Duar!!!
Suara tembakan bergema di lorong panjang persembunyian Joanna. Tangan Joanna masih gemetar setelah berhasil meluncurkan peluru ke arah kedatangan musuh yang menyergapnya. Namun, sedetik kemudian ia mengembuskan napas panjang, lega karena akhirnya berhasil melumpuhkan lawan yang memergoki keadaannya.
Sebenarnya Joanna tidak berniat menembak musuh tersebut. Itu hanya spontanitas untuk melindungi dirinya sendiri, ketika orang itu berusaha menyergapnya. Beruntung persembunyian Joanna tampak gelap, alhasil musuh tak begitu melihat pergerakannya dan saat pelatuk itu ditarik orang itu tak sempat menghindar.
"Maaf," gumam Joanna, memandangi jasad musuh yang berangsur menghilang, melebur seperti tertelan bumi.
Ini bukan pertama kali Joanna menyaksikan jasad yang melebur dan lenyap dalam hitungan detik. Ia yang terlalu lama terkurung dalam dunia game ini sudah sering sekali melihat hal-hal begitu, seakan hal tersebut telah jadi konsumsinya sehari-hari. Tak ada rasa kasihan ataupun iba, meski rasa penyesalan kadang singgah sejenak. Namun, sekali lagi ia menegaskan kalau orang-orang di dunia ini tidaklah nyata, itu sebabnya Joanna tak akan pikir panjang untuk membunuh musuhnya.
Joanna tiba-tiba tersentak oleh suara derap langkah yang terdengar menuruni tangga, semakin terdengar jelas saat suara yang ditimbulkan oleh pergesekan sepatu dan lantai bergema mengisi kesunyian dalam gedung. Joanna yang langsung mengetahui suara derap langkah itu merupakan segerombolan musuh yang mendekat, sontak ia pun bergegas melarikan diri. Suara tembakannya barusan pasti telah menarik perhatian musuh yang berjaga di gudang s*****a.
"s**l!" Joanna celingukan, bingung harus melarikan diri ke arah mana. Seolah ia buta arah, lalu memilih asal-asalan yang penting bisa menghindar dari orang-orang yang mendatangi lokasinya barusan.
Joanna berlari ke ujung lorong, di persimpangan ia menemukan dua celah lorong di sisi kiri dan kananya. Lorong-lorong itu tampak begitu gelap, Joanna tak bisa memprediksi apa yang ada di dalam setiap lorong. Bisa jadi ada musuh yang telah menantinya. Mendapati dua celah lorong, mengharuskan Joanna memilih lorong mana yang akan ia lalui.
"Kiri, kanan?" Joanna melihat ke arah lorong di sisi kiri dan kanannya secara bergantian. Ia kesulitan menentukan pilihan, ragu dan bimbang menjadi alasan utama.
Pasalnya Joanna tidak boleh salah dalam menentukan pilihan. Mengingat sekarang ia berada di kandang musuh, meskipun ia telah mengetahui seluk beluk gedung penyimpanan s*****a ini. Tapi tetap saja ia tak bisa memprediksikan keberadaan musuh yang berjaga. Bisa jadi mereka telah merubah strategi dan menempatkan orang-orangnya di tempat-tempat gelap, di mana Joanna sering menyelinap lewat tempat-tempat gelap itu.
"Tidak ada orang komandan!" Suara teriakan dari ujung lorong di belakang Joanna menginterupsi, menyentak Joanna yang sedang fokus menentukan pilihan.
"Periksa ke semua tempat, pastikan tidak ada tikus yang menyusup. Kalau ada tikus yang berkeliaran, segera tangkap. Jangan biarkan tikus-tikus itu lolos!"
"Siap komandan!"
"Laksanakan!"
Joanna mengembuskan napas kasar, mendengar dirinya kembali jadi target perburuan musuh. Joanna mendengkus sebal, tak begitu suka mendengar sebutan yang disematkan.
"Tikus?" Joanna berdecih. "Apa mereka tak punya sebutan yang lebih elegan lagi?" Kemudian berdecak, menyadari derap langkah kaki itu kembali bergema dan semakin terdengar jelas di telinganya. Itu artinya musuh sedang bergerak mendekat ke arahnya.
Joanna tak ada waktu untuk mengurusi apa pun saat ini, termasuk keberatannya dengan sebutan "tikus". Yang harus ia lakukan sekarang ialah kabur, lari sekencang yang ia mampu setelah itu mencari tempat persembunyian yang aman.
"Kanan, apa kiri?" Namun, ia masih terkendala dengan pilihan di depan matanya. Tapi tak ada waktu lagi untuk bimbang dengan pilihannya, mau tidak mau Joanna harus segera memilih atau musuh sebentar lagi sampai ke titik lokasi di mana ia berdiri sekarang. Lantas, Joanna nekat mengambil pilihan tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin akan dihadapinya. "Kanan aja deh."
Joanna memacu kakinya menyusuri lorong gelap di sisi kanannya. Mengandalkan kemampuan kaca mata malam yang dipakai untuk melihat keadaan di dalam lorong gelap tersebut. Tidak ada apa pun di sepanjang lorong itu, hanya beberapa tumpukan kardus tak terpakai yang diletakkan di setiap sisi. Hingga Joanna menemukan sebuah pintu di sisi kiri, dan untungnya pintu itu tidak terkunci. Tanpa pikir panjang Joanna membuka pintu tersebut dan masuk begitu saja ke salah satu ruangan yang entah ada apa di dalamnya.
"Kalian menemukannya?" Tak berselang lama suara musuh terdengar berhenti di depan pintu itu. Ada sekitar tiga orang di luar dan dua orang yang berjalan menghampiri mereka.
Joanna bisa mendengar suara langkah kaki mereka. Ia membungkam mulutnya agar tidak menimbulkan suara yang bisa menarik perhatian musuh di luar. Ruangan yang dimasuki Joanna ternyata ruangan sempit berukuran tiga kali empat, di mana ruangan itu tampak kosong dan tidak ada apa pun di dalamnya. Joanna merasa menempatkan dirinya pada kebuntuan. Tak ada celah sama sekali untuk melarikan diri dari ruangan ini dan Joanna sekarang ketakutan setengah mampus kalau orang di luar akan menyadari keberadaannya di dalam sini.
"Ya Tuhan, tolong lindungi hamba." Joanna setengah berbisik untuk merapalkan doa, memohon perlindungan kepada sang maha pencipta. Hal yang selalu ia lakukan ketika menemukan titik kebuntuan dan tak mengetahui langkah yang harus ia ambil selanjutnya.
"Tidak ada di sini?" Joanna kembali mendengar percakapan di luar pintu ruangan itu.
"Apa kau yakin ada penyusup?"
"Entahlah, aku tak begitu yakin. Tapi tadi kau sendiri juga mendengar kan kalau ada suara tembakan?"
"Benar, tapi nyatanya tidak ada siapa pun di sini."
"Apa sebaiknya kita mengecek ke sana?"
"Mau apa ke sana, apa kau pikir dia akan lari ke ujung sana." Ujung lorong gelap di penghujung sana yang dimaksud salah satu anggota perampok itu.
"Ya bisa saja kan? Siapa tahu iya memang ada penyusup yang bersembunyi di sana. Nggak ada salahnya untuk mengecek."
"Oke, ayo ke sana."
Joanna menghela napas lega, ketika mengetahui kalau para perampok itu berniat mengecek ke ujung lorong. Ia bersyukur karena tak ada satu pun dari mereka yang menyadari keberadaan ruangan ini, membuatnya tak perlu khawatir akan ketahuan. Tapi baru saja ia bernapas lega, Joanna harus menegang lagi ketika tak sengaja menjatuhkan pistolnya. Suara benturan pistol dengan lantai menimbulkan suara yang cukup keras, tak hanya itu suara dari luar juga menambah ketegangan Joanna.
"Tunggu." Sepertinya salah satu dari musuh menyadari suara barusan.
Joanna memejamkan matanya, merutuk tindakan bodohnya yang harus teledor saat beranjak berdiri dan menyebabkan pistol di pangkuannya terjatuh. Jelas saja suara di ruangan ini akan terdengar sampai luar, ditambah para perampok itu belum melangkah jauh dari depan pintu.
"Ada apa?" Teman-temannya menyahut.
"Sepertinya aku mendengar suara sesuatu barusan?"
"Suara?" Temannya mengerutkan kening. "Kau yakin?" Ia bertanya sekali lagi untuk memastikan.
