Gerbang Belakang

2080 Kata
"Dorrr!!!" Rigel yang sudah memejamkan mata pasrah selepas mengatakan pesan terakhirnya pada Joanna, seketika mengerjap kala suara tembakan terdengar jelas dalam gendang telinganya. Bahkan suara dengungnya masih begitu terasa, mengejutkannya sekaligus membuatnya bertanya-tanya suara tersebut dari mana. Lalu, ia mendapatkan jawabannya ketika suara Joanna menyentak dari seberang sana. "Woy, Rigel. Bangun! Tancap gas, mobilnya tahan api tenang saja!" Rigel tersentak, ditambah suara gerungan mesin mobil dari arah belakang. Ketika melihat jarak mobil tank sedikit lagi mendekati mobilnya, secara spontan Rigel menginjak pedal gas. Alhasil mobil melaju kencang menerobos kobaran api. Awalnya Rigel pasrah jika mobilnya akan terbakar dan dirinya ikut terpanggang di dalamnya. Itu jauh lebih baik ketimbang harus pasrah dilibas mobil tank. Namun, di luar perkiraan Rigel, ternyata mode perlindungan ganda yang diaktifkan mampu melindungi mobilnya dari kobaran api. Seandainya saja Rigel tahu lebih cepat, mungkin ia tak akan pasrah seperti tadi dan kemungkinan sekarang ia sudah berhasil meloloskan diri kejaran musuh. "Rigel, kau dengar aku?" Suara Joanna kembali terdengar menginterupsi. Berkat perempuan itu juga Rigel selamat, jika Joanna tak berteriak lantang tadi maka Rigel tak akan bertindak dan membiarkan dirinya ikut dilibas bersama mobilnya. "Iya, Jo. Aku mendengarmu, thanks karena telah menyadarkan aku. Hampir saja aku———" Rigel tercekat saat Joanna memotong pembicaraannya, begitu terburu-buru. Bahkan Rigel juga bisa mendengar suara napas perempuan itu begitu menggebu-gebu dan juga suara langkah kaki yang berlarian. "Nanti saja. Sekarang kau buka jok depan, di bawahnya aku menyimpan beberapa granat cadangan untuk berjaga-jaga. Kau bisa mempergunakannya untuk memotong jalur agar musuh tak bisa mengejarmu dan setelah itu bergegaslah ke tempat yang sudah dijanjikan," ujar Joanna, memberitahu mengenai cadangan granat yang ternyata disembunyikan di bawah jok penumpang samping kursi kemudi. "Kita bertemu di sana dalam lima menit atau sepuluh menit paling lama, aku akan mengatasi ini secepatnya." "Kau baik-baik saja Jo?" Rigel tahu ini bukan waktunya untuk bertanya keadaan, karena seharusnya ia pun sudah tahu jawabannya. Mustahil keadaan Joanna baik-baik saja, dari nada bicara yang terburu-buru dan suara napas ngos-ngosan, sudah dipastikan kalau Joanna sedang melakukan pelarian dari kejaran musuh. Namun, Rigel tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Ia hanya ingin tahu keadaan Joanna sekarang, setidaknya itu akan mengurangi sedikit rasa khawatir yang berkecamuk dalam benaknya. Setelah ketakutan akan nyawanya yang di ujung tanduk, ketakutan lain ialah kehilangan patner, apalagi patner seperti Joanna. Jelas Rigel tak akan bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan Joanna, itu sebabnya ia ingin memastikan kalau keadaan Joanna baik-baik saja. Tapi keinginan Rigel untuk mengetahui keadaan Joanna dan berharap keadaan patnernya itu baik-baik saja seketika pupus saat suara tembakan terdengar dan di susul suara erangan Joanna. Rigel panik, kalud dan juga cemas mendengar suara tembakan serta erangan kesakitan dari Joanna, ia langsung berasumsi kalau Joanna terkena tembakan musuh. "Jo, kau baik-baik saja?" Sekali lagi Rigel memberikan pertanyaan bodoh yang jawabannya sudah jelas ia tahu dan bertolak belakang dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Terlebih ketika tak mendengar sahutan dari Joanna dan juga serangan tembakan yang berbunyi bertubi-tubi. "Arggg! s**t!" Rigel mengerang kesal ketika suara gerungan mobil tank kembali terdengar dari pantauan pendengarannya. Lalu saat ia melihat ke belakang lewat kaca spion di sisi luar, Rigel mendapati mobil tank itu berhasil menembus kobaran api. Beruntungnya hanya satu mobil saja yang berhasil lolos, setidaknya itu mengurangi beban Rigel dan jauh lebih mudah untuk mengatasinya. "Jo, kau dengar aku?" Rigel mengajak bicara Joanna, walaupun ia tak berharap lebih akan jawaban Joanna setelah suara tembakan bertubi-tubi barusan. Tapi Rigel sangat berharap kalau Tuhan akan memberikan sedikit saja mukjizatnya pada Joanna. "Bertahanlah, aku akan segera datang ke sana dan menyelamatkanmu. Jadi bertahanlah apa pun yang terjadi, kau harus bertahan!" seru Rigel, menegaskan pada Joanna untuk bertahan karena ia akan datang menjemput dan menyelamatkannya. Dan hal pertama yang harus Rigel lakukan ialah menyelamatkannya dirinya sendiri terlebih dahulu. Rigel melihat sekali lagi posisi mobil tank di belakang mobilnya, mobil itu semakin dekat karena lajunya yang cukup cepat untuk ukuran mobil besar seperti itu. Tapi Rigel tak boleh gentar, ia pun segera membuka jok kursi di sebelahnya. Sesuai ucapan Joanna sebelumnya, Rigel menemukan ada tiga granat tersembunyi di dalamnya. Ia lantas tanpa berpikir panjang mengambil satu granat dan melemparkannya ke belakang, ketika mobil tank berhasil mendekati mobilnya. "BOOMMM!!!" Granat itu bekerja sesuai prediksi Rigel. Mobil tank itu akhirnya meledak saat granat yang dilemparnya tepat jatuh di atas bodi mobil tersebut dan dalam hitungan detik langsung meledak. Kobaran api membumbung tinggi, asapnya mengepul ke mana-mana. Rigel akhirnya bisa bernapas lega, satu beban di pundak dan ketakutan akan kematian telah sirna bersama ledakan mobil tank barusan. Ia menyandarkan tubuhnya, menghela napas panjang. Sementara tangannya masih tetap mencengkram erat kemudi stir, matanya juga tetap fokus dengan jalanan sempit di g**g yang dilaluinya saat ini. Rigel menoleh ke belakang untuk memastikan kembali kalau mobil tank itu benar-benar lenyap di dalam kobaran api. Karena tak menutup kemungkinan mobil itu bisa lolos lagi seperti sebelumnya, mengingat semua hal tak masuk akan bisa saja terjadi di sini. Bahkan nyawa musuh saja besar kemungkinan lebih banyak dari kucing. Pasalnya sebelumnya ia melihat bagaimana orang-orang yany berhasil ditembakinya dan seketika tumbang saja bisa hidup lagi dalam sekejap mata. Makanya saat di pengejaran tadi jumlah musuhnya sama sekali tak berkurang malah semakin bertambah, seolah musuhnya beranak pinak dalam hitungan detik. Namun, Rigel tak perlu lagi khawatir sekarang, karena mobil tank itu benar-benar telah lenyap dalam kobaran api yang semakin besar. Ia tak perlu cemas akan musuh, karena mustahil musuh bisa mengejarnya sekarang. Posisinya juga sudah mulai menemukan titik terang saat di depan sana tampak ujung g**g. Rigel berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dan memotong jalur musuh agar tak bisa mengejarnya. Kini giliran ia menyelamatkan Joanna. Lantas, Rigel memacu mobilnya dengan kecepatan penuh. "Jo, aku datang. Bertahanlah. Sebentar lagi kita akan keluar dari kota ini." Rigel begitu mantap saat mengatakannya. Rigel memang sudah bertekad akan keluar dari kota ini dalam keadaan selamat dan juga membawa Joanna dalam keadaan hidup. Kali ini tak ada apa pun yang Rigel takutkan, keberanian dan kekhawatirannya pada Joanna telah melenyapkan semua keraguan dan ketakutan yang sering kali menahannya dan menjerumuskannya pada  kepasrahan. Tapi kali ini Rigel bukan lagi seorang pecundang, ia akan menghadapi semua rintangan dan menyelamatkan Joanna dari musuh. "Bertahanlah Joanna. Akan datang untuk menyelamatkanmu." ————— Joanna memijit kepalanya yang baru