Drean mendadak diam dan tak banyak bicara. Sementara Biandra menatap putranya dengan tatapan tak mengerti kenapa dia sangat membenci Jevan. Jevan D'movic tak banyak bicara. Dia memiliki sorot mata biru nan dingin namun sebenarnya hatinya sangat hangat. Lelaki itu bahkan tidak pernah menyakitkan Drean, tapi Drean selalu menunjukkan sikap jika dia tak suka pada kakaknya.
"Apa kau benar-benar membenci Jevan?" Biandra menatap Drean. Hezelfin yang tengah menyeka keringat dingin Jevan memandang ibunya dengan tatapan tak percaya. Kini, Drean menyesali perkataannya.
"Sudah kubilang berhenti membenci Jevan, sekarang kau bahkan membuat Briekey bersedih," Vile bergumam pelan. Drean menelan ludahnya kasar. Jawaban apa yang pas agar dia terhindar dari amukan Biandra?
"Aku tidak membencinya," Drean bergumam. Lelaki itu menunduk. Dia tak berani menatap ibunya. Tatapan itu penuh goresan luka.
"Briekey, Briem Drean tidak mungkin membenci Briem Jevan," Hezelfin mencoba meyakinkan ibunya. Tapi sepertinya itu tidak membantu. Selama ini Biandra mencoba menahan pertanyaan ini di dadanya. Tapi kini dia akhirnya menanyakan itu pada Drean.
"Hezelfin benar, Briekey, mungkin Drean hanya kesal pada Jevan," Tukas Vile.
"Kalian sebaiknya diam. Ini urusanku dengan Drean. Drean, kenapa kau begitu membenci Jevan?"
Biandra bertanya dengan tatapan penuh emosi. Mereka berdua terlahir dari rahim yang sama. Diam-diam selama ini Biandra tahu perlakuan buruk Drean pada Jevan. Lelaki itu sama sekali tidak menghormati kakaknya.
"Apa aku harus menyukainya?"
Drean mengangkat kepalanya. Entah keberanian dari mana kini dia menatap Biandra dengan berani.
"Apa!" Biandra kaget dengan jawaban Drean. Begitu juga dengan Hezelfin dan Vile. Mereka menatap takut ke arah Biandra. Sebuah ketakutan bahwa Biandra akan marah.
"Apa aku perlu mengulang ucapanku, Briekey? Apa aku harus menyukai Jevan? Seseorang yang selalu membuat penduduk Argenta menangis setiap Rose Blood datang. Kenapa aku harus menyukainya jika dia penyebab orang - orang di luar sana mati."
"Drean hentikan! Kamu sudah keterlaluan." Vile kini angkat bicara. Jawaban Drean sudah pasti akan menyulut emosi Biandra. Hezelfin yang tengah mengobati Jevan berdiri dan berjalan ke arah Biandra. Dia menggenggam tangan ibunya yang bergetar.
"Briekey, sudahlah. Tidak baik membahas hal ini di hadapan Briem Jevan. Briem Jevan tengah sakit sekarang. Tolong jangan bertengkar." Hezelfin menatap Biandra dengan tatapan memohon.
"Mau sampai kapan kita membiarkan penduduk Argenta berkorban? Briekey, apa Briekey tidak kasihan dengan penduduk Argenta?" Drean kembali bicara. Kali ini dengan nada lebih tenang namun masih dengan pertanyaan yang menyakitkan.
Drean benar. Perkataannya benar. Biandra tidak bisa menyangkal. Demi menyelamatkan Jevan dia mengorbankan penduduk Argenta. Penduduk tak bersalah, mengurung mereka di Reseveltdon bersama Jevan. Tidak ada jaminan mereka kembali dengan selamat. Ada yang kembali dengan terluka parah. Ada yang kembali dengan tulang yang patah. Ada yang kembali dengan kehilangan tangannya. Dan lebih banyak penduduk yang tak kembali karena mereka kehilangan nyawa.
Setiap pintu Reseveltdon terbuka, tangis penuh harap dari penduduk Argenta selalu mengiringi terbukanya pintu itu. Biandra tahu, bagaimanapun juga dia seorang ibu. Settiap kali pintu Reseveltdon terbuka rasa bersalah selalu menghantam dirinya. Mengirim penduduk Argenta masuk ke Resevetdon bersama Jevan itu juga beban baginya. Hatinya sakit. Apalagi jika Jevan mencoba menahan diri dan membuat dirinya seperti hari ini.
