Part 19

1168 Kata
Mereka menghabiskan malam terakhir di villa dengan makan malam di halaman belakang yang cukup dingin. Sandy, dibantu mang Tatang membuatkan api unggun untuk mereka nikmati dan membakar daging yang masih ada dari dalam kulkas. Giska membuatkan salad sayuran sementara Kiki membuatkan minuman. Mereka membicarakan hal yang random. Membicarakan masa-masa sekolah Raia, Kiki dan Giska dan juga membahas kehidupan yang Sandy jalani saat tinggal di luar negeri. Setelah puas, mereka kembali ke kamar masing-masing dan berencana untuk pulang keesokan hari. Giska terbangun saat subuh. Saat Raia memutuskan untuk kembali tidur, ia memilih untuk mengambil cardigannya dan berniat turun. Tepat saat ia membuka pintu, ia melihat Sandy juga membuka pintu kamarnya. "Lho, subuh-subuh begini, mau kemana?" tanya Sandy bingung. Giska tersenyum dan mengedikkan bahu. "Jalan-jalan pagi, Bang." Jawabnya santai dan terus melangkah menuju tangga. "Sendirian?" tanya Sandy lagi, sedikit khawatir. Giska menganggukkan kepala. "Gak takut nyasar?" tanyanya lagi. Giska kembali menggelengkan kepala. " Enggak, Bang. Lagian jalannya gak jauh kok, sekitaran sini aja." Jawab Giska lagi. "Mau sekalian cari sarapan. Di area perkebunan biasanya ada yang jualan nasi kuning, nasi uduk sama gorengan." Ucapnya sambil tersenyum. "Kok kamu tahu?" tanya Sandy heran. "Ya, kan Giska udah berkali-kali nginep disini." Jawabnya apa adanya. Sandy hanya mengangguk saja. "Ikut, boleh?" tanya pria itu lagi. Giska terdiam sejenak, tapi kemudian menganggukkan kepala. "Tunggu bentar, ngambil dulu jaket." Ucap pria itu, Giska mengangguk tapi terus meneruskan langkahnya ke bawah. Ia menunggu Sandy di pintu depan sambil duduk dan mengayunkan kakinya. Sandy muncul dengan jaket dan menenteng sandal yang dia ambil entah darimana. Setelahnya mereka berjalan bersisian meninggalkan villa. Tanpa mereka sadari, dua pasang mata memperhatikan keduanya berjalan menjauh. Satu dengan senyum di wajahnya yang satu dengan ekspresi datar tak terbaca. "Abang ini yang punya villa, tapi kayaknya gak tahu tentang lingkungan sekitar sini ya?" tegur Giska saat mereka sudah keluar dari gerbang. Sandy nyengir dan menganggukkan kepala. "Abang sebenernya kurang suka jalan-jalan. Ya, lihat aja Raia gimana." Jawab Sandy apa adanya. Giska menganggukkan kepala. Yang ia tahu dari Raia dan juga Andra, Sandy memang seorang kutu buku. Pria itu jarang bergaul, tidak seperti Andra yang suka sekali berteman. Menurut Andra, Sandy sibuk sendiri karena dia memiliki tanggung jawab berat untuk mengemban perusahaan orangtuanya. Berbeda dengan Andra yang dibebaskan untuk memilih ingin menjadi apa, Sandy dituntut oleh orangtuanya untuk melanjutkan usaha. Karena itulah, setelah kepulangannya kini, pria itu akan melanjutkan dengan bekerja di perusahaan keluarga. Sementara Andra, meskipun bekerja di perusahaan ayah mereka, pria itu masih diperkenankan untuk bekerja di tempat lain, dan pilihan Andra saat ini adalah menjadi dosen di salah satu kampus di Bandung. Mereka melangkah tanpa banyak bicara. Memperhatikan orang yang sudah mulai aktif berjalan dan memetik teh di perkebunan. Motor-motor dan mobil-mobil bak terbuka alu lalang dengan membawa hasil perkebunan dan ranting-ranting dalam tumpukan tinggi. "Kita beruntung, hidup di kota besar dan berkecukupan." Komentar Sandy begitu saja yang membuat Giska menoleh ke arahnya. "Mereka belum tentu menikmati kemewahan seperti kita. Kerja keras mereka belum tentu terbayar cukup." Ujarnya melanjutkan. Giska menganggukkan kepala sebagai respon. "Abang denger mereka dibayar sebanyak yang mereka petik. Dan itu gak seberapa jumlahnya." "Abang kepo juga ternyata." Komentar Giska sambil terkekeh sendiri. "Emang kalian aja yang boleh kepo." Jawab Sandy yang membuat senyum Giska semakin lebar. Lagi-lagi, Sandy tertegun. "Kamu, emang biasa kayak gini ya?" tanyanya heran. Giska memandang Sandy bingung. "Pertama kali ketemu dulu, kamu itu kelihatan jutek banget." Jawab Sandy menjelaskan. "Jangankan ketawa, senyum aja kayaknya berat." Mendengar komentar Sandy, Giska kembali terkekeh. "Wajah