Beberapa hari setelah hari pernikahan ibu, semuanya terlihat biasa – biasa saja kecuali perasaanku yang tidak karuan. Aku masih memikirkan tentang ibu yang berbohong kepadaku. Aku berusaha untuk tidak memikirkan tentang itu tetapi terus gagal.
Hari ini aku akan beres – beres rumah hari ini. Karena ibu yang sudah pindah ke rumah om Darwin 2 hari lalu dan ibu akan menjual rumahku dan membeli apartment buatku, sisa uangnya akan di simpan oleh ibu.
Aku hanya membawa baju dan barang – barangku, semua perabotan rumah dijual beserta rumahnya. Tidak kusangka aku akan tinggal sendiri tanpa ibu. Ibu sudah memiliki kehidupan baru, begitu juga ayahku. Mereka berdua sudah punya kehidupannya masing – masing.
Sejak di pernikahan ibu, aku berniat untuk menata kehidupanku kembali. Mulai dari tujuan, pekerjaan sampai mengenal diriku sendiri. Tidak mudah memang, tapi aku harus menjalani semua ini.
Hari ini Chris membantuku untuk mengemas barang – barangku untuk dibawa ke apartmentku yang baru. Aku memilih apartment satu kamar dengan kamar mandi di dalamnya yang berlokasi di Manhattan city.
“Udah dimasukin semua baju – baju kamu ?” Tanya Chris sambil menutup koperku.
“Hmm.” Aku melihat – lihat sekitar kamar dan semuanya sudah rapi.
“Sudah beres semua. Tinggal pergi.” Kataku.
“Oke.” Chris membantuku membawa koper dan dus – dusku.
Aku berhenti sejenak di depan rumahku dan memandangi rumah yang menyaksikan aku tumbuh besar ini untuk terakhir kalinya. Tidak ada perasaan sedih tapi entah kenapa hatiku seperti merasakan kehilangan.
Chris menyentuh punggungku dan berdiri di sampingku, ia ikut memandangi rumahku. Rumah ini juga menjadi saksi di saat Chris pertama kali mengantarku pulang.
“Bye rumahku.” Ucapku seraya tersenyum.
“Bye istananya Michelle.” Chris menoleh padaku dan tersenyum manis. Senyumannya mengisi kehilangan yang baru saja aku rasakan.
“Yuk.” Ajak Chris. Aku menggandeng tangannya dan masuk ke dalam mobil.
Kami pergi langsung ke apartment baruku. Jaraknya 20 menit dari rumah lamaku. Aku menyandarkan kepalaku dan melihat langit yang sangat indah. Chris menyentuh tanganku. Selama perjalanan pikiranku terus dipenuhi dengan kebohongan ibu.
Sekarang ibu sedang berbulan madu ke Eropa dengan om Darwin tanpa memberi kabar dahulu denganku. Itu saja aku tau bahwa ibu sedang di Eropa dari Chris, bukan langsung dari ibu.
Memang sejak perceraian ibu dan ayah dulu hubunganku dengan mereka menjadi tidak harmonis. Ibu menjadi lebih pendiam dan tidak terlalu mau bicara denganku, sedangkan ayah sibuk dengan keluarga barunya.
Aku terpaksa menjalankan hari – hariku sendiri tanpa mereka. Walaupun aku dan ibu tinggal di rumah yang sama, tapi kami jarang ngobrol atau berbagi cerita. Mungkin aku dan ibu mulai bisa ngobrol denganku sewaktu aku sudah berkuliah.
Akhirnya kami sampai di apartmentku. Chris memarkirkan mobilnya di parkiran basement. Kami naik ke lantai 14, tempat dimana Apartmentku berada. Barang – barangku dibawakan oleh petugas gedung dan beberapa orang anak buah Chris.
“Akhirnya kamu tinggal sendirian ya.” Ujar Chris.
“Iya. Sepi.” Keluhku.
“Tenang aja, nanti aku sering main kok.” Chris menggenggam tanganku.
“Janji ?”
“Iya janji.” Chris mengusap kepalaku.
Kami berjalan sampai akhirnya kami menemukan pintu yang bertuliskan 540. Aku membuka pintu itu dan masuk ke dalam apartment. Semua furniture sudah tersusun rapi pada tempatnya berkat bantuan Chris. Ia mengantur semua isi apartment mulai dari kitchen set sampai ke ruang tv. Bisa dinilai semua perabotan ini harganya tidak murah.
“Wah, udah rapi ya semuanya.” Aku melihat – lihat sekitar ruangan dapur.
“Iya dong.” Chris mengikutiku berjalan.
“Makasih ya. Pasti semua ini gak murah. Kamu gak seharusnya beliin semua furniture ini Chris.” Kataku sambil mengangkat pajangan gajah.
“Jangan ngomong kayak gitu, aku kan peduli sama kamu. Kalau soal harga itu gampang, kamu gak usah mikirin.” Kata Chris.
“Iya, tapi aku jadi gak enak sama kamu.” Aku membalikkan badan dan menatap Chris sejenak.
“Kenapa gak enak ?” Tanya Chris.
“Karena semua ini mahal dan aku gak tau cara balas kebaikan kamu gimana.” Jawabku.
Chris memeluk dan menciumku dan berkata, “Bayarnya pakai ciuman aja.”
“Hahaha.” Aku tertawa melihat tingkahnya itu.
Aku berjalan menuju kamarku, aku penasaran dengan tempat tidur dan isi ruangannya. Aku belum pernah kemari sejak apartment ini sudah diisi oleh Chris.
“Wah.” Aku terpesona dengan kamarku.
“Bagus banget.” Aku berjalan dan duduk di tempat tidurku.
Kamar ini berwarna cream dengan tempat tidur gaya minimalis dengan meja yang terletak di samping lemariku. Kaca yang tertempel di lemari ini sangat besar ukurannya sehingga aku bisa dengan puas memandangi diriku.
Aku pergi ke balkon yang terletak di kamarku, pemandangannya sangat bagus. Gedung – gedung di kota New York selalu sukses membuatku kagum. Aku lanjut melihat ruang tv yang di sampingnya langsung jendela yang sangat besar. Tv lcd di tempel di dinding dengan meja dan sofa berwarna biru langit di depannya.
“Astaga, ini sofanya bagus banget loh.” Kataku seraya menyentuh sofa tersebut.
“Kamu suka ?” Tanya Chris.
“Suka banget. Makasih banyak ya Chris.” Aku memeluk Chris.
“Iya sama – sama.” Chris tersenyum.
Sebelum bersantai, aku mandi dan berganti baju dahulu. Aku memakai pakaian santaiku kemudian aku duduk di sofa dengan Chris. Kami menonton tv, entah tayangan apa yang kami tonton. Aku hanya ingin bersantai dengan Chris sambil menikmati langit sore dari jendela apartment.
“Di sini pemandangannya bagus.” Ucapku.
“Iya memang. Makanya aku rekomendasikan apartment ini dari pada yang lain.” Balas Chris.
“Kalau di rumah aku gak bisa ngeliat pemandangan gedung – gedung perkantoran, gak bisa juga mau ngeliat langit sore hari sebagus ini.” Kataku.
“Memang. Syukurlah aku memilih apartment yang tepat buat kamu.” Ujar Chris seraya menyisir rambutku dengan tangannya.
“Berkat bantuan kamu, pikiranku tenang ibu sedikit teralihkan.” Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Kamu harus tenang ya, kan selalu ada aku. Baguslah kalau kamu tenang sekarang, berarti aku berhasil membuat kamu bahagia.” Balas Chris.
“Iya, kamu sukses membuatku bahagia tapi aku belum bisa buat kamu bahagia.”
“Kamu buat aku bahagia kok.” Chris mencium kepalaku.
Sore hari kami habiskan dengan bersantai dan nonton tv. Malamnya aku dan Chris memesan pizza untuk makan malam. Kami sedang malas untuk masak, apalagi kami belum membeli bahan – bahan makanan.
“Kulkas masih kosong banget loh.” Ucap Chris.
“Iya, gampanglah itu. Aku bisa belanja besok.”
“Nanti malam aja kita belanja.” Ajak Chris.
“Oh, oke. Abis makan malam kita ke supermarket untuk ngisi kulkas.” Aku mengangguk.
Beberapa menit kemudian pizza pesanan kami telah sampai. Aku dan Chris langsung melahapnya sambil menonton film. Salah satu momen kesukaanku adalah saat aku bisa bersantai di depan tv sambil memakan pizza bersama Chris.
“Enak banget kejunya.” Ucap Chris sambil memakan pizza.
“Iya enak. Kayak lumer gitu ya.”
“Aku mau makan ini setiap hari.” Tambahku.
“Kalau gitu aku bakalan ngirim pizza tiap malam buat kamu.” Kata Chris.
“Hahaha. Jangan dong, bosan juga kalau tiap malam makannya ini terus.” Aku tertawa.
“Kan kamu yang bilang mau makan pizza setiap hari. Hahaha.”
Setelah kami selesai makan pizza aku dan Chris pergi menuju supermarket terdekat. Aku dan Chris mengambil troli yang besar karena kami akan belanja yang banyak malam ini.
Aku dan Chris berjalan di area khusus sereal. Aku membeli dua sereal coklat berukuran besar serta s**u full cream. Lalu kami membeli perlengkapan mandi dan sayur – sayuran. Tidak lupa untuk membeli ikan, daging sapi, udang dan ayam.
“Semua ini udah cukup belum ?” Tanya Chris.
“Ini udah lebih dari cukup kok.” Jawabku.
“Kamu gak beli cemilan ?”
“Oiya ya, aku mau beli coklat deh.” Aku dan Chris berjalan menuju area snack. Betapa terkejutnya aku melihat ibu dan om Darwin yang sedang memilih – milih cemilan. Aku tidak tau kalau ibu sudah pulang dari Eropa.
“Mom.” Aku menegur ibu. Ibu terlihat sangat terkejut dengan kehadiranku di sini.
“Michelle, ngapain kamu di sini ?” Tanya ibu kepadaku.
“Mau belanja lah mom, mom ngapain di sini ? katanya bulan madu ke eropa ?” Tanyaku kebingungan.
“Iya, mom udah pulang kemarin.” Jawab mom.
“Kok gak ngabarin sih mom ?” Aku protes karena mom tidak mengabari aku ketika ia sampai di New York.
Ibu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaanku.
“Oke mom, gak usah dijawab pertanyaanku itu. Aku mau pulang dulu.” Aku pergi meninggalkan ibu.
“Michelle.” Panggil ibu sekali lagi seraya mengejarku.
“Apa mom ?” Aku menoleh ke belakang.
“Tunggu sebentar.” Pinta ibu.
“Ada apa lagi ?” aku berhenti berjalan.
“Kamu gak bisa dong marah sama mom kayak gini.”
“Mom juga berhak bahagia.” Lanjut mom.
“Aku tau itu mom, tapi apa harus mom ngelupain aku ? apakah mom harus mengusir aku dalam hidup mom ?” Tanyaku. Aku berusaha menahan air mataku agar tidak menetes.
“Mom cuma mau kehidupan baru.” Kata ibu sambil memegang bahuku.
“Tanpa aku kan ?”
“Gak Michelle.” Jawab ibu.
“Aku udah capek mom. Kalau mom mau aku gak ada di hidup mom lagi, it’s okay. Aku bahagia kok kalau mom bahagia.” Aku senyum dengan terpaksa.
“Thank you.” Ibu memelukku.
“Aku pulang dulu. Ayo Chris.”
Chris berjalan mengikuti keluar dari supermarket. Aku berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihanku.
“Kamu gak apa – apa ?” Tanya Chris khawatir.
“Aku gak apa – apa kok.” Aku berbohong. Aku tidak mau menangis di depan Chris.
“Kalau kamu lagi sedih, it’s okay. Kamu gak perlu nutupin kesedihan kamu.” Chris memelukku dari belakang.
Aku tidak kuasa menahan tangis. Air mataku langsung membasahi pipiku. Aku memeluk Chris dengan sangat erat. Semua kepedihan yang aku rasakan aku curahkan kepadanya.
“Aku capek banget Chris.” Ucapku.
“Aku tau. Ada aku di sini. Kamu jangan pernah ngerasa sendirian.” Chris mencium kepalaku dengan penuh kasih sayang.