Orang itu mengangguk mantap. "Ya, aku yakin mendengar sesuatu dari dalam sana?" Lalu menoleh pada pintu di sisi kirinya, menatap tajam ke arah pintu yang tertutup rapat.
"Kalau begitu ayo kita periksa."
Joanna melotot mendengar suara sahutan itu. Sontak ia panik, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tetap tak menemukan celah untuk melarikan diri dan keberadaannya sebentar lagi akan diketahui musuh.
"Mati aku!" Joanna mengusap kasar wajahnya, frustrasi dan putus asa. Mungkin ini akhir dari perjalanannya. Meski ia berharap Tuhan akan memberikan jalan keluar tak terduga. "Tuhan, tolong tunjukan jalan keluar untukku." Joanna berdoa, berharap dengan sungguh-sungguh di ujung keputusasaannya saat mendengar suara langkah kaki yang berhenti di depan pintu.
————
Rigel memarkirkan mobil di dekat bangunan terbengkalai berseberangan dengan gedung tua yang dijadikan gudang penyimpanan s*****a. Sesuai interuksi dari Joanna sebelumnya, ia mengaktifkan mode kamuflase agar tidak dicurigai apalagi sampai ketahuan oleh musuh. Ia menunggu interuksi selanjutnya dari Joanna, sembari memperhatikan keadaan sekitar yang cukup sepi.
Untuk mengisi waktu luang, Rigel menekan tombol rahasia yang sebelumnya diberitahu oleh Joanna. Ketika tombol bewarna merah itu ditekan, dalam hitungan detik sesuatu di depannya berubah. Dari dalam dasbor yang terbuka, muncul berbagai macam alat yang sudah Joanna beritahukan tapi Rigel lupa fungsi dan nama-nama alat itu. Yang ia tahu kalau di depannya kini ada enam tampilan layar monitor berukuran 24 inchi.
"Wah." Meski sebelumnya Rigel telah menyaksikan, tapi ia kembali dibuat kagum dengan enam layar monitor di depannya dan juga berbagai tombol pada dasbor yang kini beralih fungsi seperti tombol-tombol pada pesawat. Dasbornya pun memiliki berbagai tombol, ada keyboard juga. Pantas saja Joanna memberitahunya soal ini, mungkin Joanna berharap Rigel bisa mempelajari penggunaan alat-alat ini untuk meretas sistem.
"Keren." Rigel sekali lagi berdecak kagum, ketika ia mencoba mengetikkan beberapa kode sandi dan juga rumus perangkat lunak yang pernah ia pelajari secara otodidak sebelumnya.
Rigel sedikit bisa melakukan peretasan, ia pernah mencobanya di rumah dan di sekolah dengan meretas sistem keamanan dan mengakses cctv. Bahkan ia juga pernah meretas web sekolah, jika mengingat apa yang ia tuliskan di web sekolah Rigel tersenyum geli. Kekonyolan yang pernah ia perbuat dan membuat gempar satu sekolah, pasalnya ia menuliskan di papan pengumuman pada web sekolah kalau pelajaran selama satu semester akan ditiadakan dan semua murid diperbolehkan liburan.
Mengingat momen-momen itu membuatnya rindu suasana sekolah, rindu komputer di rumahnya dan juga rindu suara orangtuanya yang kadang begitu berisik kalau Rigel sudah seharian berkutat di depan layar komputer. Ia rindu omelan mamanya yang akan memarahinya karena mengabaikan makan hanya untuk mempelajari bahasa pemrograman dari buku yang dibelikan papanya.
"Rigel!"
Rigel tersentak dari lamunan saat mendengar suara Joanna yang memanggil namanya. Sontak ia langsung merespon. "Iya, Jo. Bagaimana? Kau sudah berhasil? Aku sekarang sudah stand by di dekat gudang."
"Please, jangan bertanya apa-apa dulu. Sekarang bantu aku keluar dari kondisi ini."
Rigel mengernyit mendengar penuturan Joanna, dari suaranya Rigel yakin kalau tengah terjadi sesuatu pada Joanna. Ia pun khawatir dan mengabaikan perkataan Joanna untuk tidak bertanya.
"Jo, kau baik-baik saja?" Rigel jadi begitu cemas, takut terjadi sesuatu pada Joanna. Apalagi Joanna sekarang sedang berada di kandang musuh, di mana bahaya akan senantiasa mengintainya.
"No. Aku terkurung di sebuah ruangan dan orang-orang di luar sedang berusaha untuk masuk. Sebentar lagi riwayatku akan tamat jika mereka berhasil menangkapku." Napas Joanna memburu.
"Ya?" Rigel yang tak cepat tanggap tampak kebingungan mendengar ucapan Joanna yang begitu cepat dan terburu-buru itu. "Apa maksudmu, jo?"
Terdengar helaan napas kasar dari Joanna. Kemudian ia berbicara lebih pelan dan sebisa mungkin mengatakan kata-kata yang mudah dipahami oleh Rigel.
"Aku nggak punya waktu, keadaanku terdesak. Aku terkurung di dalam sebuah ruangan yang tidak memiliki celah dan sialnya musuh sepertinya mengetahui keberadaanku di dalam. Mereka sedang berusaha untuk masuk. Ganjalan yang aku buat untuk menahan pintu supaya terkunci, tidak lama lagi akan rusak karena dorongan dari luar yang bertubi-tubi. Sekarang bantu aku memikirkan cara untuk keluar dari sini, selain melawan mereka. Arrrghh! Kenapa juga aku sebodoh ini, kau pasti tak akan bisa membantu apa-apa. s**l!"
Rigel terdiam mendengar Joanna yang mengoceh di seberang sana, mengumpat dan memaki diri sendiri dan juga keadaannya sekarang. Seakan Joanna benar-benar dalam kondisi terdesak, buntu dan tak ada harapan lagi.
Rigel mencoba mencerna setiap kata yang Joanna katakan barusan, kemudian memaksa otaknya untuk memikirkan sesuatu. Bersamaan dengan itu ia juga mendengar suara dobrakan pada pintu, serta omelan Joanna yang terdengar kian panik.
Ayo Rigel, pikirkan sesuatu. Rigel memerintah otaknya untuk bekerja kali ini saja. Pikirkan apa pun cara yang bisa Joanna lakukan. Karena sepertinya musuh yang ia hadapi terlalu banyak sampai Joanna menyerah untuk melakukan perlawanan.
"Jo," panggil Rigel, menghentikan Joanna yang masih mencerocos tak jelas.
"Apa?" Joanna menyahut. "Kalau kau ingin bertanya lagi apakah aku baik-baik saja? Sekali lagi aku tekankan, aku dalam bahaya dan sebentar lagi akan tamat riwayatku. Jadi kemungkinan kau harus menyelesaikan misi sendiri, itu pun kalau kau tidak tertangkap oleh mereka———"
"Jo!" sergah Rigel, menghentikan Joanna yang berbicara terus tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara. "Dengarkan aku," suruh Rigel saat Joanna seketika terdiam. "Sekarang lihat ke langit-langit ruangan dan perhatikan, apakah ada semacam lubang atau kayak ventilasi udara gitu. Harusnya sih ada." Rigel teringat akan ventilasi udara yang dilaluinya waktu di gedung penyimpanan makanan. Berharap di ruangan Joanna berada juga ada ventilasi seperti itu.
"Sebentar." Joanna sepertinya langsung memeriksa keadaan langit-langit ruangan. Lalu tak lama ia berseru kegirangan. "Ada. Astaga, kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya."
Rigel tersenyum lebar, senang mendengar Joanna berhasil menemukan jalan keluar berkat bantuannya. Setidaknya ia sedikit berguna, tak hanya jadi beban saja.
"Sekarang kamu segera keluar dari sana lewat lubang itu." Rigel kembali memerintahkan Joanna untuk segera bergerak.
"Iya, aku sedang berusaha membukanya. Ah s**t!" Terdengar Joanna mengumpat, bersamaan sebuah suara benturan keras memekakkan telinga. Sontak saja Rigel yang mendengar seketika panik.
"Jo, ada apa? Semua baik-baik saja kan?" tanya Rigel, tapi Joanna tak langsung menyahut. Hanya suara ringisan kesakitan yang Rigel dengar. "Jo." Ia kembali memanggil nama Joanna. "Jo, jawab. Apa semuanya baik-baik saja?" Rigel kelabakan karena Joanna tak menyahut dan suara dobrakan berhasil menyentaknya pendengarannya. Sepertinya musuh berhasil mendobrak pintu ruangan tersebut, lalu bagaimana dengan Joanna?