Sesampainya di pemakaman ayah, sudah banyak orang yang berkumpul. Aku melihat ibuku yang berdiri tegak di samping makam ayah bersama suaminya. Bahkan di saat ayahku meninggal saja ibu tidak mengabari aku. Aku tidak mau berdiri di dekat ibu, bahkan aku tidak bisa untuk melihatnya dengan lama. Aku merasa seperti anak yang dibuang oleh orang tuanya.
Pendeta mengiringi pemakaman mulai dari pembacaan alkitab, pengakuan iman, nyanyian jemaat, dan doa syafaat.
Tiba saatnya untuk aku bicara yang terakhir kalinya untuk ayah. Aku berdiri di samping liang kubur ayah, “Oke baik. Saya hanya mempunyai beberapa tahun saja untuk mengenal ayah. Semasa kecil hingga saya sekolah, hidup saya bahagia dan seperti anak pada umumnya. Walaupun setelah itu semuanya menjadi kosong dan hampa. Walaupun saya tidak terlalu dekat dengan ayah, tapi saya mencintainya dan yang saya rasakan sekarang adalah kekosongan. Ayah orang yang baik dan penyayang. Ia juga pantang menyerah dan terus berusaha untuk keluarganya termasuk saya. I love you ayah.”
Aku mengusap air mataku dan mencium jenazah ayah untuk yang terakhir kalinya. Lalu aku duduk kembali ke bangku. Michael tersenyum, “Kamu kuat Michelle.” Katanya.
“Thanks.” Balasku.
Tangisanku pecah pada saat penurunan peti jenazah. Aku berdiri di samping Michael dan menyandarkan kepalaku pada bahunya. Ia berusaha menenangkanku. Satu – satunya penguatku sekarang adalah dia.
Aku menyaksikan tanah perlahan – lahan menutupi peti ayahku. Aku memejamkan mataku sejenak dan menguatkan mentalku. “Sampai ketemu di kehidupan lain ayah.” Ucapku dengan nada pelan.
Selesainya acara pemakaman, aku dan Michael berjalan pulang. Ibu tiba – tiba memanggilku, “Michelle, tunggu sebentar.” Panggil ibu.
Aku menoleh ke belakang, “Mom.”
Ibu langsung memelukku, “Kamu gak apa – apa kan?” Tanya Ibu penuh kekhawatiran.
Aku tidak menyangka ibu menanyakan pertanyaan seperti itu, jelas aku tidak baik – baik saja. Tapi aku harus meredam emosiku, aku tidak mau ada perdebatan yang tidak penting di hari yang penuh duka ini.
“Gak apa – apa kok mom.” Jawabku sambil tersenyum terpaksa.
“Kamu mau menginap di rumah mom gak malam ini?” Tanya ibu kepadaku.
Aku menggelengkan kepala, “Gak perlu mom. Aku gak masalah kalau sendirian kok.” Jawabku.
“Ya sudah mom, aku pulang dulu.” Aku pergi meninggalkan ibu dan masuk ke dalam mobil.
Michael menatapku dengan penuh arti, “Gimana kalau kamu di rumahku aja dalam beberapa hari ini sampai kamu udah siap untuk sendirian?”
Aku terkejut mendengar tawarannya. Aku diam sejenak untuk memikirkan saran darinya itu. Aku berpikir jika aku sendirian di apartment pasti aku akan stress, sedangkan Chris juga belum ada kabar sampai saat ini, “Boleh deh.” Jawabku singkat.
“Oke, kita ambil baju dan barang – barang kamu dulu ya. Oiya, kita kan belum makan dari pagi. Kita beli makan dulu kali ya.” Kata Michael sambil menyalakan mobilnya.
“Aku gak laper, kamu aja yang makan.” Balasku.
“Enggak bisa kayak gitu dong, kamu harus makan. Udah gak usah ngebantah ya.” Ucap Michael.
***
Sesampainya di Apartment Michael menyuruhku untuk langsung menyantap makanan yang dibeli tadi. Dengan tidak semangat aku duduk dan makan.
“Kamu makan yang benar dong, jangan diliatin aja.” Ucap Michael dengan nada tegas.
Michael menggeser kursinya agar lebih dekat denganku, “sini aku suapin.”
Aku menatapnya lalu menyantap sesuap makanan untuk pertama kalinya hari ini, “Enak.” Kataku sambil tersenyum.
“Iya dong, restoran pilihan aku gak pernah salah.” Balas Michael dengan gaya sombongnya.
Aku tersenyum melihat gaya sombongnya itu, “Makasih udah bikin aku senyum.” Ucapku.
“Udah, jangan banyak ngomong. Nih makan.” Perintah Michael sambil menyuapiku. Michael dengan sabarnya menyuapiku sampai makananku benar – benar habis.
Seusai kami berdua makan, aku pergi ke kamar untuk merapikan pakaian yang aku akan kubawa untuk menginap di rumah Michael. Aku memilih beberapa blouse, piyama dan celana. Aku hanya menaruhnya di satu tas pakaian.
Aku mengecheck hpku untuk melihat apakah Chris membalas chatku, tapi ia sama sekali tidak membalasnya. Aku merasakan sedikit kekecewaan di hatiku. Aku duduk sejenak di tempat tidur dan menghela nafas. Tidak seharusnya aku menginginkan dia untuk meresponku setelah semua yang aku lakukan kepadanya.
“Udah siap?” Tanya Michael memecahkan lamunanku.
“Sudah.” Jawabku, lalu aku membawa tas pakaianku.
Michael dengan sigap mengambil tas itu dari tanganku, “Biar aku aja yang bawa.” Ujarnya.
Aku mengunci pintu apartmentku, kemudian kami memasuki lift.
“Chris tau kalau ayah kamu sudah gak ada?” Tanya Michael penasaran.
“Dia gak tau. Dari semalam dia gak balas chatku.” Jawabku.
Michael mendekatiku dan merangkulku, “Jangan mikir soal Chris. Dia juga gak mikirin kamu.” Ucapnya.
Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya itu, saat ini aku tidak mau untuk membuat Michael jauh dariku. Aku butuh dia untuk sekarang.
***
“Kamu tidur di kamar ini. Besar kan kamarnya?” Ujar Michael sambil menunjukkan kamar yang akan aku tempatkan.
“Bagus, makasih banyak ya udah mau bantu aku.” Kataku, lalu aku memeluknya erat.
“Sama – sama.” Balas Michael.
Aku menaruh tasku di lantai dekat tempat tidur. Kemudian aku duduk sejenak memandang keluar jendela. Langit sangat indah hari ini, aku harus kuat menghadapi masalah – masalah di hidupku. Aku yakin kalau suatu saat hatiku akan merasakan kebahagiaan yang aku inginkan.
Michael mendekatiku dan duduk di sampingku, “Hidup ini memang dipenuhi masalah. Tapi aku tau, kamu pasti bisa untuk melewati semua ini.”
“Aku punya mimpi, mimpi yang sederhana. Aku cuma mau bahagia dan tenang. Aku mau merasakan apa yang orang – orang rasakan, bahagia.” Ucapku.
Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, “Aku seperti jalan ke suatu tempat tapi aku belum pernah ngeliat tempat itu, aku juga gak tau kapan aku sampai di sana. Berusaha untuk melawan pikiranku sendiri itu adalah hal yang paling sulit. Dan yang jadi pertanyaan adalah apa suatu saat aku bisa sampai? Apa aku bisa untuk kuat dan gak nyerah.”
Michael menyentuh tanganku dan tersenyum, “Aku yakin kalau kamu bisa sampai. Kamu harus terus yakin dan gak nyerah. Aku akan ada kapan pun untuk membantu kamu.”
Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Aku menahan untuk tidak mengeluarkan air mata, “Aku nyesal kenapa saat terakhir kali aku bertemu dengan ayah aku tidak menahan emosiku.” Keluhku.
“Hei. It’s okay. Di sini bukan sepenuhnya salah kamu.” Kata Michael mencoba untuk menenangkanku.
“Aku tau, tapi rasanya sesak.” Ucapku.
Michael berbaring di sampingku, “Dulu aku juga pernah kehilangan seseorang akibat kesalahan dan keegoisanku, tapi aku belajar untuk menerima diriku dan berusha untuk jadi orang yang lebih baik lagi.”