Sandy berjalan paling depan, melangkah dengan hati-hati melewati pijakan batu alam. Tangannya menuntun Raia supaya adiknya itu tidak terpeleset dan jatuh. Di belakangnya Raia memegang tangan Giska dan mereka terus berjalan sampai tangga besi.
Raia diminta untuk menaiki tangga lebih dulu, namun karena Raia pada dasarnya penakut, dia menggelengkan kepala dan meminta Giska untuk melangkah lebih dulu. Giska terkekeh dan sempat mengejek Raia sebelum ia mulai menaiki tangga satu persatu. Tangga itu cukup curam. Posisinya vertikal dengan kemiringan kurang lebih sepuluh derajat. Warna cat tangganya sudah memudar dan mereka bahkan bisa melihat warna asli besi tersebut dan itu cukup licin untuk dipegang dan dipijak.
Setelah ketiganya sudah berada diatas, mereka kembali berjalan ke sisi kiri menaiki tangga batu lagi yang terasa licin di telapak kaki. Mungkin karena jarang orang yang sengaja berjalan kesana, jadi batu-batu itu jarang terjamah.
Di hadapan mereka terdapat sebuah jembatan bambu yang harus mereka lewati jika ingin sampai ke curug ke tiga. Curug ini lagi-lagi lebih tinggi dari curug kedua dan aliran airnya sangat deras. Posisinya juga sangat tinggi sehingga mereka harus berhati-hati, karena jika tidak, jika mereka sampai terjatuh, mereka bisa cedera.
Raia bersorak kegirangan. Mengeskpresikan diri atas keberhasilannya sampai sejauh ini. Dia meminta Sandy supaya mengabadikan momen itu dengan ponselnya. Dan Sandy dengan senang hati melakukannya. Pakaian mereka basah karena pose-pose yang mereka ambil berdekatan dengan air terjun yang mau tak mau membuat mereka terciprati air.
Setelah cukup puas mengabadikan momen, mereka kembali meninggalkan curug tilu. Mereka tidak mau berlama-lama disana, karena selain lokasinya yang sedikit menakutkan, mereka juga tak tega meninggalkan Kiki sendirian di warung kopi.
Namun niatan mereka untuk tak ingin membuat Kiki menunggu sendirian kembali tertunda karena mereka juga penasaran untuk merasakan air di curug kedua. Pasalnya disana areanya lebih datar dan lebih luas sehingga mereka bisa lebih leluasa dan merasa lebih aman untuk bermain air jika dibandingkan dengan curug ketiga.
Raia menarik Giska untuk main air dan kembali meminta Sandy untuk memoto. Bergiliran mereka mengambil pose. Mulai dari pose yang anggun sampai pose yang konyol. Mulai dari foto full badan sampai beberapa bagian badan, seperti hanya memoto kaki dan tangan yang terendam air. Mulai foto sendiri-sendiri sampai foto bertiga dengan bantuan pengunjung yang sedang berenang.
Pada akhirnya, mereka keluar dari area air dengan tubuh sepenuhnya basah kuyup namun dengan tawa bahagia.
Saat Giska, Raia dan Sandy melangkah menuju kedai kopi. Mereka mendapati Kiki yang tampak kebingungan.
"Ki, kenapa?" Tanya Raia panik.
Kiki mendongakkan kepala, memandang tiga orang di hadapannya dengan mimik panik dan bersalah. Lalau tatapannya mengarah pada Giska.
"Ka, maaf." Ucap Kiki dengan lirih yang membuat Giska mengerutkan dahi bingung.
"Kenapa?" Tanya Giska bingung.
"Ini..." Kiki mengangkat pakaian Giska yang sudah basah dan kotor di tangannya. "Tadi, aku ambil powerbank dari tas kamu. Karena gak ketemu juga, aku keluarin isi tas dan ternyata powerbanknya ada di dasar tas. Pas aku mau masukin lagi pakaian kamu, ada pengunjung yang gak sengaja numpahin air kopi sama seduhan mie cup ke baju kamu." ucap Kiki sambil menunjukkan noda coklat kopi dan warna kekuningan dari kuah mie.
Giska terdiam seketika. Ia hanya membawa satu pakaian ganti, dan ia juga tidak mungkin mengganti pakaiannya dengan pakaian kotor yang ada di tangan Kiki.
"Celana aku gak basah kan?" tanya Giska seraya mencari celananya. Kiki menggelengkan kepala. "Ya udah, aku ganti celana dulu." ucap Giska lagi.
"Trus baju kamu gimana?" tanya Raia pada Giska dengan khawatir. "Gue juga cuma bawa satu baju, Ka." Ucapnya menyesal. "Loe pinjem punya Kiki aja." Saran Raia pada Giska, namun Kiki menggelengkan kepala.
"Baju gue juga sama kebasahan, Ya. Kan barengan ketumpahannya." Ucapnya dengan nada menyesal. Giska hanya menarik napas panjang sementara Raia tampak kebingungan.
"Ya udah, pakai kaus Abang aja." Saran Sandy yang tanpa menunggu jawaban langsung menyodorkan salah satu kausnya pada Giska. "Ada untungnya kan bawa cadangan." Ucap pria itu sambil tersenyum jahil pada Giska, mengingat tadi Giskalah yang menyarankannya membawa dua kaus namun dirinya sendiri malah membawa satu saja.
Giska nyengir pada Sandy namun menerima kaus itu begitu saja. Dia tidak mungkin kan pulang dengan baju basah. Bisa-bisa bukan hanya masuk angin, tapi dia bisa kena radang dingin.
Mereka masuk ke salah satu bilik ganti yang ada dekat dengan warung. Mengganti pakaian basah dengan pakaian kering dan keluar tak lama kemudian.
Mereka memutuskan untuk mengganjal perut dengan membeli mie dari si pemilik warung dan teh manis hangat untuk menghilangkan rasa dingin yang semakin terasa di area perut. Sambil menunggu mie matang, Raia menyisir rambut Giska yang panjang dan lebat dengan penuh kelembutan seperti seorang ibu yang sedang menyisir rambut anaknya yang sesekali membuat Giska terkekeh sendiri.
Setelah kenyang dan merasa sudah bertenaga kembali, mereka memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi. Mereka kembali melewati jalan berpaving blok dengan sisi kiri kanannya dinding batu alam. disana mereka menemukan lebih banyak saung dan juga ada sebuah kolam renang buatan yang tidak digunakan. Entah sedang dikuras atau memang tidak dioperasikan lagi. Lalu ada juga area bermain anak-anak yang sebagian besar sudah mulai berkara. Ayunan, roda putar dan bahkan panjat tambang juga ada disana.
Mereka melihat spot tertinggi dan memutuskan untuk berfoto berempat disana sebelum meneruskan jalan pulang.
Dalam perjalanan kembali ke villa, mereka memutuskan untuk mampir di sebuah rumah makan Sunda karena jelas mie instan yang mereka makan tadi tidak sepenuhnya mengisi perut. Saat sedang memesan makanan, Kiki pamit menuju toilet dan kemudian Raia mengikutinya sehingga mau tak mau tinggalah Giska dan Sandy berduaan.
"Kamu kok betah temenan sama Raia?" pertanyaan itu begitu saja terlontar dari mulut Sandy yang membuat Giska menatap pria itu dengan alis menyatu karena bingung.
"Maksudnya?" Tanya Giska bingung.
"Abang perhatiin, karakter kalian itu jauh beda. Kalau Kiki sama Raia bisa dibilang setipe ya. Sebelas dua belas. Sama-sama anak kota pecinta teknologi, sementara kamu, Abang perhatikan kalau kamu lebih berjiwa bebas gitu."
Giska terkekeh. "Mereka dulu juga kayak Giska, Bang. Cuma mungkin karena makin kesini mereka makin dewasa, makin memperhatikan penampilan, jadi ya, begitulah." Ucap Giska lagi.
"Begitu ya?" Sandy balik berpikir. "Abang gak sadar itu, mungkin karena Abang selama ini kurang perhatian kali ya?" Sandy balik bertanya pada Giska. Giska menjawab pertanyaan pria itu dengan kedikan bahu. "Kalian juga udah temenan cukup lama, tapi kayaknya baru kali ini ya bisa barengan kayak gini. Maksudnya, Abang sama kalian gitu." Ucap pria itu lagi. Giska menganggukkan kepala. "Andra gimana, apa dia seacuh Abang sama kalian?" tanyanya lagi ingin tahu.
Giska menggelengkan kepala. "Mas Andra deket sama kita-kita. Dia justru kayak satpam." Jawab Giska sambil terkekeh seraya mengingat kembali sifat kakaknya yang perhatiannya teramat sangat berlebihan.
