Satu persatu orang keluar dari ruangan rapat yang cukup besar itu, begitupun dengan Dehan yang hadir dalam rapat tersebut pun juga keluar saat keadaan sudah mulai sepi.
Namun disaat ia benar-benar akan keluar, seorang pria berjas abu-abu pekat menahannya dengan cara menyapanya terlebih dahulu sembari duduk di kursi yang dekat dengan posisinya, "sepertinya gambaran rapat pertama ini bagus sekali untuk kamu ya, mas."
Dehan yang tadinya hendak berdiri memutuskan untuk duduk kembali, "hanya gambaran awal."
Pria itu tersenyum miring sambil mengangguk, "memiliki data kinerja bagus, memiliki sikap yang baik, dan disukai oleh para karyawan. Itu kah poin penting yang membuat dewan dan para pemegang saham secara umum ingin memilih Bapak Radithya Dehan Alfa?"
Dehan menghela napas pendek, "Randa, ini masih rapat awal. Kita tadi juga dengar usulan dan dukungan dari pihak yang ingin naikin kamu."
"Ya, tapi sepertinya terasa agak timpang sekali, bukan?"
"Mereka hanya sedang mencoba memaparkan sudut pandang mereka tentang siapa yang menjadi calon presdir selanjutnya."
Randa, si pria berkulit cerah dan mata besar itu mengerutkan dahinya, "mas coba bayangin deh. Seandainya cara kerja dan sikap kita sama baiknya, mas pikir siapa yang bakalan kepilih di antara kita?"
Dehan menatap Randa dengan ekspresi datar, "untuk sekarang kita nggak perlu ber andai-andai."
Randa tertawa, "pasti yang terpilih adalah Dehan, karena aspek terpenting sebenarnya adalah terlahir menjadi putra sulung presiden direktur. Asik banget ya mas, nggak perlu effort berarti, kamu udah punya modal privilege."
"Privilege itu nggak akan ada artinya kalau nggak dibarengi usaha dan kerja keras. Selain sisi positif yang sedang kamu bicarakan, privilege juga punya beban tersendiri. Dan mas pikir akan lebih baik kita tidak membahas ini."
"Kenapa?"
"Saat ini yang terpenting bukan siapa yang akan naik menjadi presdir, tapi apa yang terbaik untuk perusahaan ini. Jika kamu memang ingin sekali mendapatkan posisi itu, perbaiki kinerjamu."
Randa terkekeh, "sebaik apapun itu nggak akan bisa ngalahin kedudukan si putra sulung kesayangan."
Dehan yang memilih untuk tidak melanjutkan percakapan lebih memilih untuk berdiri bersiap untuk pergi, "masih ada yang harus mas lakukan. Mas harus pergi secepatnya."
"Aku cuma mau tanya, tentang bukan siapa yang naik tapi apa yang terbaik buat perusahaan, apa artinya mas nggak terlalu ingin akan posisi itu?"
"Tentu saja ingin, bukan tanpa alasan mas selama ini ngejaga sikap dan kinerja. Jika ingin ada di posisi itu, kita juga harus siapkan diri menjadi yang terbaik juga." Dehan menekankan maksudnya agar bisa dipahami oleh Randa.
Randa hanya menyeringai, "okay, kamu pikir aku tidak menyiapkan yang terbaik? Aku bahkan sudah menyiapkan yang terbaik dan mungkin kamu akan kaget dan bangga sekali selaku kakak sulung."
Dehan mengerutkan dahinya tidak begitu paham, namun memilih untuk tidak terlalu memikirkannya, "mas pergi sekarang. Oh iya, apa hari ini kamu akan pulang ke rumah?"
Randa mengangguk, "tentu, itu kan juga rumahku."
"Baguslah, luangkan waktumu malam ini untuk bisa makan malam dengan papa dan Manda. Bukan masalah pekerjaan, murni hanya karena kita keluarga."
*
"Hai maaasss! Nunggu lama kah?" tanya Prisa saat baru masuk ke dalam mobil milik Dehan yang sore ini memang janji untuk pulang bersama.
"Lumayan lama sih kalau boleh jujur."
Prisa terkekeh, "ya maaf, ini aku jalan kaki lumayan jauh loh mas."
"Lagian juga ngapain sih nunggu sejauh ini dari kantor?"
"Ya takut kelihatan orang aja."
"Udah yang kayak mau jalan sama buronan polisi aja. Lagian kalau emang nggak mau barengan dari kantor, kan nggak harus sejauh ini Prisaaa."
"Ya demi keamanan aja sih."
"Makin hari makin jauh, dua bulan lagi kayaknya udah harus keluar pulau dulu biar bisa barengan."
Prisa langsung tertawa mendengar Dehan yang mulai melajukan mobil sambil terus mengomel. Padahal yang capek berjalan adalah Prisa, tapi malah Dehan yang paling emosi.
Memang beberapa waktu belakangan ini mereka semakin dekat secara lebih intens dan tak jarang menghabiskan waktu bersama seperti setiap pulang kantor seperti sekarang ini.
"Jangan marah-marah, nanti cepat tua loh."
Dehan hanya angkat bahu, "kemana nih?"
Prisa ikut angkat bahu, "ga tahu, kan Mas Dehan yang ngajak, mana tiba-tiba banget. Biasanya kan kita ngomong dulu malam nya. Kalau tadi aku ga sempat lihat hp, pasti sekarang aku udah hampir sampai rumah."
"Tapi faktanya kamu lagi disini kan?"
"Iya, jadi kenapa nih?"
Dehan melirik Prisa, "kangen aja sih."
Prisa langsung menunjukkan wajah tak percaya, "bohong banget."
"Ya ampun, emang ga boleh?"
"Ya boleh, cuma kan baru aja tadi pagi kita ketemu, mas."
"Oh iya, benar juga."
"Oh gitu, lupa, nggak menghargai setiap pertemuan ya ternyata. Ga like, bintang satu." Prisa sudah memasang wajah sok bad mood.
"Ih, jangan dong. Maunya apa supaya bisa dapat bintang lima nih?"
Prisa menyandarkan dirinya sepenuhnya pada kursi yang ia duduki sambil melihat Dehan yang melihat lurus pada jalanan, "jawab aja kenapa mendadak ngajak ketemu, tadi pagi aja masih belum ngide."
Dehan mengetukkan jarinya sekilas pada setir yang tengah ia pegang lalu melirik Prisa yang masih setia melihatnya, "cuma belum mau pulang cepat aja."
"Eh? Tumben? Kenapa?"
Dehan tidak langsung menjawab, ia diam sejenak lalu sedikit mengangkat bahunya, "hanya ingin."
"Bohong."
"Bener kok."
"Mas Dehan, kamu itu kalau bohong kelihatan loh."
Dehan langsung menoleh dengan dahi berkerut, "kelihatan gimana??"
Prisa tersenyum sambil mengangkat jempol dan memainkannya, "kamu kalau bohong pasti jempolnya nekuk."
"Eh? Masa??"
Prisa tertawa, "udahlah mas, aku udah pernah bahas ini sama Manda. Manda juga sadar kalau Mas Dehan lagi bohong pasti tuh jempolnya ditekuk atau nggak gerak-gerak ga jelas."
"Kok kalian pada nyadar gitu sih? Aku aja ga sadar loh."
Prisa hanya tertawa, "jadi kenapa kamu nggak mau pulang cepat ke rumah?"
Dehan menghela napas panjang, "aku cuma lagi ngerasa nggak nyaman aja sejak selesai rapat hari ini."
"Oh iya, gimana rapat tadi mas?"
Dehan mengangkat alisnya sekilas, "ya sewajarnya, pembahasan calon pengganti papa."
"Aku pikir pasti banyak yang berat ke kamu kan mas? Apa ada masalah?"
"Bingung sekali kalau berhadapan dengan Randa saat ini."
Prisa langsung paham dengan apa yang dimaksud Dehan, "Pak Randa lagi ada di rumah juga ya mas sekarang?"
Dehan mengangguk, "aku juga yang ngajak dia agar bisa luangin waktu untuk bisa makan malam bersama nanti malam."
"Terus mas juga yang malas?"
Dehan tertawa kecil, "aneh banget ya?"
Prisa tersenyum sambil geleng kepala, "aku paham kok. Nggak papa, untuk saat sekarang wajar saja kamu begini mas. Malah kamu hebat banget masih bisa usaha misahin masalah keluarga dan kerjaan, ya walaupun susah banget sih pastinya."
"Denger jawaban kamu aja aku udah ngerasa lebih baik."
Prisa tertawa, "bukan masalah jawabanku sebenernya, tapi memang kalau abis ceritain sesuatu yang bikin kita tertekan emang akan buat ngerasa lebih baik. Makanya mas kalau ada apa-apa, cerita aja ke aku. Ya walau ga bisa bantu apa-apa, seenggaknya aku bisa dengerin."
