35. Separate

1612 Kata
Prisa yang baru saja sampai di rumah langsung bergerak menuju kamar sang adik, yaitu Nania. Dia benar-benar penasaran dengan apa yang sebenarnya dilakukan oleh adik satu-satunya itu. "Nania!!" Prisa membuka kamar Nania tiba-tiba dan mendapati sang adik tengah tiduran sambil bermain handphone. "Bisa santai ga sih mbak? Bikin kaget aja, mana masuk nggak ketok pintu atau salam dulu," omel Nania bangkit duduk sambil melepas earphone yang tadi menutup kedua telinganya. "Kenapa kamu nggak ke sekolah?" Prisa langsung melempar pertanyaan dengan kesal. "Kan aku udah bilang kalau aku hari ini lagi nggak enak badan mbak." "Terus kemarin?" "Ya kemarin orang emang nggak sekolah." "Bisa bohong ya kamu sekarang? Pinter banget bohongin mbak sama mama." Nania mengerutkan dahinya, "bohong apaan sih mbak?" "Minggu ini ada ujian kan? Ngapain kamu enggak pergi? Kamu kenapa sih Nania? Orang pada sibuk ujian kamu malah bohong biar ga ke sekolah!?" Nania terdiam sambil mengarahkan tatapannya keluar jendela kamarnya, dia sama sekali terlihat tidak ingin menjawab ucapan kakaknya. "Nania!? Mbak lagi ngomong sama kamu ya, bukan sama dinding! Kalau orang nanya itu jawab." "Aku males mbak." jawab Nania seadanya. Mata Prisa langsung terbuka lebar tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut seorang Nania, "apa?? Malas? Bisa-bisanya kamu malas di waktu-waktu seperti ini? Terus apa gunanya kemarin kamu susah payah rajin kalau di akhir malah begini??" "Mbak sendiri juga gitu. Ngapain kemarin-kemarin mbak susah payah berlagak baik dan ngajarin aku harus begini begitu tapi akhirnya mbak malah ngelakuin hal buruk?" Nania menjawab dengan menatap kakaknya itu kesal. "Kamu ngomong apa sih?" "Mbak kenapa sih malah berpikir buat manfaatin kebaikannya Pak Dehan?" "Hah!?" Prisa kaget bukan main mendengar jawaban dari Nania. "Mbak selama ini selalu nyuruh aku buat nggak minta-minta, nggak bergantung ke orang dan selalu berusaha ngejaga harga diri karena yang kita punya hanyalah itu. Tapi lihat mbak sekarang, Mbak manfaatin kebaikan orang, terus dimana sekarang harga diri itu? Kalau harga diri udah nggak ada terus apa yang kita punya sekarang? Aku malu tahu nggak mbak?" "Nania, sumpah mbak nggak paham kamu lagi bicarain apa." "Udahlah mbak, aku udah tahu kok. Mbak bersikap baik ke Pak Dehan dan juga Manda nggak tulus kan? Semua hanya karena mereka yang mau ngasih kita uang secara cuma-cuma kan? Kok bisa-bisanya sih mbak? Aku nggak mau makai uang itu buat sekolah." Napas Prisa langsung terasa sesak mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh sang adik, "ya terus mbak harus apa!? Cuma itu satu-satunya cara buat hidup kita bisa berlanjut dengan baik. Kamu pikir mbak senang begini? Mbak juga malu, tapi apa boleh buat?" Nania tidak bisa menjawab, dia hanya diam tapi tetap saja belum bisa menerima itu semua. "Mbak udah korbanin harga diri mbak, jadi mbak minta tolong sama kamu buat jangan sia-siain ini. Untuk sekarang kita nggak punya jalan lagi Nania. Kalau memang sekarang mbak terlihat buruk di mata kamu, mbak mohon sama kamu untuk di masa depan tolong juga jangan seperti ini. Kamu harus sukses dan harus jadi orang berhasil dan bantu mbak untuk keluar dari semua ini. Siapa lagi yang bisa perbaiki ini semua kalau bukan kamu? Kalau kamu sudah menyerah dari sekarang, mbak rasanya sudah tidak punya masa depan lagi." Nania menarik napas dalam sambil menatap langit-langit kamarnya karena dirinya sedih sekali sekarang sampai ingin menangis, tapi ia menahannya sekuat