saja terbentur rak besi. Ia mengerang kesakitan, meringis menahan perih dan saat dilihat tangannya terdapat darah segar. "s**l!" Joanna menyeka darah dari dahinya, lalu mengambil slayer dari dalam saku celana dan mengikatnya di dahi untuk menutupi lukanya. Joanna mengembuskan napas, bersandar di sudut ruangan. Ia baru saja melakukan adu tembak dengan salah satu anggota perampok yang memergokinya tadi. Untungnya pertempuran itu berhasil dimenangkan oleh Joanna, berkat kelihaiannya dalam menggunakan s*****a api dan juga s*****a yang digunakannya merupakan s*****a dengan kemampuan daya tembak dalam hitungan detik. Lihat saja dalam satu detik, Joanna berhasil meluncurkan sepuluh peluru dan semuanya tepat sasaran mengenai musuh sampai akhirnya musuh pun tumbang. Joanna memandangi pistol di tangannya, pistol yang tadi ia ambil sembarangan dari rak besi di dekatnya. "Keren juga ini pistol." Joanna memuji kehebatan s*****a api tersebut. "Mulai sekarang pistol ini menjadi milikku." Ia sampai mengklaim s*****a itu saking senangnya karena s*****a itu bisa melumpuhkan lawan dalam sekali tembakan. Setelah itu Joanna teringat akan Rigel, ia berniat memberitahu Rigel kalau dirinya berhasil lolos dari sergapan musuh. Namun, ketika ia akan menghubungi Rigel dengan alat microphone yang tercantel di bajunya, barulah Joanna menyadari kalau benda tersebut sudah tidak ada di tempatnya. "Oh, s**t!" Joanna mengumpat kasar, mengusap wajahnya yang tampak sangat lelah dan putus asa. Joanna tak bisa menghubungi Rigel, karena dirinya kehilangan alat komunikasinya. Sepertinya saat pertempuran tadi ia tak sengaja menjadikan benda itu dan mungkin saja benda itu terjatuh di suatu tempat di ruangan ini. Joanna lantas bergegas bangun, berniat untuk mencari alat itu. "Di mana ya?" Joanna berdecak sebal. Mencari benda sekecil  biji polong jelaslah sangat sulit sekali. Apalagi dengan pencahayaan temaram, pasalnya tadi Joanna tak sengaja menembak lampu-lampu penerang ruangan. Joanna mengembuskan napas kasar, lelah mencari dan tak mendapatkan hasil apa pun. Ia tak mungkin terus berlama-lama di dalam ruangan ini hanya untuk mencari benda itu, walaupun dirinya sangat membutuhkan benda tersebut. Tapi keselamatannya saat ini jauh lebih penting dari alat komunikasi itu. Jadi sebelum musuh kembali datang dan memergokinya di dalam ruangan penyimpanan, lantas Joanna pun memilih segera pergi tanpa mendapatkan alat komunikasinya kembali. "Rigel, semoga kau menepati janjimu. Aku akan menunggu di tempat biasa," ucap Joanna, bermonolog sendiri saat keluar dari ruang penyimpanan. Joanna berlari menuruni tangga, begitu kesusahan karena harus menyeret karung besar berisi banyak s*****a yang berhasil ia curi dari ruang penyimpanan. Setiap kali berhasil menuruni satu tangga tiap lantai, Joanna akan bersembunyi di balik tembok. Seperti sekarang, Joanna tengah bersembunyi di balik tembok lorong gelap tak jauh dari tangga yang tadi ia lalui di lantai empat. Terdengar suara derap langkah kaki terburu-buru dari arah tangga lantai tiga, itu sebabnya Joanna cepat-cepat bersembunyi di balik lorong gelap. "Kau yakin ada penyusup?" Terdengar suara seseorang yang Joanna yakini kalau itu segerombolan anggota perampok yang sepertinya sudah mengetahui keberadaannya di gedung ini. "Aku sangat yakin, pasalnya tadi aku mendengar suara tembakan dan juga Thor belum kembali lagi untuk melapor." Dan benar saja, segerombolan perampok muncul dari arah tangga lantai tiga. Joanna spontan membungkam mulut, menahan napas saat matanya mendeteksi keberadaan musuh yang berada dalam radius jarak yang sangat dekat dengan dirinya. Jantung Joanna berdetak lebih cepat, was-was takut jika