Kalau dibandingkan dengan orangtua Giska sendiri, Andra justru sangat lebih perhatian, peka, dan menjaga Giska. Pria itu bisa dikatakan bisa tahu hal terkecil dari Giska sekalipun pria itu tidak menunjukannya. Raia bahkan seringkali menjuluki Andra seorang sister komplek saking perhatiannya Andra pada Giska.
Jika orangtua Giska mengijinkannya melakukan sesuatu, seringkali Andra melarangnya. Namun jika orangtua Giska mengatakan supaya Giska tidak melakukan suatu hal, maka Andra justru akan mengijinkannya.
Seringkali Giska berpikir, bisa jadi kakaknya itu ingin Giska menjadi pembangkang sehingga nantinya Giska yang akan dimarahi oleh orangtuanya. Namun Andra menjelaskan, kalau sebagai anak muda, terkadang ia memiliki pemikiran yang berbeda dari orangtua. Ketika orangtua menganggap apa yang anak-anak lakukan itu bahaya, justru itu adalah saatnya anak untuk tahu dengan sendirinya seperti apa itu bahaya, supaya nantinya mereka tidak coba-coba di belakang.
Menurut pendapat kakaknya, semakin banyak dilarang, semakin ingin kita tahu. Dan jika kita melakukannya tanpa sepengetahuan orang lain, itulah bahaya yang sesungguhnya.
"Maksudnya?" Tanya Sandy ingin tahu.
"Ya, Mas Andra selalu harus tahu kita kemana, sama siapa, sampai jam berapa. Dia gak perlu tahu kita ngelakuin apa aja. Katanya dia percaya kalo aku, kami, bisa menjaga diri. Bisa membatasi diri. Tapi dia perlu tahu kami kemana sama siapa itu untuk berjaga-jaga. Minimal, jika nanti salah aku gak bisa dihubungi, dia bisa hubungi siapa yang dia tahu ada sama aku saat itu. Begitulah." Jawab Giska apa adanya.
"Emang kamu gak risih digituin sama abang serasa pacar?" tanya Sandy, terkekeh dengan pertanyaannya sendiri. Karena jujur saja, dia tidak sebegitu perhatiannya pada Raia seperti kakak Giska.
"Awalnya risih. Aku bahkan sempet bilang sama Mas Andra buat cari pacar supaya ada yang bisa dia kepoin. Tapi mas Andra bilang, adik tetep nomor satu." Jawabnya seraya bergidik sendiri dengan sifat kakaknya yang sedikit obsesif dan overprotektifnya itu.
"Itu sama aja dengan dia bilang dia gak punya pacar." Jawab Sandy yang dijawab anggukkan dan kekehan Giska.
"Mana mau sih cewek diduakan?" Tanya Giska retoris. "Bentar-bentar Giska, bentar-bentar Mama. Kan lama-lama cewek juga sebel sendiri. Iya gak sih?" Giska memandang Sandy dan pria itu sempat tertegun dengan mata mengarah pada Giska sebelum kemudian menganggukkan kepala. "Abang pernah gak sih ketemu sama satu aja pacarnya Mas Andra? Kalian kan temenan sejak lama sebelum Abang pindah keluar, pernah gak sih kalian kencan bareng gitu? Pernah gak lihat Mas Andra berantem gitu sama pacarnya?"
Sandy tampak berpikir. Ia mengangguk perlahan, mengingat satu momen dimana ia sempat melihat Andra bertengkar dengan salah satu mantan pacarnya saat mereka duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas dulu.
"Mereka berantem karena apa?" Tanya Giska kepo.
"Lupa. Tapi kalo gak salah, waktu itu si ceweknya bilang begini. 'Pacaran aja sama adik loe!', gitu." Ucap Sandy seraya menirukan ucapan si gadis yang terkesan manja dan cengeng yang membuat Giska kembali terkekeh karenanya.
"Nah, kan." Ucap Giska membenarkan. "Abang percaya gak kalo aku bilang dulu, waktu kelas satu SMA, ada cewek yang datang ke sekolah aku dan tiba-tiba jambak rambut aku, nuduh aku itu pelakor karena udah rebut mas Andra dari dia?" tanya Giska pada Sandy yang membuat pria itu terbelalak memandangnya tak percaya lalu menggelengkan kepala.
"Masa sih?" tanyanya tak yakin.