Menyerang

1593 Kata
Brak! Rigel tersentak kaget, matanya melotot horor ketika palu besar berhasil menghantam kaca mobil Joanna bagian depan yang kondisinya dipenuhi coretan piloks warna-warni. Suara berdebum dari palu yang dihantamkan ke kaca sampai merambat ke jantung Rigel, seolah berhenti berdenyut untu sepersekian detik. Bahkan napasnya ikut berhenti sesaat, disusul debaran menggebu-gebu yang menguasai dadanya sekarang. Rigel bisa sedikit bernapas lega, pasalnya hantaman palu barusan sama sekali tak menghancurkan kaca mobil Joanna. Kaca tersebut benar-benar tangguh, tak ada retakan yang berarti apalagi sampai pecah. Sayangnya kelegaan itu tak berlangsung lama karena orang-orang di luar begitu gigih ingin menghancurkan mobil itu. "s****n!" umpat Rigel, memejamkan mata sejenak. Ia begitu frustrasi menghadapi orang-orang bodoh yang sangat kekanak-kanakan. Bagaimana tidak kekanak-kanakan kalau mereka sekarang naik ke atas kap mobil dan juga atas mobil, lalu menghentakkan kaki sekencang-kencangnya sambil bersorak heboh. "Hancurkan!" "Hancurkan!" "Hancurkan!" Rigel mengucek sebelah telinganya, suara orang-orang itu begitu berisik menggetarkan gendang telinganya. Ditambah guncangan yang diakibatkan dari hentakan kaki mereka, membuat Rigel pusing tujuh keliling. Ia berusaha memeras otaknya untuk mencari ide agar bisa mengatasi mereka, setidaknya ia harus segera mengusir mereka semua bagaimanapun caranya atau mobil ini benar-benar akan dihancurkan oleh segerombolan musuh tersebut. Namun, suara berisik dari seruan orang-orang di luar, hentakan kaki yang mengguncang mobil dan juga suara palu yang menghantam bodi dan kaca mobil, jelas membuat Rigel tak bisa berkonsentrasi untuk berpikir. Setiap kali ia memfokuskan diri untuk memikirkan cara paling efektif, setiap kali itu juga pikirannya buyar dari suara-suara luar dan juga guncangan mobil yang entah bisa bertahan sampai berapa lama. Di saat genting itulah suara Joanna kembali terdengar, memaksa Rigel untuk menyahutnya kali ini. "Hei, boy. Are you okay. Kenapa berisik sekali? Waw, suara apa itu?" Sepertinya suara dari aktivitas di luar mobil terdengar sampai ke telinga Joanna. Rigel mendengkus pelan, walau setiap detiknya tersentak oleh suara-suara keras itu yang seakan menghantam jantungnya berkali-kali. "Sepertinya orang-orang itu sebentar lagi akan menghancurkan mobilmu, Jo," ucap Rigel, putus asa. "Apa separah itu? Tapi tenang saja, mobil itu tak akan hancur. Kamu tahu sekuat apa mobil itu, peluru saja nggak mempan." Kata-kata Joanna terdengar seperti kalimat penenang untuk anak kecil, tapi tak ampuh untuk Rigel yang sudah pasrah menyerahkan nyawanya sendiri kepada musuh. "Oh ya, tapi sepertinya kali ini mobilmu benar-benar akan hancur. Mereka begitu gigih tanpa henti melakukan berbagai cara agar mobilmu bisa dihancurkan. Lihat saja berapa kali palu besar itu menghantam kaca, atau mesin bor yang mereka gunakan. Mungkin dalam hitungan menit mobil ini akan benar-benar hancur, Joanna." Rigel menatap nanar orang-orang i***t di luar sana yang rasanya ingin sekali ia tumbalkan saja. "Kenapa kau terdengar pasrah seperti itu. Lakukan sesuatu, usir orang-orang itu, Rigel. Jangan biarkan mereka berhasil menghancurkan mobil itu, pikirkan nyawamu sendiri." Suara Joanna kali ini terdengar lebih menggebu-gebu, disusul suara napas wanita itu yang memburu dan terengah-engah. Sepertinya Joanna sudah mulai beraksi untuk menyusup ke gerbang depan. "Dengar Rigel, perjalanan kita untuk menyelesaikan misi belum juga dimulai. Jadi kau tak boleh mati konyol begitu saja, kau harus tetap hidup. Pikirkan orangtuamu di sana yang mengharapkan anaknya pulang." Kata-kata Joanna yang menyebut orangtua Rigel, sukses menciptakan ilusi bayangan orangtuanya di angan Rigel sendiri. Seulas senyum hangat mama dan papanya, serta uluran tangan mereka yang siap menyambut kepulangannya. Rigel