Rigel melotot melihat dua orang yang tadi berhasil ia tumbangkan dengan peluru kapsul berbius, kini telah sadarkan diri dan seketika bangkit berdiri. Rigel menelan ludah, menatap horor dua orang itu yang menatap nyalang tepat menjurus ke arah dirinya. Seolah-olah dua orang itu bisa melihat dirinya yang saat ini berada di dalam mobil.
"s**l!" Rigel mengumpat, gara-gara terlalu lama memperhatikan dua orang yang bangkit lagi itu, ia jadi tidak fokus menerbangkan drone. Alhasil drone-nya terkena serangan peluru dari musuh dan menyebabkan salah satu baling-balingnya rusak.
Hal itu membuat kinerja drone jadi tak seimbang, bahkan kini drone itu terbang begitu rendah dalam posisi miring. Begitu mudah untuk dijangkau musuh dan Rigel harus cepat-cepat mengatasinya atau ia akan kehilangan drone tersebut.
"Jo, kau dengar aku?" Rigel mencoba memanggil Joanna, lewat alat komunikasi yang terpasang di telinga dan terhubung dengan kabel bermicrophone kecil yang dipasang di kerah baju, alat yang sangat berguna bagi keduanya untuk berkomunikasi jarak jauh.
Rigel tak lagi mempedulikan dua orang yang bangkit lagi, membiarkan mereka berdua berbuat apa saja, terserah. Karena saat ini baginya lebih penting untuk menyelamatkan drone-nya, jangan sampai musuh berhasil merusak drone-nya. Dari pada mengurusi dua orang yang bermetamorfosa jadi seperti zombi hidup.
"Arrrgh! s****n!" Rigel mengerang, kesal. Pada kenyataannya ia tak bisa mengabaikan begitu saja dua orang di luar sana.
Pasalnya dua orang yang coba untuk diabaikan oleh Rigel itu malah berulah sekarang, naik ke atas kap mobil dan berjoget-joget tak jelas. Seakan-akan mereka sedang berada di lantai dansa, lihat saja dua orang itu meliuk-liukkan badannya dan menghentak-hentakkan kaki dengan bersemangat. Tentu saja hal tersebut mengusik ketenteraman Rigel yang sedang mencoba untuk tetap fokus agar bisa mengendalikan drone-nya yang nyaris tumbang karena terus dibombardir oleh musuh.
"Kenapa nggak pada mati aja sih?" gerutu Rigel, tak habis pikir dengan kelakuan dua orang itu yang makin menggila. Bagaimana tidak menggila kalau dua orang itu sekarang malah berjoget kayak anggota trio macan. Apa mereka pikir itu keren? Sangat tidak! "Sinting!" Rigel berdecak, berusaha mengenyahkan keduanya dari pandangannya dan tetap fokus melihat ke layar monitor.
"Jo, Joanna. Kau dengar aku Jo?" Rigel mencoba menghubungi Joanna lagi. Ia ingin menanyakan cara untuk memperbaiki drone-nya yang kehilangan satu baling-balingnya dan membuat drone tersebut jadi tak seimbang. Hal itu membuat drone terombang ambing, parahnya drone itu jadi tak bisa terbang lebih tinggi lagi. "Joanna!" panggil Rigel lebih keras lagi, tampak begitu putus asa. Tapi panggilan terakhirnya justru membuahkan hasil, karena Joanna akhirnya menyahut dari seberang sana.
"Apa?" Napas Joanna terdengar memburu, terengah-engah.
"Kenapa baru menyahut? Aku memanggilmu dari tadi." Rigel terbawa emosi, tapi kemudian ia langsung teringat inti dari tujuannya menghubungi Joanna dan tak ada waktu untuk melakukan perdebatan yang tidak penting. "Lupakan, tidak penting. Sekarang ada yang jauh lebih penting. Baling-baling drone-nya rusak, si badan besar s****n itu berhasil menembaknya sampai hancur, s**l! Terus apa yang harus aku lakukan, Jo? Dronenya mulai tak seimbang dan kemungkinan akan mudah ditumbangkan oleh lawan."
"Lupakan saja drone itu, kalau kau tak bisa mengatasinya. Sekarang aku sudah di dalam gedung persediaan s*****a, aku tak bisa banyak bersuara atau hal itu akan memancing musuh menyergapku. Jangan pedulikan drone itu dan sekarang pindahkan mobilnya ke area terdekat dengan gedung persediaan s*****a untuk berjaga-jaga. Jangan lupa aktifkan mode kamuflase agar tidak ketahuan oleh musuh. Kau mengerti? Sudah dulu, aku tidak punya banyak waktu. Aku harus bergegas masuk dan mengambil beberapa s*****a untuk kita."
Rigel mengusap kasar wajahnya, jawaban Joanna sama sekali tak membantu. Padahal ia baru saja bersemangat ingin memberi pelajaran pada musuh, tapi sepertinya keinginan itu hanya akan jadi sekadar angan semata. Apalagi sekarang Joanna tak bisa diajak berkomunikasi, keadaan perempuan itu mungkin juga tak kalah genting darinya. Mungkin di dalam sana jauh lebih menegangkan, mengingat akan banyak sekali musuh yang harus Joanna hadapi.
"Oh, s**t!" Rigel kembali mengumpat, berdecak frustrasi ketika musuh berhasil menumbangkan drone-nya. Bahkan salah satu dari mereka langsung menghancurkan drone tersebut sampai tak berbentuk lagi, terlihat dari bagaimana kaki itu menghantam keras drone dan pada akhirnya Rigel tak lagi bisa melihat karena kamera drone-nya sudah hancur terinjak-injak oleh kaki besar milik salah satu perampok.
"Astaga!" Belum cukup kekesalan Rigel karena drone-nya yang dihancurkan sama musuh. Sekarang dua orang di luar yang sempat diabaikan sudah tak lagi terkendali, keduanya kini mengamuk kayak orang gila dan mulai bertindak anarkis dengan berusaha merusak mobilnya.
Rigel mengembuskan napas kasar, memijit keningnya yang berdenyut hebat. Ia sedang berpikir sejenak untuk memikirkan langkah selanjutnya guna menghadapi dua manusia yang bertingkah kayak zombi hidup. Mungkin karena pengaruh bius tadi? Rigel juga tidak begitu tahu apa yang ada di dalam peluru kapsul, memang benar bius atau justru zat adiktif lainnya. Hanya Joanna yang tahu, tapi ia juga tak berniat menanyakannya pada perempuan itu yang mungkin sekarang sedang berjuang melawan musuh.
Rigel tak punya ide apa pun, alhasil ia tak punya pilihan lain selain menggunakan ide yang Joanna katakan tadi. Yaitu dengan kabur melarikan diri dari tempat ini, seperti pecundang pikir Rigel yang sebenarnya tidak setuju dengan opsi tersebut. Tapi kenyataannya ia tak punya opsi lain dan hanya opsi itu yang bisa ia gunakan untuk menyelamatkan diri. Dan untuk memulai langkah pelariannya, Rigel terlebih dahulu harus menyingkirkan dua orang yang masih mengamuk di depan mobilnya.
"Baiklah, sekarang giliran kalian yang akan aku singkirkan," ucap Rigel, bersemangat.
Rigel teringat dengan perkataan Joanna mengenai mobil miliknya yang memiliki banyak fungsi. Bahkan mobil itu juga memiliki banyak fitur canggih, salah satunya mengganti bagian depan dengan berbagai bentuk s*****a.
"Let's begin." Rigel menyalakan mesin mobil, mengejutkan dua orang itu yang seketika tertarik oleh suara deru mesin dan knalpot. Hal itu membuat keduanya malah semakin atraktif dan bertingkah layaknya orang gila yang sedang mengamuk. "Dasar benalu! Lebih baik kalian pergi ke neraka!" Rigel mengaktifkan salah satu mode pergantian bamper mobil depannya, membuat bamper depan jadi ada besi berbentuk garukan kayak buldoser.
"Aaargghhh!!!" Jeritan dan erangan dari dua orang yang berhasil Rigel seret dan hantamkan ke dinding dengan penggaruk besinya.
Namun, ketika Rigel tertawa puas karena berhasil menyingkirkan dua manusia gila itu. Hal tak terduga berhasil mengejutkannya, Rigel melebarkan mata tak percaya saat melihat dua musuhnya yang telah tumbang tiba-tiba menghilang.
"Ke mana mereka?"
Rigel mengucek-ngucek kedua matanya, lalu memastikan kembali pandangannya ke tempat dua musuhnya tadi tergeletak. Benar-benar lenyap tak berbekas, jadi yang sempat ia lihat tadi benar-benar terjadi. Rigel syok, terdiam kaku tak menyangka. Kemudian sebuah pertanyaan besar muncul dalam benak dan mengusik pikirannya.
Apa jika aku mati, aku juga akan lenyap seperti itu? Lalu ke mana jasadku dibawa?
——————
Joanna bersembunyi di belakang tumpukan kardus, matanya bergerak liar menatap waspada pada keadaan di sekitarnya. Tangannya memegang pistol untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba ada musuh yang datang. Sejauh ini ia belum menemukan kendala, tanda-tanda musuh juga tidak ada setelah ia berhasil memasuki gedung yang dijadikan gudang penyimpanan s*****a.
Joanna memutar otak, merancang strategi untuk langkah selanjutnya. Ia sedang memikirkan cara agar bisa sampai di lantai lima, tempat di mana s*****a-s*****a unggulan hasil jarahan disimpan oleh para perampok. Untuk menjalankan misi berbahaya, Joanna harus mempersiapkan diri dengan membekali dirinya sendiri s*****a-s*****a ampuh guna melawan musuh nanti. Itu sebabnya ia tetap nekat masuk ke gedung ini meski wajahnya telah diidentifikasi oleh musuh sebelumnya. Seandainya saja waktu mengambil stok pangan ia tak ketahuan, maka misinya untuk mengambil s*****a juga tak akan sesulit ini.
"Kalian sudah mengecek ke area atas?" Suara derap langkah dan seseorang yang tengah berbincang menginterupsi Joanna.
Suara langkah kaki itu berasal dari sisi kanannya, di mana jalan tersebut merupakan akses utama menuju tangga. Sontak Joanna mundur, merapatkan tubuhnya ke dinding dan membungkam mulut agar tidak mengeluarkan suara. Bahkan sebisa mungkin ia juga meminimalisir suara napasnya agar tidak menarik perhatian musuh.
"Sudah, s*****a-s*****a yang baru saja kita rampok dari pusat s*****a agen biro kontrol kita simpan di lantai enam. s*****a-s*****a itu sengaja kita pisah, karena s*****a dari agen biro kontrol benar-benar canggih dan memiliki banyak mode tembakan. Nggak sia-sia kita pertaruhkan nyawa buat ambil beberapa s*****a dari mereka."
"Bagus, jangan sampai ada yang tahu soal s*****a itu. Tahu sendiri akhir-akhir banyak tikus berkeliaran, kalau mereka sampai tahu bisa-bisa mereka akan nekat mengambilnya. Ketatkan penjagaan kalau begitu untuk di lantai enam."
"Siap komandan, kita sudah perketat penjagaan, ditambah cctv juga terpasang di setiap sudut akses masuk ke gudang penyimpanan di lantai enam. Tim garda satu juga stand by di sana untuk mengawasi."
Joanna mencuri dengar semua percakapan beberapa orang yang baru saja melintas, dan dari percakapan itu ia mendapat informasi yang sangat penting. Senyum di bibirnya seketika merekah saat mendengar tentang s*****a-s*****a yang mereka dapatkan dari gudang s*****a milik agen biro kontrol. Tak perlu diragukan lagi kalau s*****a terbaik di sini memang hanya s*****a-s*****a milik agen biro kontrol.
Itu sebabnya mereka dengan mudah mengalahkan musuh karena s*****a musuh tak sebanding dengan s*****a para anggota agen biro kontrol, apalagi mereka juga memilik skill terlatih. Maka begitu sulit untuk bisa lepas dari cengkraman agen biro kontrol, walau beberapa kali Joanna berhasil meloloskan diri dari mereka. Tapi ia selalu berusaha memilih untuk menghindari, sadar diri jika kemampuannya tak akan bisa melawan agen biro kontrol. Kekuatan terbesar di sini, dunia game yang dianggap dunia konyol oleh Joanna.
"Lantai enam?" Joanna sedang mengingat-ingat tentang lantai enam yang dibicarakan tadi, merupakan lantai teratas dari bangunan ini. "Memangnya s*****a seperti apa yang mereka dapatkan sampai harus melakukan penjagaan seketat itu?" Joanna jadi penasaran akan s*****a yang diperoleh musuh dari agen biro kontrol.
Tiba-tiba senyum Joanna mengembang, matanya berbinar menunjukkan keantusiasannya. Joanna jadi bersemangat untuk mengambil alih s*****a-s*****a tersebut, pasti s*****a-s*****a itu akan sangat berguna untuk perjalanannya nanti. Kalau sampai Joanna berhasil membawa kabur s*****a-s*****a itu, ia akan menang banyak seolah baru saja mendapatkan jackpot besar. Joanna jadi tak sabar untuk mendapatkan s*****a-s*****a itu.
Namun, sekarang permasalahannya bagaimana Joanna bisa sampai ke lantai enam. Jelas ia tidak mungkin melewati tangga, di mana para perampok berkeliaran melewati tempat itu. Keberadaannya tidak boleh terendus, apalagi sampai kelihatan sama mereka. Kalau sampai ketahuan bisa habis nanti Joanna dicincang sama para perampok itu, mereka pasti sangat dendam karena terakhir kali Joanna mengambil stok persediaan kantung darah mereka.
"Mikir Joanna, mikir." Joanna mengetuk-ngetuk kepalanya, menuntut otaknya agar memikirkan sebuah ide supaya ia bisa sampai ke lantai enam.
Tapi naasnya, suara Joanna barusan terdengar oleh musuh yang kebetulan sedang melintas. Sontak musuh itu siap siaga, mengeluarkan suara baritonnya. "Siapa di sana?"
Joanna yang terlambat menyadari kedatangan musuh, sontak terlonjak kaget dan pergerakannya yang gegabah itu menyebabkan tumpukan kardus di depannya roboh.
"Heh, siapa itu?" Suara bariton itu kembali menggelegar ketika melihat tumpukan kardus yang roboh dan sekelebatan sosok Joanna terpantau oleh pandangannya.
"Mampus!" Joanna menggeram kesal, posisinya diketahui oleh musuh.