"Makasih ya," Dehan menepuk sekilas salah satu tangan Prisa dengan lembut yang membuat gadis itu tersenyum.
"Oh iya mas, tadi aku ketemu Mbak Lora di kantor."
"Oh ya? Terus? Kamu ngomong sama dia?"
Prisa menggeleng, "soalnya waktu Mbak Lora mau ngomong dia udah keburu disamperin sama Pak Randa. Yaudah mereka pergi deh."
"Hm, gitu."
"Mas, boleh nanya nggak?" Prisa mendadak ingin menanyakan sesuatu namun dengan ragu.
"Boleh, apa?"
"Inget nggak waktu kita beli bahan percobaan kue ulang tahun Manda? Yang kita sempat ketemu Mbak Lora."
"Kenapa?"
"Sebenernya hubungan mas sama Mbak Lora gimana sih? Kan..."
"Nggak ada hubungan apa-apa lah," dengan cepat Dehan menjawab.
"Bukan gitu, maksud aku hubungan kalian gimana ini aku ngelihatnya rada aneh aja. Kenapa mas kelihatan kurang seneng gitu waktu ketemu Mbak Lora? Dan, kalau aku nggak salah lihat, waktu Mbak Lora pergi dia kelihatan banget sengaja nyentuh tangan mas, kayak yang maksud agak menggoda gitu."
Dehan menghela napas lelah, "kayaknya pertanyaan kamu udah ngejelasin alasannya deh."
"Maksudnya?"
"Menurut kamu wajar nggak Lora yang notabene pacarnya Randa adikku, berlaku seperti itu?"
Prisa terdiam karena butuh waktu untuk memahami maksud dari jawaban Dehan yang akhirnya membuat gadis itu kaget, "jangan bilang kalau isu di kantor emang bener!?"
Dehan memijat sekilas pangkal hidungnya, "gosip apa lagi ini?"
"Eh, tapi kalau salah mas jangan marah ya? Sumpah aku juga cuma denger dari gosip kantor." Prisa waspada dan ragu untuk menjawab.
"Udahlah bilang aja."
"Katanya Mbak Lora itu sukanya sama mas, tapi malah jadian sama Pak Randa, tapi sampai sekarang dia masih deketin dan ngejar-ngejar Mas Dehan."
Dehan hanya diam tidak merespon cerita Prisa.
"Lah? Kok diem sih mas? Kamu marah?"
"Kenapa aku harus marah? Lagian kamu juga cuma denger kan?"
"Terus kenapa kamu diem aja?"
"Ya karena aku nggak tahu mau kasih respon seperti apa."
"Tapi itu emang bener?"
Dehan melirik Prisa, "kamu percaya?"
"Awalnya enggak."
"Kenapa?"
"Ya karena nggak masuk akal aja."
"Dimana letak nggak masuk akalnya?"
"Ya kali seorang Pak Randa udah tahu begitu masih pengen lanjut sama Mbak Lora, mana kelihatannya juga bucin banget. Ya nggak mungkin lah."
"Mungkin aja,"
Prisa membelalak, "jadi itu bener, mas!?"
"Nggak tahu, kan yang jadi tokoh utama di cerita ini Lora. Saya mana tahu." jawab Dehan dengan wajah datar.
"Mas Dehan suka juga sama Mbak Lora?"
Pertanyaan Prisa langsung membuat Dehan menoleh dengan mata membelalak, "kamu serius menanyakan hal ini?"
Prisa menunjukkan wajah heran, "kenapa memangnya?"
"Kalau aku menyukai Lora, kenapa aku memilih dekat dengan seorang Prisa?"
Prisa menggigit sekilas bibir bawahnya sebelum menjawab, "ya bisa aja karena Mbak Lora nya udah sama Pak Randa."
"Memangnya kamu kalau ada di posisi itu akan melakukan hal tersebut?"
"Hah??"
"Saat orang yang kamu suka bersama dengan orang lain, kamu bakal lari ke orang yang lain?"
Pertanyaan Dehan berhasil membuat Prisa terdiam tak bisa menjawab apa-apa. Ia serasa baru saja disindir keras oleh Dehan.
Dehan tiba-tiba tertawa, "aku sih yakin orang seperti Prisa nggak akan ngelakuin itu."
"Gimana kalau bisa?"
Dehan melirik, "asal kalau di kasus itu aku bukan jadi pihak yang jadi tempat pelarian, itu nggak masalah sama sekali." dan ucapan Dehan ditutup oleh tawaan yang tentu baginya hanyalah candaan.