mungkin. Kadang ia juga berpikir kenapa semuanya terasa sangat sulit di dalam keluarganya. Kenapa ia tidak bisa hidup tenang seperti temannya yang lain? "Terserah kamu Nania, mbak juga nggak berhak maksa kamu. Toh kehidupan kamu mbak nggak ada hak untuk ngendaliin. Tapi mbak mohon satu hal sama kamu, jangan bilang ini ke mama karena mbak tahu dia akan sedih dan kecewa sekali." Prisa mengakhiri pembicaraan dengan keluar dari kamar Nania secara gontai. ** "Prisa??" Mama masuk ke kamar Prisa yang sedang sibuk membersihkan meja kamarnya yang belakangan ini tidak sempat ia bersihkan dan jadinya terlihat berantakan. "Ya ma?" "Itu, di luar ada Deni nyariin kamu." Prisa langsung membelalak kaget karena sudah lama rasanya ia tidak komunikasi dengan Deni. Lalu mendadak tidak ada angin tidak ada hujan malam ini pria itu sudah ada di rumahnya. "Kak Deni??" Prisa coba memastikan lagi. Mama mengangguk, "udah lama mama nggak lihat Deni, kemana aja dia? Tadi udah mama suruh masuk tapi dianya nggak mau. Buruan sana lihat, kasihan nunggu di luar sendiri. Prisa tentu mau tidak mau harus mengiyakan suruhan mamanya, "iya ma, aku keluar sekarang." "Kalau bisa suruh masuk ya Pris, terus kasih minum." "Iya ma." * Prisa coba menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan dulu sebelum benar-benar menemui Deni. Jujur saja ia sangat tidak ingin menemui Deni, tapi apa boleh buat? Ia tentu tidak bisa langsung mengusir dan ribut dengan laki-laki itu. Saat keluar, ia mendapati Deni sedang duduk sendirian di teras rumah. "Kak Deni, ada apa?" Prisa langsung bertanya tanpa basa-basi terlebih dahulu kepada Deni. Deni mendongak melihat Prisa yang lebih memilih berdiri dan tampaknya tidak berniat ikut duduk, "hai Pris." "Jujur sebenarnya aku nggak seneng Kak Deni tiba-tiba datang kesini." "Kalau nggak kesini tentu kamu tidak akan mau bertemu dan bicara dengan baik-baik." Prisa menghela napas sambil membuang pandangannya, "apa lagi sih?" "Sekarang kamu beneran udah dekat sama Pak Dehan?" "Kayaknya aku nggak harus jawab karena itu bukan urusan Kak Deni." "Kamu sengaja?" Prisa mengerutkan dahi melihat Deni, "maksudnya?" "Pak Dehan jauh lebih bisa dimanfaatkan dari kakak. Pris, kamu sengaja buat kakak ngerasa bersalah dan kalah? Udah, tanpa seperti itu kakak udah ngerasa salah kok." Prisa terdiam sejenak dan langsung tertawa, "ngomong apa sih kak? Kakak pikir hidupku hanya sekitaran kakak? Aku ngelakuin segala sesuatu memang karena aku mau, bukan karena apa-apa." "Tapi Pris..," "Kak Deni sebenarnya mau ngomong apa sih? Kalau cuma mau abis-abisin waktu mending kakak pulang saja. Kakak bisa ngelakuin hal lain yang jauh lebih berguna dan aku juga ga lelah dengerinnya." Deni ikut berdiri sehingga berada sejajar dengan Prisa, "kakak kangen sama kamu Pris, itu sebenarnya yang mau kakak bilang." Prisa terdiam karena tanpa sengaja tatapannya dan tatapan Deni bertemu dan terkunci. Namun dengan cepat Prisa segera menyadarkan dirinya, ia membuang tatapannya dan bergerak memunggungi Deni, "kita nggak pernah punya hubungan sama sekali. Bisakah berhenti membicarakan hal-hal aneh?" "Pris, kamu lagi berusaha nutupin perasaan kamu sendiri? Kita bisa hadapi ini kalau kita percaya satu sama lain dan yakin. Kenapa sih kita malah milih buat jalan rumit seperti ini?" "Kak!? Bisa udahan nggak? Kak Deni yang bikin semuanya rumit. Aku baik-baik saja pada awalnya." "Apa kamu menyukai pria lain selain kakak? Kamu menyukai Pak Dehan? Kamu yakin bisa mendapatkan orang seperti itu?" "Iya, tentu aku jauh lebih menyukai