musuh bisa menyadari keberadaannya. "Tunggu." Dan benar saja, ketakutan Joanna semakin bertambah saat salah satu dari gerombolan itu menahan langkah mereka yang sudah akan menaiki tangga. "Apa lagi sih? Kita harus cepat ke atas, keburu penyusupnya pergi." Salah seorang yang berada di paling depan berkata, tampak tidak suka karena langkahnya dihentikan. "Tunggu bentar, aku rasa ada seseorang di sana." Orang tadi menunjuk ke arah tempat persembunyiannya Joanna saat ini. Joanna panik, merapatkan diri di dinding. Ia memejamkan mata, terus berdoa merapalkan segala macam doa-doa yang ia ketahui, berharap Tuhan akan memberinya perlindungan atau setidaknya mencegah musuh mengetahui keberadaannya sekarang. "Jorce, cukup. Itu hanya perasaanmu saja." Suara orang yang berdiri di tangga menginterupsi langkah orang itu yang berniat mengecek ke lorong gelap. "Ini sudah ketiga kalinya kau seperti ini dan semua yang perasaanmu itu tidak terbukti, hanya memperlambat langkah kita semua." "Tapi———" Jorce berniat menjelaskan kalau ia benar-benar yakin tentang firasatnya kalau di balik tembok ada seseorang yang mengawasi mereka semua. Namun, Jorce tak diberi kesempatan untuk menjelaskan hal tersebut pada kawanannya. "Sudahlah, kalau kau masih kekeh ingin ke sana, sendiri saja. Kita tidak ada waktu dan tidak akan membuang-buang waktu untuk hal yang belum tentu benar. Sekarang prioritas kita ialah menangkap penyusup yang menerobos ke lantai enam, kalau sampai komandan tahu ruangan itu dibobol, habis kita semua!" seru orang yang pertama kali menyanggah ucapan Jorce. Jorce mengembuskan napas kasar, tak memiliki pilihan lain selain mengikuti kawanannya untuk segera menuju lantai enam. "Oke, maaf. Aku tidak akan melakukannya lagi." Walau sebenarnya Jorce sangat yakin di balik tembok itu ada seseorang yang tengah mengintai mereka, tapi ia memilih mengalah dari pada harus berdebat dengan teman-temannya. "Aku berjanji." "Bagus, kalau begitu ayo cepat, sebelum penyusup itu berhasil kabur. Kita harus menangkapnya hidup-hidup, atau nyawa kita yang jadi taruhannya." Lantas semua orang pun bergegas menaiki tangga untuk menuju ke lantai enam. Meski sesekali Jorce akan menoleh ke belakang untuk memastikan. Joanna yang masih di balik tembok menghela napas panjang, lega karena akhirnya gerombolan musuh itu pergi. Ia sudah sangat cemas kalau sampai keberadaannya diketahui musuh, hampir saja salah satu dari mereka mengetahuinya. "Aku harus segera pergi dari sini," lirih Joanna, menyadari kalau sekarang ia tengah jadi perburuan para perampok karena mengetahui penyusupan yang dilakukannya di ruang penyimpanan s*****a di lantai enam. Sudah dipastikan kalau mereka semua sangat murka dan akan mengejarnya sampai dapat. Tak ingin membuang waktu, setelah memastikan keadaan sekitar aman. Joanna pun bergegas keluar dari persembunyiannya, menyeret karung besar berisi s*****a untuk menuruni tangga menuju lantai tiga di bawahnya. Perjalanan berjalan lancar sampai Joanna tiba di lantai dasar. Ia berhasil mengelabui musuh dan lolos dari pantauan cctv juga. Setelah berhasil keluar dari gedung itu, Joanna menyeret kaki dan karung besarnya menuju area belakang. Sebentar lagi ia akan berhasil keluar dari tempat ini. Tapi perkiraan Joanna salah, karena ternyata Jorce kembali lagi dan mengejarnya sekarang. "WOY, JANGAN LARI!!!" Joanna yang mendengar teriakan Jorce, spontan menoleh dan melebarkan mata. Ia panik setengah mati saat melihat Jorce keluar dari pintu samping dan berlari untuk mengejarnya. "s**l!" Joanna mengumpat, tanpa pikir panjang langsung mamacu langkah kakinya kian cepat menuju gerbang belakang. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN