"Udah mendingan?" tanya Prisa pada Dehan yang malam ini duduk disampingnya sambil menatap ke arah lautan lepas.
"Apanya?" Dehan menoleh.
"Itu, perasaan nggak enaknya. Kan kita sengaja kesini untuk bikin suasana hati kamu lebih tenang, mas."
Dehan menghela napas pendek, lalu tersenyum, "sepertinya."
Prisa meminum minuman hangat miliknya lalu menempelkan gelas ke arah pipinya untuk bisa merasa lebih hangat, "Pak Randa udah di rumah ya? Makanya mau lebih lama di luar."
Dehan menggeleng, "belum kok."
"Emangnya besok Pak Randa nggak datang untuk rapat akhir pemilihan presiden direktur?" tanya Prisa lagi ingin tahu.
"Pasti datang."
Prisa kembali memperhatikan Dehan yang sejak tadi hanya menjawab seadanya, "Mas Dehan segugup ini untuk besok? Kemungkinan Mas Dehan naik itu besar loh, apalagi dilihat dari beberapa rapat sebelum ini. Lagipula Mas Dehan juga bilang, kalaupun nggak naik, mas juga nggak bakal terlalu kecewa. Jabatan presdir bukan segalanya kan?"
"Nggak tahu kenapa perasaanku beberapa hari ini sangat tidak enak. Nggak tahu kenapa." jawab Dehan sambil menunduk lalu meminum minuman miliknya.
"Mas kayaknya memang gugup. Walaupun mas bilang mas tidak terlalu memikirkan ini, mungkin saja di alam bawah sadarnya mas, mas sangat peduli akan hal ini."
Dehan mengangguk kecil, "Pris, besok kamu bisa nunggu di ruanganku nggak?"
Prisa terbelalak, "hah? Mana bisa? Nggak mungkin dong mas."
"Aku tidak yakin bisa santai besok, dan aku pikir aku butuh kamu." Dehan melihat Prisa dengan tatapan redup.
Prisa tersenyum sambil kini meraih salah satu tangan Dehan untuk ia genggam erat, "Aku percaya kok sama Mas Dehan, besok aku yakin akan berjalan dengan baik. Apapun hasilnya Mas Dehan nggak akan permasalahin, dan apapun hasilnya aku akan selalu support Mas Dehan. Dan bagi semua orang, mas adalah yang terbaik."
Dehan tertegun memperhatikan Prisa, dan kini tangannya bergerak merapikan rambut Prisa yang berantakan karena angin, "dingin??"
Prisa menggeleng, "enggak kok, biasa aja."
"Aku dingin."
Prisa langsung bergerak menempelkan gelas minumannya ke arah leher Dehan, "kalau dingin mending kita pergi yuk. Nanti malah ribet kalau mas masuk angin."
"Masih mau disini."
"Lah terus gimana dong?"
"Aku boleh meluk nggak sih?" tanya Dehan menatap Prisa yang masih menempelkan gelas minuman ke lehernya sehingga wajah gadis itu berada tepat di depan wajahnya.
Prisa langsung bergerak memeluk Dehan dengan erat, "masih ngerasa gelisah ya?"
Dehan tersenyum kecil dan balas memeluk wanita itu, "sekarang udah enggak."
Prisa tertawa, sambil memeluk pinggang Dehan, ia bersandar sembari melihat ke arah laut lagi, posisi yang terasa nyaman sekali bagi Prisa karena bisa bersandar pada Dehan.
"Mas?"
"Ya?"
"Selama beberapa waktu kita jalan bareng gini, apa mas ngerasa kita udah mulai cocok?" tanya Prisa iseng ingin membahas perkara kedekatan mereka belakangan ini.
Dehan meletakkan dagunya di puncak kepala Prisa, "sejauh ini tidak ada masalah sepertinya."
"Mas pernah sempat mikir kalau kayaknya mas salah udah coba mau dekat denganku yang orang biasa banget ini nggak?"
"Kayaknya enggak deh."
"Mas Dehan sebelumnya udah pernah pacaran?"
"Hm, pernah."
"Kapan?" tanya Prisa agak mendongakkan kepalanya untuk melihat Dehan karena penasaran.
"Waktu kuliah."
"Terus?? Sama siapa? Kok udahan?"
"Kenapa ya? Aku juga nggak begitu ingat alasan pastinya. Mendadak dia minta putus setelah kita jalan kira-kira tiga tahun. Eh ternyata setelah itu dia langsung jadian sama yang lain, katanya sih dia bosan dan ngerasa pria itu jauh lebih baik dariku." jelas Dehan mengakhirinya dengan sebuah tawa.
"Selingkuh berarti??"
"Mungkin saja."
"Ya ampun, bisa-bisanya orang kayak Mas Dehan diselingkuhin." Prisa geleng-geleng kepala sambil bangkit dari posisinya yang tadi bersandar pada Dehan untuk bisa melihat wajah pria itu.
Dehan tertawa, "karena kayaknya dari awal udah salah sih."
"Udah salah gimana?"
"Kami jadian karena ngerasa satu sama lain adalah orang yang paling hebat dan luar biasa. Kita saling bangga satu sama lain, dan pada akhirnya saat bertemu seseorang yang jauh lebih hebat, perasaan itu juga berubah dengan cepat. Di atas langit akan terus ada langit. Aku sadar tidak bisa berpegang pada hal tersebut."
Prisa terdiam menyimak cerita Dehan, "pasti waktu itu mas sedih sekali."
Dehan tertawa, "memikirkan hal lalu sebenarnya malah membuat tertawa. Tapi intinya sekarang aku memiliki prinsip baru. Aku mungkin hanya akan mencari seseorang yang bisa membuat nyaman dan menerima apa adanya. Bukan tentang bagaimana bisa membanggakan satu sama lain, tapi tentang bagaimana terus berpegangan dan saling menguatkan disaat badai menerpa."
"Mas Dehan sangat bagus dalam menanggapi sebuah masalah. Bukannya menutup luka, mas malah menghias sebuah luka menjadi menarik."
Dehan terkekeh, "perumpamaan kamu lucu sekali. Dan kamu sendiri gimana sebelum ini? Pernah pacaran?"
Prisa menggeleng, "sama sekali belum."
Dehan membelalak tidak percaya, "serius??"
Gadis itu tertawa, "harusnya sih mas langsung percaya. Lihat saja, aku hanya orang miskin serba susah dan juga nggak cantik."
"Nggak cantik, tapi cantik banget iya. Ayo jangan bohong Prisaaa!"
"Aku nggak bohong. Memang sih sempat deket-deket doang, tapi ya ga jadian."
"Kenapa?"
"Kalau nggak karena ada aja masalah yang bikin kita menjauh, atau nggak salah satu dari kami ada yang nggak nyaman. Kalau boleh jujur sih keseringan aku yang nggak nyaman aja kalau udah ngarah ke hubungan serius." Prisa tertawa kecil.
Dehan langsung mengerutkan dahinya, "wah, aku paham nih. Jangan bilang kamu keseringan deket kayak kita sekarang, nah nanti pas aku udah nembak secara resmi, kamu langsung nggak nyaman dan kita pisah gitu aja. Demi apa sekarang aku khawatir Pris."
"Eh!? Nggak gitu juga mas."
"Lah terus? Hm, kamu tipe yang suka friend zone in orang ya Pris?"
Prisa tertawa, "intinya selama ini belum ketemu yang pas aja mas."
"Untuk sekarang kamu ada niatan untuk jauhin aku nggak?"
"Untuk sekarang sih enggak, enggak tahu sih nanti."
"Prisa!!!" Dehan memperingatkan dengan mata membulat besar.
Prisa tidak bisa menahan tawanya karena wajah Dehan saat ini terlihat sangat menggemaskan, "mas suka nyadar nggak sih kalau orang di kantor banyak yang suka sama mas?"
"Suka sama kinerjaku?"
"Bukan, tapi suka sama seorang Bapak Dehan yang ganteng dan baik banget."
Dehan langsung menunjukkan tawa bangga, "sulit sebenarnya untuk bilang enggak. Kadang aku juga kaget waktu lihat cermin."
Prisa memutar bola matanya malas, "makin kesini Mas Dehan makin kelihatan nyebelinnya ya? Awalnya aku pikir Mas Dehan emang sedewasa dan sewibawa itu loh. Ternyata masih sering kelihatan anak-anaknya dan kadang mudah banget mellow."
"Awalnya aku emang selalu mau kelihatan dewasa dan wibawa. Tapi pas sama kamu entah kenapa sikap-sikap yang jarang keluar jadi keluar gitu aja. Gimana? Kamu nggak suka dan kecewa ya, Pris?"
Prisa menggeleng sembari memegang salah satu tangan Dehan, "nggak apa-apa. Aku mau Mas Dehan bisa senyaman mungkin denganku. Dengan posisi mas aku paham kok, mas selalu dituntut bersikap dewasa dan sebisa mungkin nutupin sikap-sikap tertentu."
Dehan menghembuskan napas lega sambil menatap wajah Prisa dengan senyuman, "aku emang nyari yang begini, Pris."
"Apa?"
"Nyari sosok kayak kamu."
Mendadak jantung Prisa langsung berdetak lebih kencang terlebih saat Dehan menatapnya dengan tangan mereka yang masih berpegangan.
"Pris, kalau seandainya sekarang ak..."
Haccciiiiinnn!!
Kalimat Dehan langsung terhenti karena Prisa yang tiba-tiba bersin dan kontan saja ia langsung menjauh dari Dehan.
"Astaga, ya ampun. Maaf mas,"
Dehan yang melihat itu hanya bisa tertawa, "udah semakin dingin karena udah makin malam. Kita pulang yuk."
"Boleh, tapi tadi mas mau bilang apa?"
Dehan menggeleng, "bukan apa-apa."
"Yaudah deh, ayo pulang sekarang. Mas Dehan juga harus segera istirahat buat besok."
"Oh iya, makasih ya malam ini. Aku udah ngerasa jauh lebih baik dan lebih santai."
Prisa tersenyum senang, "baguslah, semoga besok berjalan dengan lancar ya mas. Orang satu kantor sebenarnya juga pada penasaran dengan besok. Apapun hasilnya mas tetap saja atasan kesayangan satu kantor, hehe."
"Jadi kesayangan kamu satu-satunya kapan?"
"Eh?"