aku udah kayak begitu, mau digimanain lagi?" ucapnya datar. "Lagian, masa iya aku harus senyum-senyum sendiri. Kalo gak disebut kecentilan, nanti disangka gila lagi sama Abang." Jawabnya lagi yang membuat Sandy menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Iya juga sih." Jawab pria itu sambil nyengir. Mereka benar-benar mampir di sebuah saung yang menjual nasi kuning dan gorengan yang masih mengepul. Disana sudah ada beberapa pria yang mengenakan kaus lengan panjang di bagian dalam dan dilapis dengan kaus lengan pendek di luarnya. Dari sepatu bot karet yang mereka kenakan, Giska dan Sandy menduga kalau mereka adalah karyawan kebun. Belum lagi keranjang dan caping yang ada di belakang bangku kayu yang mereka duduki. Giska tersenyum kepada mereka sebagai sapaan sebelum duduk dan mereka membalas dengan senyum yang tak kalah ramahnya. Setelah memesan dua piring nasi kuning, Giska mulai mencomot gorengan sebagai lauk makannya. Sandy memandang gadis itu sejenak dan mengikuti cara makan Giska yang mengenakan tangan. "Teteh sama Akang tamu?" tanya salah satu pria yang sedang menyeruput teh hangat. Giska dan Sandy menganggukkan kepala. "Lagi bulan madu?" tanyanya lagi yang membuat Sandy tersedak makanannya. Giska terkekeh dan menepuk punggung pria itu dengan pelan. "Bukan, Pak. Kami gak lagi bulan madu." Jawabnya seraya mengangkat tangannya. "Tuh, gak ada cincin nikah." Kekehnya lagi yang membuat pria yang bertanya itu tersenyum malu. "Kita serasi ya, pak?" tanya Giska lagi yang dijawab anggukan pria yang sebenarnya tidak terlalu tua itu. Namun Giska tidak berencana melanjutkan pembicaraan mereka tentang 'hubungan'. Ia justru dengan asyik membicarakan mengenai desa dan kegiatan mereka sehari-sari sampai kemudian pria-pria itu undur diri dan melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah makan, Giska dan Sandy kembali berjalan-jalan sampai kemudian mereka merasa matahari pagi sudah cukup terik dan memutuskan untuk berjalan pulang. Saat memasuki rumah, mereka mendapati Raia yang tengah duduk di meja makan dengan ekspresi wajah cemberut. "Asyik ya, jalan berduaan gak ngajak-ngajak." Komentarnya ketus yang membuat Sandy dan Giska saling lirik. "Salah sendiri, tidur kayak kebo." Jawab Giska seraya berjalan menuju dapur dan mengambil minuman. "Tinggal bangunin, apa salahnya sih." Keluh Raia lagi. Giska kembali dengan membawa dua gelas air hangat, menyerahkan salah satunya pada Sandy yang kembali dibuat tertegun namun menerimanya sambil menggumamkan terima kasih. "Males aja, ngajakin loe jalan malah nantinya ngeluh terus. Capek. Kapan sampai. Kita mau kemana. Blah-blah-blah." Komentar Giska lagi yang membuat Raia semakin cemberut dan Sandy terkekeh. "Kita pulang jam berapa, Bang?" Giska mengalihkan perhatiannya pada Sandy. "Sesiapnya kalian aja." Jawab Sandy datar. Giska hanya mengangguk dan kemudian melangkah meninggalkan meja makan. "Loe mau kemana? Sarapan!" pekik Raia yang dibalas lambaian tangan Giska. "Kita sarapan tadi diluar." Jawab Sandy seraya memperhatikan sop hangat di atas meja. "Siapa yang masak?" tanyanya ingin tahu. "Kiki." Jawab Raia lagi. Tapi gadis yang disebut tidak ada disana. "Kiki lagi mandi." Ucap Raia, menjawab pertanyaan tak terucap Sandy. "Oh, ya udah. Abang juga mau mandi." Ucap pria itu lantas bangkit dari duduknya dan melangkah menuju tangga. Tak lama setelah itu, Kiki keluar dari kamarnya. Mengenakan rok dibawah lutut berwarna putih dan atasan rajut tipis oversixe berwarna putih pula. Gadis itu terlihat segar dengan wajah putih merona. Ia menatap Kiki dengan senyum di wajahnya. "Tadi kayak ada suara Bang Sandy?" tanyanya yang dijawab anggukkan Raia. "Mana?" Tanyanya lagi karena melihat sosok itu tidak ada. "Ke atas. Mau mandi katanya." Jawab Raia dengan nada ketus bersamaan dengan Kiki yang duduk. "Ya udah, gue tunggu Bang Sandy turun aja." Ucapnya lagi saat Raia menyendok sup ke dalam mangkuk. "Dia gak akan sarapan. Katanya udah sarapan diluar tadi sama Giska." Jawabnya datar dan tanpa Raia lihat, Kiki mencengkeram roknya dengan erat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN