Nawa duduk di ruang kerjanya dengan rahang mengatup kuat, tinjunya mengepal di atas meja. Dirinya tahu betapa keterlaluan sikapnya tadi terhadap Alisha. Dia yang menyembunyikan segalanya, tetapi justru dia juga yang membuat istrinya terluka. Namun, di balik emosinya, ada satu hal yang lebih mendesak—ancaman yang mengintai mereka. Dengan napas berat, dia segera menekan nomor Kana, adik iparnya. “Kana, aku butuh informasi tentang nomor yang mengirim pesan itu. Segera!” perintah Nawa, suaranya tegas meskipun hatinya bergejolak. "Baik, Bang. Aku segera urus," jawab Kana dari seberang. Sementara itu, dari lantai bawah, Nawa masih bisa mendengar suara tangis dan teriakan Alisha dari kamar mereka di lantai dua. Suara itu menusuk dadanya seperti belati. Ingin rasanya dia berlari ke atas, mende