“Tidak ada yang ingin terlahir seperti Jevan.” Biandra menatap Jevan dengan tatapan sedih. Tidak ada manusia yang ingin terlahir untuk dibenci orang lain. Biandra juga bisa melihat goresan luka itu di mata Jevan. Bibirnya bisa saja diam dan tidak mengatakan apa-apa, tapi sorot mata biru safirnya yang teduh jelas mengatakan segalanya,
“Karena itu aku harap kau jangan terlalu membencinya, Drean. Seluruh penduduk Argenta boleh saja membenci Jevan, tapi tolong kamu jangan. Jevan sudah sangat menderita sampai saat ini,” tukas Biandra. Drean menunduk. Semua perasaan bencinya pada Jevan mendadak luntur karena perkataan Biandra.
“Briekey, sudahlah. Briem Drean pasti juga menyayangi, Briem Jevan. Iya kan, Briem?” Hezelfin mengenggam tangan Biandra. Gadis itu mencoba menyalurkan rasa hangat di tangan Biandra yang dingin.
Drean diam. Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Hezelfin dan memilih pergi. “Bagaimana keadaan Jevan, Hezel?” Biandra bertanya penuh harap.
Hezelfin menarik napas dalam. “Kita sepertinya harus memanggil dokter, luka fisik Briem Jevan juga harus diobati,” tukas Biandra. Biandra menatap ke arah Jevan. Lelalki itu tidak pantas mendapatkan segala kebencian, namun dia sudah menanggung banyak hal selama ini.
“Apa Jevan akan baik-baik saja?” ujar Biandra penuh harap. Hezelfin menggeleng dengan wajah khawatir. Dia ingin mengangguk tapi dia tidak dapat memastikan bahwa Jevan akan baik-baik saja dengan keadaannya sekarang.
“Jumlah Nodic, Briem terus menurun. Kita harus segera mencari solusinya,” Hezelfin menatap Biandra dengan resah.
“Apa kita harus mencoba cara itu?” Vile angkat bicara. Biandra menggeleng begitu juga dengan Hezelfin.
”Dengan mengorbankan kamu harus pergi ke Magenta sendirian? Aku rasa itu bukan solusi, Vile.”
Biandra tidak menyetujui usulan Drean. Dengan membiarkan Vile masuk ke wilayah Magenta jelas sama saja dengan menumbalkan nyawa putranya. Biandra tahu Vile adalah seseorang yang berani. Dia juga cukup dekat dengan Jevan, meskipun lelaki itu tak banyak bicara tapi Vile tak lelah mencoba mendekati Jevan dan berusaha untuk dekat dengannya.
“Apa ada solusi lain,Briekey?”
Jelas tidak ada. Lovus Odium, sebuah tanaman langka yang saatt ini dibutuhkan oleh Jevan D’movic yang tengah terbaring lemah karena Nodicnya terus menurun. Kulitnya mulai berwarna pucat agak kebiruan karena dia harus segera diobati dengan Lovus Odium. Sayangnya untuk mendapatkan tanaman itu tidaklah mudah. Lovus Odium tumbuh di atas gunung bersalju tidak mudah ke sana karena jalan terjal dan penuh bebatuan. Belum adanya tanaman berduri dan beracun di sepanjang jalan menuju Gunung Vriden. Hal yang paling sulit bukan melewati gunung dan tanaman tersebut tapi mereka harus melewati Magenta agar bisa pergi kesana.
“Aku akan memikirkannya Vile, tapi kau jangan pergi ke sana karena itu berbahaya. Kita pasti akan menemukan solusi untuk Jevan.” Meski tak yakin Biandra masih mencoba untuk berpikir rasional. Keselamatan Vile itu penting. Meskipun Vile punya kekuatan yang cukup untuk mendaki ke gunung Vriden tapi dia tidak bisa ke sana sendirian.
“Aku harap Briem segera sembuh,” Vile melantunkan harapannya dengan tulus. Lelaki itu menggenggam tangan Jevan yang dingin. Sejenak dia merindukan pergi ke kafe demi segelas bir dan juga camilan saat penat di rumah. Dunia ini luas, tapi seolah sempit bagi Jevan. Terutama Argenta. Tak ada satu pun penduduk di Argenta yang mampu menatap mata Jevan. Mereka segera menyingkir saat Jevan lewat di jalan bukan layaknya seseorang yang terhormat tapi seperti monster atau preman yang bisa menyakiti mereka kapan saja. Jevan bukan monster. Namun orang di sekitarnya yang membuattnya menjadi monster mengerikan.