semoga saja, mas."
Dehan hanya diam memperhatikan dari samping wajah Prisa, gadis itu terus memperhatikan sunset di hadapannya yang memang sejak awal ingin sekali ia lihat.
"Cantik, ya?"
Prisa mengangguk sambil tersenyum, "iya mas, cantik banget sunsetnya."
Dehan tertawa kecil sambil mengusap sekilas wajahnya dan ikut melihat sunset di hadapannya, "nanti kita pulangnya habis makan malam aja ya."
Prisa menoleh melihat Dehan, "makan malam dulu?"
"Mau kan? Ada restoran enak disini, disaat malam pemandangan dari dermaga juga akan semakin cantik bisa dilihat dari restoran itu. Kamu pasti akan lebih menyukainya."
"Apa tidak apa, mas?"
"Tentu, saya juga ingin."
"Terima kasih ya mas."
"Sama-sama."