seakan larut dalam ilusi tersebut, mendambakan momen itu akan jadi kenyataan. Namun, dengan kondisinya sekarang, rasanya mustahil Rigel bisa melalui rintangan-rintangan yang menguji nyali dan mengancam nyawanya. Rigel tersenyum hambar, kembali menatap orang-orang di luar sana yang makin menggila. Seakan mereka semua tengah terobsesi untuk menghancurkan mobilnya, begitu gigih mengayunkan palu berulang kali, menembakkan peluru dan juga menekan mata bor di setiap celah mobil ini. Meski tak satu pun usaha mereka yang berhasil, mobil ini begitu kokoh tak ada lawan. Tapi tetap saja Rigel psimis, membayangkan dirinya kalah duluan tanpa bisa melakukan perlawanan yang berarti. "Heh Rigel, kau dengar aku? Lakukan sesuatu, jangan diam saja!" Suara Joanna kembali menyentak Rigel, menyeretnya kembali pada kenyataan. "Apa yang harus aku lakukan Jo?" lirih Rigel, putus asa dan menyerah pada keadaan. "Apa kau menyuruhku untuk keluar dan melawan mereka, mengusir mereka dengan cara menakut-nakuti mereka dengan pistol yang kau tinggalkan?" Rigel mendesah berat, merasa ucapannya mustahil bisa direalisasikan. "Itu namanya bunuh diri paling konyol, Jo. Mereka bukan anak kecil yang akan lari karena ditodong pistol. Bahkan mungkin sebelum aku menarik pelatuknya, mereka sudah lebih dulu meluncurkan peluru untuk membombardir diriku." Terdengar embusan kasar Joanna, disela-sela napasnya yang ngos-ngosan. "Heh, Rigel. Apa bedanya dengan yang kau lakukan sekarang. Berdiam diri menunggu mereka berhasil menghancurkan mobil dan membunuhmu secara membabi buta? Bukankah yang kau lakukan sekarang sama saja dengan menghantarkan nyawamu sendiri, hanya menunggu waktu untuk ajal." Rigel tak menyahut, meski ucapan Joanna menyentil hati kecil dan melukai egonya. Tapi memang yang dikatakan Joanna benar dan ia tak berniat menyangkalnya, apalagi sampai mendebat. Ia hanya terlalu tak berdaya memikirkan cara agar dirinya bisa selamat kali ini. Tak ada celah, segala kemungkinan yang muncul dalam pikirannya terlalu beresiko. Ia yang penakut jelas tak akan senekat Joanna untuk melawan segerombolan orang-orang di luar. Walau sebenarnya keinginan untuk melawan mereka terbesit dalam benaknya. "Rigel, kenapa kau tak mengecoh mereka?" Rigel bereaksi ketika mendengar pertanyaan Joanna selanjutnya. Ia menegakkan kembali tubuhnya, menunggu kata-kata Joanna selanjutnya. "Misalnya dengan drone, kau bisa mengalihkan perhatian mereka dengan drone. Iya, benar. Kenapa tidak terpikirkan olehmu, Rigel. Kau bisa pergunakan kemampuanmu dalam mengendalikan drone untuk mengecoh mereka dan mengalihkan perhatian mereka, dengan begitu orang-orang itu tidak akan lagi terobsesi pada mobil itu. Bagaimana, bukankah ideku brilian?" Joanna terdengar sangat antusias saat memberitahukan penemuan idenya itu. Rigel tersenyum tipis, mendapatkan harapan hidupnya kembali. Meski ia juga merutuki pikirannya, kenapa otak encernya sama sekali tak berfungsi di sini. Harusnya ide ini muncul dalam pikirannya, tapi ia terlalu buntu sampai tak terpikirkan cara paling jitu untuk mengecoh mereka semua. "Thank's Jo, aku akan mencoba ide darimu. Semoga ini berhasil dan kau ...." Rigel menatap layar monitor, melihat rekaman dari kamera yang dibawa Joanna. "Hati-hati, jaga dirimu. Jika kau butuh bantuan jangan sungkan, aku akan langsung datang." Rigel mengatakannya dengan sunguh-sungguh. Ia berutang banyak hal pada Joanna, termasuk berutang nyawa pada perempuan itu. Terdengar suara kekehan Joanna, mencairkan keadaan yang sebelumnya terasa begitu mencekam. "Kau tak perlu mencemaskan aku, sekarang kau atasi dulu para pengganggu itu. Kalau perlu kau beri mereka pelajaran, tunjukkan skilmu dalam menembak dan menghancurkan, buat mereka merasakan ketakutan  yang sama dengan yang kau rasakan barusan." Ucapan Joanna benar-benar memotivasi Rigel, mengobarkan gelora semangatnya yang sempat menciut. Kini lelaki itu dengan mantap meraih remot kontrol dronenya, bersiap membalikkan keadaan dan membalas perbuatan orang-orang yang telah membuatnya pasrah memikirkan kematian. "Oke, mari kita lihat. Seberapa jauh drone ini bisa membantu." Rigel begitu antusias, mengarahkan drone terbang kembali ke arah mobilnya berada. Kini Rigel tak mempedulikan suara-suara berisik dari luar, teriakan kesenangan orang-orang itu juga ia abaikan. Dirinya mencoba tetap fokus, memantau dronenya agar tetap di bawah kendalinya dan terbang sesuai dengan arahannya. Ia sudah tidak sabar ingin memberi pelajaran pada orang-orang laknat itu. "Kita lihat, apakah setelah ini kalian masih bisa tertawa?" Rigel menyeringai, memastikan dronenya sudah berada di radar dekat dengan mobilnya. Lalu ia melepaskan satu tembakan laser, tepa mengenai palu yang sedang mengayun tinggi, bersiap untuk menghantam ke kaca depan mobil. "Pufff!" Rigel sangat bersemangat saat berhasil meluncurkan serangan pertamanya dan serangannya tidak meleset. Boom! Besi palu terlepas dari gagangnya. Mengejutkan semua orang di luar yang spontan menghentikan aksi masing-masing. Di saat mereka semua tengah saling menatap, kebingungan dengan apa yang terjadi. Rigel memanfaatkan celah itu untuk meluncurkan serangan kedua. "Yes!" Rigel kembali berseru kegirangan ketika tembakan lasernya berhasil menembus bodi bor yang sedang dipegang oleh musuh, mengejutkan si pemegang yang secara refleks menjatuhkan bor tersebut. "Mampus, emang enak." Rigel tertawa, senang melihat wajah-wajah kebingungan itu. "Sekarang giliran kalian berdua." Rigel kembali memberi serangan, kali ini tembakan peluru kapsul yang tepat mengenai dua orang yang langsung pingsan. Pasalnya di dalam peluru itu terdapat obat bius. Joanna memang keren, perempuan itu sudah mempersiapkan segalanya dengan tepat dan secara matang. Alhasil semua s*****a yang disiapkan berfungsi dengan semestinya dan sangat bermanfaat bagi Rigel sekarang ini. "Lihat ke atas sana!" Teriakan salah satu musuh menginterupsi semua orang yang masih terkejut setelah mendapati dua rekannya tak sadarkan diri. "s**l!" Rigel mengumpat ketika keberadaan dronenya langsung diketahui oleh musuh. Padahal ia belum puas bermain-main. "Mata-mata!" teriak yang lain, menunjuk drone itu. "Itu pasti agen biro kontrol." "Tangkap dan musnahkan!" seru seorang yang masih berdiri di atas kap mobil, sepertinya dia selaku pemimpinnya. Dari gerak geriknya memerintahkan semua orang-orang itu agar menangkap drone tersebut. Rigel tersenyum, siap mengendalikan drone itu untuk mengecoh mereka supaya menyingkir dari sekitar mobil. Tapi terlebih dahulu Rigel ingin memberi mereka pelajaran, lantas Rigel memborbardir mereka dengan peluru yang sengaja di tembakan secara acak ke sembarang arah. Ia memang sengaja ingin menakut-nakuti saja, karena sudah menebak kalau mereka semua akan langsung menghindari serangan pelurunya. "s****n! Tangkap sekarang juga!" Orang yang berdiri di atas kap sontak meloncat turun. Kali ini ia mengeluarkan pistolnya dan menembaki drone secara membabi buta. Begitu juga anak buahnya yang lain. "Oke, mari kita main kucing-kucingan." Rigel bersemangat, menerbangkan dronenya menjauh dari jangkauan musuh. Sesuai dugaannya kalau musuh tetap akan mengejar dan rencananya untuk menyingkirkan musuh pun berhasil. "Good job, Rigel. Kau melakukannya dengan baik." Rigel memuji diri sendiri atas keberhasilan usahanya menyingkirkan musuh. Tapi setelahnya ia mengumpat keras-keras. "What the f**k!"  Ternyata dua orang yang ditembaknya langsung terbangun dan menatap nyalang ke arah kaca mobil. Seakan dua orang itu bisa melihat Rigel di dalamnya. "Harusnya tadi aku menembak kalian dengan peluru sungguhan! s**l!" Rigel menyesali keputusannya, kini ia mau tidak mau harus menghadapi dua orang itu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN