Seharian ini Rigel menghabiskan waktunya untuk mengasah kemampuan dalam menggunakan remot kontrol dan mengendalikan drone untuk memantau keadaan sekitar. Joanna juga mengajarinya banyak hal, mengenai tombol-tombol di remot yang bisa dipergunakan dalam keadaan genting maupun terdesak.
Di mana tombol-tombol tersebut berfungsi untuk mengaktifkan fitur serangan dalam berbagai mode pada drone, contohnya drone akan mengeluarkan laser yang bisa menembus baja sekalipun jika Rigel mengaktifkan mode tembak laser. Drone juga bisa mengubah senjatanya dalam hitungan detik, semisal dari tembak laser jadi tembak peluru dengan daya tembak yang cepat dalam hitungan detik dan tepat sasaran.
Keakuratan daya tembaknya tak perlu diragukan lagi, drone itu bisa dijadikan pelindung terselubung untuk Joanna yang akan memulai aksinya malam ini.
Rigel menoleh ke bangku belakang, di mana Joanna sedang mempersiapkan perlengkapannya untuk menjalankan misi. Ia membekali dirinya dengan berbagai s*****a tajam dan juga s*****a api, serta tidak lupa melindungi tubuhnya dengan rompi anti peluru.
"Jo," panggil Rigel.
Joanna yang sedang mengikat tali sepatu boots-nya, seketika menoleh setengah mendongak pada Rigel yang duduk di bangku depan. "Ada apa?" tanyanya.
Rigel mengambil sesuatu dari bangku sebelahnya, kemudian memberikannya pada Joanna. "Sepertinya sekarang kau yang lebih membutuhkan ini."
Joanna tersenyum tipis melihat jaket anti peluru miliknya dikembalikan oleh Rigel. "Kau yakin aku lebih membutuhkannya? Kau bisa memakainya untuk melindungi diri, berjaga-jaga jika musuh datang menyatroni mobil," kata Joanna, kembali sibuk mengikat tali sepatu yang satunya.
"Ada banyak s*****a di dalam mobil yang bisa aku gunakan. Lagipula mobil ini juga sudah cukup aman untuk melindungiku dari serangan musuh. Tapi kau ...." Rigel menjeda ucapannya, menatap lebih dalam pada Joanna yang merubah posisinya jadi duduk tegak menatap dirinya. "Di luar sana terlalu berbahaya, jadi pakailah dan pastikan kau akan baik-baik saja. Kau harus kembali dengan selamat, aku tidak mau kehilangan patner dan terkurung di dunia aneh ini sendirian." Rigel meraih tangan Joanna, memaksanya agar menerima jaket itu dan menyuruhnya untuk segera memakainya. "Pakai, di luar juga udaranya dingin. Jangan biarkan angin membuatmu sakit."
Joanna tersenyum lebar, sekali lagi tersentuh oleh perlakuan Rigel dan sikap pedulinya. "Aku akan memakainya, thank's sudah mempedulikan dan sedikit mengkhawatirkan aku. Rasanya aku hampir lupa rasanya dipedulikan saking lamanya sendirian di sini dan ini kali pertamanya aku merasakan itu lagi setelah hari-hari panjang yang aku lewati seorang diri."
Rigel mengangguk. "Bukankah memang seharusnya begitu, kita kan patner. Berjanjilah kalau kita akan sama-sama berjuang sampai akhir dan menyelesaikan misi ini bersama lalu keluar dari dunia konyol ini."
"Of course." Joanna sangat bersemangat. Ia memakai kaca mata malamnya dan juga tas ransel berisi persediaan obat dan s*****a untuk berjaga-jaga selama ia beraksi. Malam ini Joanna akan menyusup ke gudang persenjataan dan mengambil banyak persediaan s*****a untuk bekal mereka menyelesaikan misi pencarian chip agar bisa keluar dari dunia game ini.
Karena kegagalan waktu menyusup di gudang makanan dan menyebabkan para perampok menyadari keberadaannya yang menyusup ke sana dan menjarah persediaan makanan milik mereka. Sudah dipastikan kalau sekarang para perampok pasti memperketat semua penjagaan di gudang persenjataan, mereka pasti sudah bisa menebak kalau target Joanna selanjutnya ialah menjarah persediaan s*****a milik mereka.
"Jo." Rigel kembali bersuara saat melihat Joanna akan keluar dari mobil, mengurungkan niat perempuan itu dan membuatnya menoleh. "Apa tidak sebaiknya aku saja yang ke sana?" tawar Rigel untuk kesekian kali. Sejak siang tadi Rigel terus menawarkan diri untuk menggantikan posisi Joanna malam ini.
Namun, sekali lagi Joanna memberikan jawaban yang sama. Ia menggelengkan kepala sembari berkata, "Biar aku saja, kau cukup memantau keadaan dari sini dan lindungi aku jika aku dalam bahaya ataupun keadaan terdesak. Jangan lupa laporkan setiap kali ada pergerakan musuh yang mendekat. Sekecil apa pun informasi darimu itu sangat berarti untuk aku bertahan di lapangan."
Rigel menghela napas panjang, pasrah menerima keputusan Joanna. Walau sekali lagi ia masih belum rela melepas kepergian Joanna seorang diri untuk beraksi. Sementara dirinya malah duduk manis di dalam mobil dan memantau keadaan luar lewat layar lcd di dasbor mobil.
"Baiklah, hati-hati Jo." Dengan berat hati Rigel melepaskan Joanna pergi, dalam hati berdoa agar Tuhan selalu melindungi perempuan itu. Ia tidak mau Joanna kenapa-napa, karena sekarang tumpuan terakhirnya hanya Joanna. Jika Joanna sampai kenapa-napa apalagi sampai tewas di medan pertempuran, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Rigel mungkin juga akan ikut mati membusuk di tempat ini.
"Siap. Jangan tegang begitu. Aku pergi cuma sebentar, bukan untuk meninggalkanmu selamanya. Kau harus berkonsentrasi, jangan biarkan pikiran negatif dan prasangkamu membuat fokusmu buyar. Ingat, aku sangat mengandalkanmu kali ini." Joanna menepuk bahu Rigel, setelah itu keluar dari mobil. Joanna melambaikan tangan ketika melangkah menjauh menuju gudang yang berada di belakang bangunan besar tempat kemarin mereka menyusup.
Rigel fokus menatap layar monitor, jemarinya bergerak lincah menekan tombol di remot untuk mengontrol drone. Ia menerbangkan drone lebih tinggi untuk melihat keadaan sekitar, melihat apakah ada pergerakan musuh. Sedangkan di layar monitor satunya juga terdapat video berupa keadaan sekitar di luar gudang, di mana situasi itu terekam lewat kamera kecil yang dipasang di jaket Joanna.
"Test."
"Test."
Suara Joanna terdengar lewat speaker, mengecek sambungan suara dari alat komunikasi yang ia bawa agar bisa berkomunikasi dengan Rigel.
"Rigel, kau dengar aku?" tanya Joanna dari seberang sana.
Rigel refleks mengangguk, meski Joanna tak akan melihatnya. Lantas ia pun bersuara pelan, menyahut panggilan Joanna. "Iya, aku mendengarmu. Bagaimana keadaan di sana? Apakah aman?" Rigel balik bertanya, meski matanya terus memantau ke layar monitor yang tampak menunjukkan tempat itu begitu sepi dan aman. Karena tidak terpantau ada penjaga maupun para perampok yang berkeliaran di sekitar gerbang belakang.
"Aman, bagaimana keadaan sekitar. Apa ada tanda-tanda pergerakan musuh mendekat?"
Rigel meninggikan terbang dronenya, lalu melihat ke semua sisi yang tercangkup oleh pantauan kamera drone tersebut. Setelah memastikan tidak adanya pergerakan musuh di sekitar tempat itu, ia pun melaporkannya pada Joanna. "Aman. Kau bisa masuk sekarang."
"Oke, aku akan masuk sekarang." Terlihat dari layar monitor satunya, Joanna mulai bergerak memanjat pagar dan masuk lewat belakang gedung kumuh itu.
Rigel menatap awas pada dua layar monitor itu, dalam hati merapalkan doa agar Joanna baik-baik saja. Namun, di saat dirinya tengah fokus mengawasi, tiba-tiba suara derap langkah terdengar, disusul suara berisik orang-orang yang tampaknya sedang berpatroli.
"s**t!" Rigel spontan berjongkok, menyembunyikan wajahnya di atas lutut lalu meringkuk saat melihat musuh menghampiri mobilnya. Bahkan salah satu mengintip lewat kaca jendela di sisi sampingnya. "Mampus!"
----
Joanna berhasil memanjat pagar tinggi dan memasuki kawasan berbahaya milik musuh. Ia berjalan mengendap-endap, mengedarkan pandangannya ke segala penjuru untuk memastikan keadaan aman. Keadaan malam yang sangat mencekam, tempat yang tampak sunyi senyap membuat bulu kuduk Joanna berdiri. Ia terus merapalkan doa, memohon perlindungan pada Tuhan.
Bukan setan yang Joanna takutkan, karena iya yakin di tempat ini tidak ada setan. Tapi keberadaan para musuh yang tiba-tiba datang menyergaplah yang Joanna takutkan sedari tadi. Meski sejak melangkahkan kakinya di area gedung tua ini, ia belum mendapatkan tanda-tanda keberadaan musuh.
"Halo, Rigel. Bagaimana keadaan di sekitar pintu masuk. Apakah aman? Kalau aman aku akan masuk," bisik Joanna, berbicara di depan sebuah microphone kecil yang ditempelkan di kerah bajunya. Ia mencoba menghubungi Rigel untuk menanyakan keadaan sekitar pintu masuk, karena dari persembunyiannya ia tak bisa melihat keadaan sekitar pintu masuk depan dan di belakang gedung juga semua akses pintu dikunci dengan gembok berantai besi. Butuh waktu lama untuk Joanna membukanya, itu pun beresiko akan ketahuan oleh para perampok. Lantas, Joanna memutuskan nekat untuk lewat pintu masuk depan, walau sebenarnya ia sangat yakin kalau musuh berjaga-jaga di pintu akses satu-satunya itu.
"Halo, Rigel. Kau dengar aku?" Joanna kembali menghubungi Rigel, karena lelaki itu tak kunjung merespon. "Heh, Rigel. Tolong jangan buat aku khawatir. Kau mendengarku?" Joanna sedikit meninggikan suaranya, berharap Rigel segera menyahut.
"Rigel!!!"
"Apa si Jo, kau berisik sekali." Akhirnya terdengar sahutan dari Rigel, membuat Joanna bernapas lega. Ia kemudian menanyakan kenapa Rigel tak kunjung merespon sebelumnya.
"Kau ke mana saja? Kenapa kau tidak merespon, kau membuat aku sangat khawatir. Apa keadaan di sana baik-baik saja?" tanya Joanna, sembari memperhatikan ke sekitar lagi untuk memastikan keadaanya masih aman dan belum terpantau satu musuh pun yang berada di area belakang.
"No," jawab Rigel, suaranya terdengar lirih dan putus asa.
"Maksudnya?" Joanna jelas keheranan mendengar jawaban Rigel, kekhawatirannya kembali muncul. "Apa ada yang terjadi? Katakan, apa semua baik-baik saja?"
Terdengar hembusan napas kasar Rigel, memicu ketegangan Joanna yang diliputi pikiran-pikiran negatif akibat mencemaskan Rigel. Mengingat keadaan mereka kali ini memang sangat berbahaya apabila musuh berhasil mendeteksi keberadaan mereka. Tapi bukankah mobil mereka sudah di mode kamuflase? Harusnya itu aman, lalu kenapa Rigel seperti dalam bahaya.
"Halo, Rigel. Jawab aku? Jangan buat aku cemas." Joanna menuntut jawaban pada Rigel yang tak memberinya penjelasan apa pun selain jawaban no.
"Aareghh!!" Erangan Rigel terdengar, membuat Joanna berspekulasi macam-macam. Namun, ia belum bereaksi, masih menunggu Rigel menjelaskan keadaanya di sana. "Orang-orang s****n itu!" Rigel terdengar sangat geram, marah, tapi juga tak berdaya.
"Orang-orang itu? Apa maksudmu? Katakan yang benar, Rigel. Apa yang terjadi?" Joanna kelepasan setengah berteriak, spontan ia membungkam mulutnya setelah itu. Napasnya terengah, matanya tak berhenti melirik awas ke sekitar. Semoga saja tidak ada yang mendengar teriakannya barusan, Joanna sangat berharap. "Rigel, cepat katakan apa yang terjadi di sana? Kau baik-baik saja kan?" Kali ini Joanna berbisik pelan di depan microphone.
Sementara di dalam mobil, Rigel masih bersembunyi di bawah, bersandar pada bawahan bangku kemudi sambil menatap frustrasi ke depan kaca jendelanya. Beberapa orang yang diduga anggota perampok sedang bermain-main dengan mobilnya. Setelah puas mencoret-coret mobilnya dengan piloks di sisi kanan kirinya, sekarang mereka beralih ke depan untuk melalukan hal yang sama.
Keadaan kaca mobil yang dipenuhi coretan piloks jelas membuat Rigel kesusahan untuk melihat keadaan di luar mobil. Bahkan bukan hanya itu saja, orang-orang kurang kerjaan itu juga menggoyangkan mobilnya sambil berteriak-teriak nggak jelas. Rigel mengembuskan napas kasar, ia tak berdaya. Tak ada ide yang melintas di pikirannya untuk mengusir keberadaan orang-orang itu yang untungnya tak menyadari keberadaannya di dalam sini.
"Rigel, jawab. Astaga. Kenapa denganmu? Hei!"
Untuk kesekian kali Rigel mengembuskan napas kasarnya, ketika suara Joanna kembali terdengar dari earphone yang ia kenakan di telinganya. Lantas, Rigel pun menjawab panggilan Joanna agar tidak perlu mengkhawatirkannya.
"I am okay, Jo. Hanya ada sedikit kendala di sini. Aku tidak bisa menerbangkan dronenya, karena ada beberapa musuh yang berada di sekitar mobil. Apa kau bisa mengatasinya tanpa itu? Bagaimana dengan di sana?" Rigel balik bertanya.
"Aku tidak bisa memantau keadaan di depan. Tapi mungkin aku akan langsung meluncur ke pintu masuk. Apa musuh menyadari keberadaanmu di dalam mobil?"
"Untungnya tidak tapi mereka mulai menggila di luar, mereka---s**t!" Rigel spontan mengumpat saat kaca sampingnya coba dihancurkan dari luar, hal tersebut membuat guncangan merambat ke dalam mobil. Rigel semakin melotot ketika dari celah kaca depan ia melihat orang-orang itu mengayunkan palu besar ke kaca mobilnya.
"s****n! Apa mereka mengetahui keberadaanku di dalam?" monolog Rigel.