Umpan

2244 Kata
"Jo, apa yang terjadi?" "Joanna? Kau dengar aku?" "Jo, please. Jawab aku, jangan buat aku khawatir. Joanna!" Brak!!! Pintu berhasil didobrak dari luar, segerombolan orang yang berusaha membobol pintu pun masuk dan tercengang mendapati ruangan itu kosong. "What? Kosong? Serius?" Salah seorang dari mereka bersuara, tak habis pikir ketika melihat ruangan sepetak berukuran tiga kali empat itu benar-benar kosong dan tidak ada apa pun di dalamnya. "Jadi kita berusaha masuk cuma buat dapatin kayak gini?" Semua orang yang masuk itu pun sama tak percayanya, tak menyangka kalau ruangan itu kosong. Padahal sebelumnya mereka begitu yakin kalau musuh yang sedang mereka buru bersembunyi di ruangan ini, terlebih ketika pintu tadi tak bisa dibuka seolah ada yang menahannya dari dalam. "Aku bilang juga apa, mereka tidak ada di sini." Yang lain pun ikut berkomentar. "Tapi kalian semua tidak mau mendengarkan ucapanku, mustahil musuh bersembunyi di ruangan ini. Sekarang musuh pasti sudah kabur jauh karena kita membuang waktu percuma buat buka pintu." Orang itu terlihat agak kesal, lalu memutuskan keluar dari ruangan. Anggota yang lain pun mengikuti orang itu keluar dari ruangan yang terasa pengap itu. Menyisakan tiga orang yang masih bertahan di dalam. Salah satu di antaranya terus menyisir sekitar ruangan dengan matanya yang begitu jeli, seolah tak ingin melewatkan satu celah pun. "Sudahlah, Aiden. Mereka tidak mungkin di sini. Lebih baik kita keluar dan cari musuh itu di tempat lain." Seorang lainnya menepuk bahu orang yang masih bertahan di posisinya dengan gerakan mata yang terus mengawasi sekitar ruangan. Seakan tak percaya kalau ruangan itu kosong dan sangat yakin jika sebelumnya ada musuh yang bersembunyi di dalam sini. "Benar Den, buat apa juga kita buang-buang waktu di sini. Lebih baik kita keluar sekarang dan buru musuh itu sebelum pergi jauh." Satu orang lainnya yang berdiri di samping ikut menepuk bahu satunya lagi. Namun, orang yang dipanggil Aiden terlalu keras kepala dan tetap dengan pendiriannya kalau ia mendengar suara dari dalam sini, bahkan ia begitu meyakini kalau ada musuh yang sedang mengawasinya saat ini. "Aron, Saver, kalian tidak percaya denganku? Aku sangat yakin kalau tadi memang ada suara berasal dari dalam sini dan itu artinya kalau di tempat ini sebelumnya ada musuh yang sedang bersembunyi. Kita terlalu lama membuka pintu, sehingga memberikan waktu buat musuh itu kabur." Napas Aiden memburu, menatap serius kedua rekannya. "Kabur? Lewat mana?" Aron menyahut, mempertanyakan ucapan Aiden yang menyatakan kalau musuh sudah kabur. Padahal jelas-jelas tidak ada celah di ruangan ini, mana mungkin musuh bisa kabur. Kecuali musuhnya punya jurus menghilang kayak Naruto. "Kau lihat baik-baik Aiden, ruangan ini tidak ada celah sama sekali. Bagaimana musuh bisa kabur dari sini. Sudahlah, jangan membuang waktu lagi. Musuh itu tidak ada di sini!" tegas Aron, tak mau dibantah ketika Aiden masih bersikeras untuk menyanggah ucapannya. "Sudahlah Aiden, dengarkan kata kami. Mungkin tadi kau hanya salah dengar, cuma perasaan kamu saja. Buktinya tidak ada musuh di sini. Kau terlalu bekerja keras, mendingan kau istirahat saja." Saver menengahi, mencoba memberikan pengertian dan membujuk Aiden agar menyerah dengan keyakinannya mengenai musuh yang disebut-sebutnya ada di ruangan ini. "Ingat misi kita, Den. Kita harus tetap bertahan sampai kita menemukan solusinya. Jangan gegabah dan membuat mereka malah mencurigai kita." "Benar, cari aman saja," kata Aron. "Baiklah." Aiden menyerah juga, mengembuskan napas kasar. Meski sebenarnya ia masih yakin kalau musuh itu masih ada di ruangan ini dan sedang mengawasi. Tapi di mana? Aiden menatap ke atas, memicingkan mata saat melihat celah kecil di atas plafon. Mungkinkah musuh itu bersembunyi di sana? Tiba-tiba saja pemikiran itu muncul dalam benaknya. Namun, belum sempat Aiden memastikan dugaannya, kedua temannya menyentaknya dengan menepuk bahunya. "Ayo, kita keluar saja dari sini." Saver mengedikkan kepalanya menunjuk keluar ruangan, menginteruksi untuk bergegas keluar. Sementara Aron sudah keluar lebih dulu, menunggu di depan pintu. Aron pun melangkah keluar setelah Aiden memberinya anggukan kepala yang menyetujui untuk keluar dari ruangan. Namun, sekali lagi Aiden menatap ke sekeliling ruangan, terutama ke atas langit-langit ruangan yang membuatnya serasa ada yang janggal dengan celah yang sedikit terbuka itu. Tapi suara Aron kembali menginterupsi, membuatnya terpaksa membuang jauh pemikirannya tentang musuh yang bisa saja bersembunyi di balik celah itu. "Aiden, buruan." Aron menatapnya, melalui sorot mata dan gerakan kepala menyuruh Aiden segera keluar. Aiden mengembuskan napas kasar, tak punya pilihan lain selain mengikuti kedua rekannya. Lantas ia pun berjalan keluar, tapi ketika sampai ambang pintu, netranya tak sengaja melihat sesuatu teronggok di dekat kusen pintu. Tanpa pikir panjang ia mengambilnya, tampak serius memandangi benda kecil yang mirip pengganjal pintu. Apa benda ini yang tadi menyebabkan pintu tidak bisa dibuka? Pertanyaan itu muncul dalam benak Aiden, sontak ia kembali menatap ke belakang untuk memastikan sekali lagi agar tak ada satu pun yang terlewatkan olehnya. "Aiden." Panggilan dari kedua rekannya membuat Aiden terpaksa menyerah dan menyeret kakinya keluar. Meski tampak jelas jika ia tak ingin dan masih mau memastikan sekali lagi. Tapi sekali lagi Aiden tak bisa, ia tak mau membuat kedua rekannya kembali menceramahinya dan mengingatkan ia tentang misi mereka di sini. "Iya. Aku datang." Aiden menutup kembali pintu ruangan itu dan menyusul kedua rekannya yang tengah menunggu. Ketiganya pun benar-benar melangkah pergi dari lorong gelap itu. "Huh!" Joanna akhirnya bisa bernapas lega saat melihat pintu ruangan tempatnya bersembunyi tadi kini telah tertutup rapat. Menandakan bahwa semua musuh juga sudah pergi. "Jo, jawab aku!" "Apa aku ke sana saja?" "Jo, kalau kau tak menjawab, aku akan nekat ke sana!" Joanna mengembuskan napas kasar ketika suara dari headset yang terpasang di telinganya terus bersuara sejak tadi. Orang di seberang sana terus saja menanyai keadaanya, bahkan nekat akan mendatanginya karena Joanna tidak merespon pertanyaannya sejak tadi. "Oke, aku akan masuk sekarang juga———" "Rigel!" seru Joanna, menginterupsi orang di seberang yang ternyata rekannya, Rigel. Cowok itu tampaknya sangat mengkhawatirkan Joanna, sampai nekat mau membahayakan diri guna menyusul Joanna untuk memastikan keadaan. "Aku baik-baik saja." Joanna mengatakan itu agar Rigel tak perlu mencemaskannya. Walau sebenarnya Joanna masih merasa tegang. Ia nyaris saja tertangkap basah oleh segerombolan musuh. Siapa sangka jika tiga orang itu akan memanggil pasukannya untuk membobol pintu yang sudah Joanna ganjal agar tidak bisa dibuka. Untungnya alat buatannya itu bekerja dengan sangat baik dan juga ide Rigel mengenai ventilasi udara menyelamatkannya. Meski tadi ia nyaris saja ketahuan lagi ketika sosok mata setajam elang itu melihat ke arahnya, seakan mengetahui keberadaannya. "Syukurlah. Aku sangat khawatir ketika kau tak meresponku tadi. Aku pikir aku musuh berhasil menangkapmu." "Hampir, mereka memang hampir saja menangkapku. Mungkin jika aku bersuara, aku pasti akan tertangkap. Itu sebabnya tadi aku diam saja tak menyahutimu," ujar Joanna, memberitahu Rigel alasannya mengabaikan panggilan Rigel sebelumnya. Karena memang posisinya tidak memungkinkan, bahkan untuk bernapas saja Joanna tidak berani. Ia menahan napas dan membungkam mulutnya, serasa hawa panas seakan membunuhnya. Beruntung hal itu tak bertahan lama, karena jika tiga orang tadi tidak pergi, kemungkinan terburuk Joanna akan mati kehabisan napas. "Sorry, aku nggak tahu. Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu saja, tadi aku panik." Suara Rigel terdengar memelan, seolah lelaki itu merasa bersalah pada Joanna. "It's okay. Yang penting sekarang semuanya sudah aman. Bagaimana dengan kondisi di luar? Apa kau berhasil menyelamatkan drone-nya?" tanya Joanna, teringat akan drone yang sempat diserang sekumpulan musuh tadi. Rigel menghela napas kasar di seberang sana. Lalu mendesah dan berkata lirih. "Drone-nya sudah hancur berkeping-keping. Si karung beras s****n itu berhasil mendapatkannya dan tanpa ampun menginjaknya sampai tak berbentuk lagi. Maaf, harusnya tadi aku tetap fokus. Mungkin ceritanya tidak akan semengenaskan ini." Joanna tersenyum tipis, memaklumi. "Enggak papa, nggak perlu dipikirkan lagi. Tapi sekarang kau aman kan? Kau sudah melakukan apa yang aku suruh?" "Iya, aku baik-baik saja. Sekarang aku memarkirkan mobilnya di dekat gudang, sisi sebelah kiri, tapi masalahnya ...." Joanna mengernyit, heran. "Masalahnya apa?" Rigel tak langsung menyahut dan hal itu membuat Joanna cemas. Takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan terhadap Rigel, mengingat keberadaannya yang berada di radar musuh. "Rigel, kau baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu? Ya, Rigel. Jawab aku. Apa kau sengaja ingin———" "Gawat Jo, mereka ke sini!" Mata Joanna melebar, paham mereka yang dimaksud Rigel. Tentu saja para perampok yang sekarang sedang bergerilya mencari keberadaannya. ———— Rigel merunduk, menutupi dirinya dengan selimut ketika salah satu dari segerombolan musuh yang menghampiri mobilnya dan mengintip dari luar. Meskipun kaca mobil gelap dan tak tampak dari luar, tetap saja Rigel merasa ketakutan setengah mati saat melihat wajah salah satu anggota perampok itu menempel di kaca mobil samping. "Jo. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika mereka mengetahui keberadaanku di dalam sini?" lirih Rigel, menekankan suaranya. Meski mobil Joanna kedap suara dan dalam keadaan kamuflase, tapi nyatanya ketakutan Rigel akan hal-hal yang semestinya tak perlu dicemaskan justru bertambah besar. "Tenang, mereka tak akan mengetahui kau di dalam." Terdengar Joanna tengah menenangkan agar Rigel tak perlu mengkhawatirkan hal-hal itu lagi. Namun, Rigel tetaplah Rigel. Ia terlalu takut, tak menghiraukan perkataan Joanna untuk tetap tenang dan tak bisa berpikir logis untuk saat ini. Bagaimana Rigel tidak ketakutan kalau yang dilihatnya segerombolan orang berbadan kekar mengenakan pakaian serba hitam dengan wajah sangar kayak tukang pukul dan hal yang membuat Rigel sampai bergidik ngeri ialah s*****a api laras panjang yang di bawa masing-masing orang. Rigel tidak memang tidak banyak tahu mengenai persenjataan, tapi ia cukup mengenali s*****a yang dibawa gerombolan perampok karena ia sering memakainya saat bermain game. MD-40, senapan laras panjang yang bisa menembakkan seribu lima ratus butir peluru 7.92 x 57 mm mauser per menit. Dan dari yang Rigel tahu kalau senapan itu bisa menembus baja tebal. Hal tersebutlah yang membuat Rigel begitu ketakutan. Bagaimana jika ternyata mereka tahu ada Rigel yang dianggap musuh itu di dalam mobil ini, tentu saja mereka akan langsung memborbardir mobil ini dengan senapan laras panjang yang terkenal s*****a pembunuh dan tentunya Rigel bisa saja tewas karena mustahil peluru itu tidak bisa menembus mobil. "Jo, mereka membawa MD-40, aku takut. Bagaimana jika mobilmu tak bisa menahan peluru mereka dan berhasil menembus masuk." Rigel pun mengutarakan keresahannya. Joanna mendesah di seberang sana, lalu berkata tenang. "Jadi itu yang kau takutkan. Kalau begitu aku punya solusinya, aktifkan mode perlindungan. Nanti secara otomatis, bodi mobil akan terlapisi lapisan baja tebal. Tapi saat kau mengaktifkannya, usahakan di saat mereka semua lengah atau tidak melihatnya. Karena perubahannya memang mencolok." "Apa?" Rigel tak mengerti maksud Joanna