Pak Dehan, aku akan berusaha mendapatkannya. Kalau sama Kak Deni aku juga akan berjuang, tentu akan lebih baik aku memperjuangkan Pak Dehan. Karena kalian berdua sama saja sulitnya." Prisa kembali memutar badannya untuk menatap Deni dengan tatapan menantang. "Kamu menyukai Pak Dehan? Mustahil, kamu tipe orang yang tidak mudah tertarik Pris." "Tapi kalau faktanya begitu bagaimana?" "Kamu tidak menyukai Pak Dehan, kamu hanya menyukai hartanya bukan? Karena satu-satunya hal yang dimenangkan Pak Dehan dari kakak hanyalah itu." Prisa tertawa, "kenapa aku baru sadar Kak Deni semenyebalkan ini? Pun kalau aku menyukai Pak Dehan karena hartanya Kak Deni mau apa?" "Prisa, ada apa denganmu? Ini seperti bukan kamu." Deni menatap Prisa tidak percaya. "Terserah lah kakak mau ngomong apa. Tolong pergi dari sini sekarang." Deni menghela napas panjang menatap Prisa, "maaf kalau karena kakak kamu malah jadi begini. Secara langsung maupun tidak kakak ngerasa bersalah atas sikap kamu saat ini. Oke, kakak nggak akan ganggu kamu lagi kalau memang begitu yang kamu mau. Tapi kakak mau ingetin tolong jangan berubah Pris, kamu harus sadar kalau kamu sedang tidak dalam pemikiran dan keputusan yang baik." "Nggak usah ikut campur." "Kakak pulang sekarang. Kamu baik-baik ya, kalau terjadi sesuatu jangan segan untuk datang. Yang perlu kamu ingat adalah kakak akan selalu ada buat kamu kapanpun itu nanti. Kamu boleh marah, tapi kakak sama sekali nggak marah sama kamu." setelah berbicara Deni memutuskan untuk pergi meninggalkan Prisa. Prisa mematung di tempat, ia terdiam melihat Deni yang sudah berjalan pergi dengan langkah gontai. Tiba-tiba saja Prisa bergerak berlari mengejar Deni dan memeluknya dari belakang dengan erat yang tentu saja membuat Deni luar biasa kaget. "Pris??" "Terima kasih atas semuanya. Makasih mau menerimaku lagi suatu hari nanti walau kesannnya saat ini aku jahat banget ke Kak Deni. Kalau boleh aku meminta, aku mohon Kak Deni berhenti berharap padaku karena aku sama sekali nggak pantas. Tolong bertemu lah dengan seseorang yang tepat, yang baik dan juga membuat bahagia keluarga kakak. Aku menyayangi Kak Deni sudah seperti kakakku sendiri, aku mau Kak Deni hidup dengan bahagia." Dada Deni sekarang rasanya menjadi sesak, ia memperhatikan tangan Prisa yang kini melingkar di perutnya. Secara perlahan ia menyentuh tangan Prisa dan berbalik untuk bisa melihat wajah gadis itu. "Sepertinya kita memang nggak jodoh ya? Tampaknya memang hubungan kita sebaiknya hanya sebatas teman layaknya saudara. Sungguh sayang sekali rasanya kenal orang sebaik kamu tapi tidak menjadi jodoh." Deni tersenyum walau sebenarnya hatinya terasa sedih sekali. "Kak...," Deni mengangguk sambil mengelus pelan puncak kepala Prisa, "ayo tetap berhubungan baik walau tidak bisa sedekat sebelumnya. Kak udah mulai paham sekarang bagaimana berada di posisi kamu." Prisa tak bisa menahan air matanya yang sudah akan mengalir, jujur ia memang sangat menyayangi Deni tapi apa daya ia rasanya tidak bisa memperjuangkan pria baik dihadapannya ini lagi. "Jangan menangis lagi, semoga kita bisa berjalan dengan baik di pilihan kita masing-masing. Kalau memang jodoh, kita tidak tahu mungkin saja jalan yang kita tempuh berpisah akan bertemu lagi. Untuk sekarang tampaknya ini memang tidak mungkin." Deni mengusap air mata di pipi Prisa sambil coba tertawa untuk menghibur Prisa. Prisa mengangguk, "aku berharap suatu hari jalan ini akan bertemu lagi entah dengan cara seperti apa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN