Hari ini adalah hari dimana aku akan menghadiri pernikahan teman Michael. Aku khawatir jika teman – teman Michael tidak menyukaiku. Apalagi mereka tau bahwa aku pernah dekat dengan Chris.
Aku memakai dress biru dongker sedengkul, tidak lupa untuk memakai jepit bunga untuk menambah kesan anggun. Michael memakai jas dengan warna senada denganku, kami terlihat seperti pasangan yang serasi.
Sebenarnya aku sangat malas untuk menghadiri pernikahan karena aku tidak sanggup melihat kebahagiaan sang pengantin. Bukannya aku iri, tetapi aku sangat ingin merasakan kebahagiaan semacam itu.
Setelah selesai bersiap – siap, aku keluar dari kamar. Aku berdiri di hadapan Michael untuk menunjukkan penampilanku hari ini.
Michael memandangku kagum, ia beranjak dari sofa dan menghampiriku. Ia mematung sejenak, “kamu cantik banget.”
Seketika aku tersipu malu mendengar pujian yang keluar dari mulutnya itu, “terima kasih.”
Kemudian Michael menyentuh lenganku, memperhatikan setiap sisi kulitku dengan seksama. Aku menatap matanya sangat dalam, lalu aku menyentuh wajahnya, “aku beruntung banget bisa ketemu dengan kamu.”
Michael menyentuh tanganku dan memejamkan matanya, “aku lebih beruntung.”
Lalu kami berjalan keluar dari gedung apartment. Orang – orang yang kami lewati memperhatikan kami. Perasaanku sangat tidak nyaman ketika aku menjadi pusat perhatian orang – orang. Aku menunduk dan berjalan cepat agar aku bisa segera sampai ke parkiran.
Sesampainya di tempat pernikahan, aku dibuat takjub oleh tema pernikahan ini, konsep pernikahan outdoor yang aku cita – citakan sejak dulu. Berbagai bunga mawar putih menghiasi berbagai sisi.
Meja dan kursi yang dibalut oleh kain putih memperkuat kesan suci di acara ini. Foto – foto pengantin yang di letakkan di sepanjang jalan membuat aku membayangkan acara penikahanku kelak. Satu kata untuk acara pernikahan ini, indah.
Aku dan Michael duduk seraya menunggu acara di mulai. Lantunan musik jazz mulai meredam suara berisik para pengunjung. Lalu pengantin wanita sudah mulai berjalan ke altar diiringi oleh seorang laki – laki paruh baya yang aku tebak adalah sang ayah dari pengantin wanita.
Pengantin laki – laki dengan setia menunggu di altar seraya memandangi calon mempelainya. Air mata bercucuran membasahi pengantin pria tersebut. Mereka tampak bahagia, bahagia sekali. Sepertinya mereka merasakan level kebahagiaan maksimal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Aku membayangkan perasaan si pengantin wanita itu, ditatap dengan penuh cinta oleh pasangannya. Dicintai dengan tulus, dinikahi dan dijadikan teman hidup oleh laki – lakinya. Perasaan yang selama ini aku nanti – nantikan. Mungkin ini belum saatnya untukku bahagia.
Janji – jani pernikahan mulai di ucapkan oleh pendeta. Kedua mempelai saling mengucap janji mereka masing – masing. Mereka berpegangan tangan, bertatapan dengan penuh cinta dan ketulusan.
Semua para tamu tampak senang, kecuali aku. Aku hanya tersenyum tipis ketika janji – janji penikahan selesai di ucapkan. Upacara pernikahan diakhiri dengan ciuman.
Selesai pengucapan perjanjian, pengantin memotong kue pernikahan mereka. Kue itu sangat tinggi sesuai dengan harapan mereka. Aku hanya diam, menonton mereka yang sedang berbahagia.
Michael yang berdiri di depanku tersenyum sangat lebar. Aku memilih untuk tidak mengganggunya dan menjauh dari keramaian. Aku memasuki gedung pernikahan dan pergi ke toilet. Aku duduk di dalam bilik toilet dan merenungkan nasibku.
Aku tau, aku keliatan sekali seperti orang iri. Tapi aku tidak iri, aku hanya ingin merasakan kebahagiaan. Aku tau harus ada sesuatu di dalam diriku yang harus aku perbaiki tapi aku belum bisa.
Tak terasa hampir setengah jam aku habiskan di bilik toilet ini. Michael menelfonku dan menanyakan keberadaanku. Aku langsung kembali ke acara pernikahan dan mencoba untuk pura – pura baik – baik saja.
Michael tersenyum dan melambaikan tangannya ketika ia melihatku.
“Kamu kemana aja?” tanya Michael sambil memegang tanganku.
“Aku ke toilet tadi, sempat kesesat juga makanya lama.” Jawabku berbohong.
“Ayo kita lihat makanan – makanannya. Enak – enak loh,” Michael memegang bahuku, lalu kami berjalan menuju area makanan.
Aku hanya mengambil dessert yaitu puding coklat, aku tidak nafsu untuk makan makanan berat. Rasanya lambungku sudah penuh dengan rasa sedih yang aku buat sendiri.
“Aku mau puding aja,” ujarku sambil mengambil puding.
Sedangkan Michael mengambil steak. ia menatapku penuh kebingungan, “kok kamu makannya sedikit?” tanya Michael.
“Aku gak nafsu makan aja.” Jawabku.
“Kamu makan in-“
“Tolong jangan paksa aku untuk makan yang berat – berat.” Potongku.
“Oke,” balas Michael sambil mengangguk.
Aku dan Michael duduk dan menikmati makanan yang kami ambil. Aku mencicipi puding ini dengan tidak semangat. Rasa nikmat dessert ini terasa hambar di lidahku.
Aku menjauhkan puding ini dari hadapanku, “gak enak rasanya.” Ucapku.
“Masa sih?” tanya Michael, kemudian ia mencicipi puding tersebut.
“Enak kok.” Tambahnya.
Aku menggelengkan kepalaku, “untuk kamu aja.”
Michael ikut menyingkirkan makanannya dan menggeser kursinya lebih dekat denganku. Lalu ia menggenggam tanganku, “are you okay?”
“I’m okay,” jawabku seraya tersenyum terpaksa.
“Jangan bohong sama aku,” balas Michael.
Aku memasang senyum terbaikku untuk menutupi kegundahan di dalam hatiku, “serius deh, aku baik – baik aja kok sekarang.”
Michael hanya menatapku dan menarikku menjauh dari keramaian, “ayo kita pergi dari sini,” ajaknya.
Kami memasukki mobil dan pergi dari tempat pernikahan.
“Kita mau kemana?” tanyaku penasaran.
“Liat aja nanti.”
Setengah jam kemudian mobil berhenti di suatu jembatan yang sangat sepi pengunjung. Aku keluar dari mobil, lalu Michael mengikutiku. Kami menatapi pemandangan kota New York yang terlihat sangat indah dari atas sini.
“Apa kamu bahagia?” tanya Michael kepadaku.
“Gak tau sih. Kamu bahagia?” aku membalikkan pertanyaannya.
Michael menggelengkan kepalanya, “enggak.”
“Kenapa?”
“Aku juga gak ngerti. Hidupku hampa rasanya.” Jawab Michael.
“Rasanya berat ya jalani hidup ini. Sepi, kosong, sedih semuanya jadi satu. Aku cuma mau bahagia, aku mau tau bahagia itu seperti apa sih rasanya. Apa sih rasanya menikah, punya kehidupan baru, punya keluarga bahagia.” Ujarku.
Michael mendekatiku dan merangkulku, “kamu kuat kok.”
Aku tersenyum kepada Michael, “thanks ya.”
Aku dan Michael menikmati pemandangan kota New York dari jauh. Gedung – gedung terlihat sangat kecil dan kebisingan kota tidak terdengar di sini. Perasaanku tenang di sini, aku merasakan kedamaian.
***
Waktu demi waktu aku lewati bersama Michael. Aku semakin dekat dan semakin yakin dengan perasaanku kepadanya. Aku juga sudah mulai merelakan Chris pergi dari hidupku. Mungkin ini adalah jalan untukku bahagia, bukan bersama Chris melainkan Michael.
Sifat Michael juga semakin membuat hatiku tentram, tidak ada lagi kalimat atau perkataan kasar yang terlontar dari mulutnya. Dia juga semakin sabar dan tidak mudah emosian seperti dulu.
Aku tidak pernah menyangka bahwa hubunganku dan Michael bisa sampai serius seperti ini. Aku dan Michael berkomitmen untuk tidak menyakiti hati satu sama lain. Dan aku juga mulai menyadari bahwa inilah saatnya bagiku untuk melangkah maju.
Hari ini adalah hari dimana aku memulai kehidupan baruku, Michael memintaku untuk tinggal bersamanya di rumah yang baru saja ia beli. Rumah yang tidak terlalu besar tapi sangat nyaman. Rumah ini terletak cukup jauh, letakknya di Huntington Beach, California.
Aku dan Michael pindah dari New York. Kami sudah bosan dan ingin mencari suasana baru. Aku akan tetap menjalani profesiku sebagai penulis, sedangkan Michael akan menjalani hotelnya di sana.
Perjalanan dari New York ke Huntington Beach memakan waktu sekitar 6 jam menggunakan pesawat. Kami akan terbang di jam 1 siang dengan kelas utama.
Aku mengemas semua pakaian dan barang – barangku, lalu aku pergi ke rumah Kyle untuk mengantar kunci apartment dan kunci mobil yang Chris berikan kepadaku. Aku benar – benar ingin melupakan dia dari hidupku.
“Kyle.” Panggilku, lalu aku memencet bel pintu depan.
Tidak lama kemudian Kyle keluar dari rumahnya, “hai Michelle, tumben ke sini.”
Aku tersenyum manis, “aku mau mengembalikan kunci rumah dan apartment. Tolong sampaikan ke Chris ya.”
Kyle mengambil kunci yang aku berikan. Ia terlihat terkejut, “kok dikembalikan?” tanya Kyle.
“Aku mau pindah dari New York siang ini,” jawabku.
Kyle membelalak, ia berjalan mendekatiku, “kenapa? Kamu udah ketemu dengan Chris belum?”
Aku menggelengkan kepala, “Dia udah gak ada di hidup aku. Aku juga lagi berusaha agar aku bisa melupakannya.”
“Aku juga udah lama gak ketemu dia. Yaudah nanti aku kasih ini ke Chris kalau aku ketemu dia,” balas Kyle.
“Kamu ke bandara gimana dong? koper – koper kamu siapa yang bawa kalau mobil di tinggal di sini?” tanya Kyle penuh perhatian.
“Ada yang jemput kok, boleh kan aku di sini dulu sampai dia datang?”
“Boleh banget lah. Ayo masuk.”
Aku dan Kyle masuk ke dalam rumah, kami duduk di ruang tamu. Kyle menyuguhkan segelas kopi panas untuk menemani kami yang akan berbincang – bincang.
“Kamu udah ketemu sama Chris?” tanyaku penasaran.
“Kan aku udah ngomong tadi kalau aku belum ngeliat dia selama berhari – hari. Aku juga gak tau dia dimana sekarang,” jawab Kyle.
“Kamu bohong ya? Kan kamu saudaranya gak mungkinlah kamu gak tau.” Balasku.
Kyle beranjak dan duduk di sampingku, “sumpah, aku gak tau.”
“Oke.”
Klakson mobil berbunyi menandakan bahwa Michael sudah berada di depan rumah Kyle.
“Itu sepertinya dia udah datang,” aku langsung berdiri dan keluar dari rumah. Kyle mengikutiku.
Michael keluar dari mobil dengan gaya cool – nya, ia tersenyum kepadaku. Michael tampak bahagia dan bersemangat, “Michelle, gak lama kan nunggu aku?” tanya Michael seraya berjalan mendekatiku.
Kyle terdiam ketika melihat Michael menjemputku. Mungkin ia tidak mengetahui bahwa aku sedang dekat dengan Michael.
“Kyle.” Sapa Michael.
“Hai.” Kyle tersenyum tipis.
“Mana barang – barang kamu biar aku angkat semua ke mobil aku,” ujar Michael.
“Oiya barang aku masih di dalam mobil.” Lalu aku, Michael dan Kyle memindahkan barang – barangku.
Setelah semua sudah tersusun rapi, aku dan Michael bergegas untuk berangkat ke bandara.
“Bye Kyle,” aku melambaikan tangan.
“Bye.”
Rasanya aku senang sekali hari ini dan tidak sabar untuk cepat – cepat sampai di tempat tujuan. Aku memegang tangan Michael, lalu aku menatapnya, “aku senang banget hari ini.”
“Aku juga. Aku bahagia banget,” balas Michael.
“Aku gak sabar untuk cepat – cepat sampai di sana dan menikmati pantai berduaan sama kamu.” Ujarku.
Lalu Michael menyentuh pipiku dengan lembut, “Aku juga princess.”