bagaimana. "Lakukan saja, sekarang aku harus bergerak lagi. Ah, bagaimana kalau kau menjadi umpan dengan hal itu?" Tiba-tiba saja Joanna berubah pikiran dan mengubah rencananya. Tapi Rigel yang tak mengerti malah makin kebingungan dengan perkataan Joanna. "Apa maksudmu, Jo? Kau ingin menjadikan aku sebagai umpan mereka?" Rigel melirik ke luar jendela, di mana gerombolan itu masih bersantai di sekitar mobilnya. Bahkan ada beberapa yang menduduki kap depan mobil. Melihat bagaimana garangnya wajah-wajah itu, membuat Rigel memprediksi kalau mereka semua pembunuh berdarah dingin dan jika dirinya dijadikan umpan, maka mereka akan langsung melahapnya. Rigel sontak menolak keras ide Joanna yang sangat sinting itu. "Tidak mau! Aku tidak mau jadi umpan. Kenapa juga aku harus jadi umpan? Itu hanya tindakan konyol yang menyerahkan diri untuk dibinasakan! Ogah!" "Wah, kau salah paham. Maksudku——" "Tidak, Jo!" sergah Rigel, marah. "Pokoknya tidak mau! Kenapa harus aku? Kenapa tidak kau saja yang menyerahkan diri ke mereka? Sepertinya mereka akan lebih tertarik karena kau perempuan!" Napas Rigel memburu, kesal setengah mati karena ide Joanna. Joanna mengembuskan napas kasar. "Bukankah ucapanmu terlalu kasar, Rigel?" Joanna sepertinya tersinggung dengan kalimat terakhir yang dikatakan Rigel, mengenai gendernya.  Namun, Rigel seakan menangkap gelagat tersebut dari Joanna. Ia seolah tidak peduli dan hanya mementingkan kemarahannya karena Joanna yang berniat menjadikan dirinya umpan untuk para perampok. "Terserah kau mau bilang apa. Tapi alangkah baiknya kau berkaca, bukankah perkataanmu jauh lebih kasar. Bahkan kau juga tak memikirkan perasaan orang lain. Bagaimana bisa kau berniat menjadikan orang lain umpan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Itu sangat egois!" Joanna terdiam sesaat mendengar ucapan Rigel barusan. Ia sadar jika Rigel terlalu naif dan masih sangat lugu, meskipun usianya sudah menginjak enam belas tahun. Tak beda jauh dengannya. Tapi pola pikir mereka yang berbeda, mungkin karena desakan keadaan sehingga Joanna bisa bersikap lebih dewasa dari Rigel. Buktinya ia mengalah, tak ingin berdebat dengan Rigel karena itu hanya akan memperburuk keadaan. "Oke, maafkan aku. Tapi bisakah kau dengarkan dulu rencanaku bagaimana? Setelah itu kau bebas menentukan akan setuju atau tidak? Bagaimana? Kau mau? Tapi aku tak ingin dibantah sebelum aku selesai berbicara." Rigel awalnya enggan dan tetap bersikeras dengan penolakannya. Namun, kemudian ia sadar kalau ia sendiri juga bersikap egois, padahal mereka berdua rekan. Harusnya mereka mendiskusikan segala sesuatunya meski terkadang berbeda pendapat dan cara pandang dalam menyikapi persoalan. "Oke." Dan akhirnya Rigel menyanggupi untuk mendengar rencana Joanna. "Katakan, apa rencanamu." Joanna tampak senang mendengar respon Rigel, terdengar dari cara dia berbicara. "Oke, dengarkan baik-baik. Jangan langsung marah-marah kalau kau tak setuju, kau bisa tanyakan bagian yang mungkin membuatmu keberatan nantinya." Joanna pun mulai mengatakan semua gagasan ide yang muncul dalam otaknya, lalu meminta Rigel turut serta dalam pelaksanaannya. "Apa?" Rigel tercengang mendengar gagasan ide yang disampaikan Joanna, cukup ekstrim memang. "Jo, sepertinya aku tak bisa, aku ...." "Kau bisa, Rigel. Aku percaya padamu." Joanna terus membujuk Rigel, meyakinkannya. Rigel terdiam, menatap ke luar jendela untuk sekian kalinya. Pandangannya menerawang jauh, membayangkan ide yang Joanna katakan sebelumnya. Lalu pertanyaan itu kembali terbesit dalam benaknya. Apakah aku bisa melakukannya? Terima kasih sudah membaca cerita ini. Untuk mendukung cerita ini, kalian bisa berikan tap love di halaman depan cerita ini. Ada di bagian blurb, biasanya ada di pojok kiri simbol lovenya. Terima kasih untuk yang sudah memeberikan love di cerita ini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN