Keheningan di dalam mobil begitu terasa selepas Rigel menyelesaikan kesibukannya mengobati tangan Joanna. Kini keduanya saling diam dan membiarkan kecanggungan melingkupi di antara keduanya. Terlebih Joanna yang sedari tadi pura-pura tidur padahal diam-diam memperhatikan Rigel. Namun, ketika mata mereka saling beradu satu sama lain lewat pantulan kaca spion, Joanna langsung salah tingkah dan memilih meringkukkan badannya ke sisi jendela.
Tapi tak berselang lama kecanggungan itu berubah jadi ketegangan, kala suara mesin kendaraan terdengar menggema dan semakin mendekat ke posisi mereka, ditambah sorot cahaya yang mulai menerangi tempat tersebut.
"Bagaimana ini, Jo?" tanya Rigel, cemas ketika mengetahui keberadaannya berhasil ditemukan oleh musuh.
"Diam, jangan berisik. Karena mereka nggak bakal bisa lihat kita dari luar. Jadi kita aman," jawab Joanna, memperhatikan ke luar jendela. Memantau situasi di luar yang tampak mencekam ketika deru suara mesin mobil semakin santer terdengar.
"Tapi Jo, mereka pasti akan menemukan mobil ini dengan mudah. secara mobil ini sangat mencolok dibandingkan mobil-mobil yang lainnya. Mereka tampak usang, tapi punyamu masih terlihat bagus dan bersih. Apalagi mesin mobilnya juga masih panas, apa kau pikir mereka akan melewatkannya begitu saja?" ujar Rigel, mengutarakan keresahannya.
Joanna melirik Rigel, menaikkan satu alisnya. Ia terlalu sibuk mengutuk reaksi tubuhnya sampai tak terpikirkan akan hal tersebut. Padahal biasanya Joanna akan lebih waspada dengan meminimalisir kesalahan dalam persembunyiannya. Tapi kali ini ia terlalu teledor sampai melupakan hal terpenting untuk berkamuflase agar keberadaannya tidak diketahui oleh musuh.
Lantas, Joanna mencodongkan tubuhnya ke bangku depan, melewati sisi kiri Rigel yang masih duduk di bangku kemudi. Joanna tampak sibuk mengotak-atik tombol-tombol yang terdapat di bagian dasbor samping stir, sampai tak menyadari jika Rigel tengah menahan napas di dekatnya.
Awalnya Rigel masih biasa saja, walau sempat terkejut karena Joanna tiba-tiba mencodongkan tubuhnya seperti itu. Tapi saat aroma tubuh Joanna menyapa indera penciumannya, Rigel sontak menoleh. Matanya tak berkedip memperhatikan Joanna yang sedang sibuk, entah apa yang dilakukannya. Tapi yang pasti posisi Joanna begitu mengganggu untuk Rigel, sampai dirinya dibuat salah tingkah.
Rigel berdeham, meloloskan sesuatu yang mengganjal di tenggorokan. Mencoba mengontrol diri dan mengendalikan degupan jantungnya yang entah kenapa berdetak di luar kendali. Bahkan atmosfir dalam mobil berubah jadi memanas, membuatnya berkeringat dingin.
"Apa yang kau lakukan, Jo?" Rigel berbasa-basi, menyembunyikan kegugupannya karena Joanna tak kunjung menarik tubuhnya ke posisi semula.
Joanna menolehkan kepalanya pada Rigel, hanya sebentar saja sebelum kembali sibuk mengotak-atik sesuatu pada tombol-tombol di dasbor. "Melakukan kamuflase," jawabnya kemudian.
"Kamuflase?" Rigel mengerutkan alisnya, heran. "Maksudmu seperti bunglon begitu?" Ia pernah mendengar kata kamuflase saat pelajaran di sekolah dan guru mengkaitkannya dengan bunglon yang bisa merubah bentuk sesuai situasi dan kondisi, menyerupai sesuatu yang ada di sekitarnya.
Joanna mengangguk, masih tetap fokus mengatur tombol-tombol tersebut. "Seperti yang kau bilang, mobil ini memang canggih. Saking canggihnya bisa berkamuflase sesuai keadaan. Hanya perlu mengaturnya seperti ini." Joanna menoleh, telunjuknya menunjukkan sesuatu yang sedang ia kerjakan.
Fokus Rigel langsung tertuju pada layar kecil di dasbor dekat tombol-tombol itu. Ia mendekat, mencodongkan kepalanya agar bisa melihat lebih jelas apa yang terpampang di layar tersebut. Ia berdecak kagum melihat pekerjaan Joanna, di mana perempuan itu berhasil mengubah mobilnya jadi mobil usang yang tampak kotor dan tua di bagian bodi luar. Bahkan mesin mobilnya juga secara otomatis menyesuaikan suhu dalam keadaan mati. Benar-benar canggih, seandainya ada mobil secanggih ini di dunia nyata. Namun, sayangnya hal-hal tak masuk akan ini hanya terjadi di dunia game. Walau sebenarnya Rigel merasa bukan seperti di dunia game, tapi lebih ke dunia paralel karena sebagian tempat ini begitu mirip dengan dunia nyata.
"Apa cara ini akan berhasil mengelabui mereka?" tanya Rigel, menoleh pada Joanna berbarengan dengan perempuan itu yang juga menoleh kepadanya. Untuk sepersekian detik, mereka terdiam karena jarak pandang yang begitu dekat. Hanya sejengkal dari ujung hidung masing-masing dan hal tersebut membuat keduanya seketika canggung serta salah tingkah.
Rigel spontan memalingkan wajah ke samping jendela. Sementara Joanna buru-buru menarik tubuhnya kembali ke posisi semula. Sesaat keduanya saling diam, menstabilkan jantung masing-masing yang berdetak di luar kendali. Apalagi Joanna yang sempat memerah pipinya karena ditatap Rigel sedekat itu. Berkali-kali Joanna menekankan diri agar tidak terbuai oleh suasana dan tetap fokus dengan tujuannya.
"Itu cukup efektif untuk membuat mereka tak bisa mendeteksi mobil ini. Jadi kita bisa bernapas lega untuk sementara waktu dan jangan berisik. Meski mobil ini kedap suara, mereka juga punya peralatan yang lebih canggih untuk mendeteksi suara sekecil apa pun," ucap Joanna, memecah kebisuan dan memberitahu Rigel agar tidak berisik.
Bersamaan dengan itu, suara deru mobil mulai memasuki kawasan itu dengan sorot lampu yang menyilaukan membuat keadaan tempat itu yang semula gelap gulita jadi terang benderang.
"Cari di semua tempat dan temukan mereka!" teriak seseorang dari dalam mobil Range Rover bewarna hitam metalik. Orang tersebut berbicara melalui pengeras suara, memerintahkan semua anak buahnya untuk memburu Rigel dan Joanna.
Di saat semua anak buahnya tengah mencari ke setiap sudut. Orang itu keluar dari mobil, memantau dari dekat kendaraannya. Dari dalam mobil, Joanna dan Rigel terus memperhatikan orang itu. Walau sesekali mereka juga akan mengawasi sekitar, di mana orang-orang berpakaian serba hitam tengah berpencar mengecek satu per satu mobil yang ada di sana. Lalu ada orang-orang berpakaian putih seperti astronot, membawa sebuah alat pelacak dan menyisir di setiap tempat.
"Sebenarnya siapa mereka?" tanya Rigel, penasaran. "Kenapa mereka mengejar kita sampai sebegitunya?"
"Suuuttt!" Joanna menekan bibirnya dengan telunjuk, menginteruksi Rigel agar tidak berisik dan lebih memelankan lagi suaranya. "Jangan kenceng-kenceng, nanti mereka dengar."
Rigel mengangguk, lalu mendekat pada Joanna yang tengah memantau dari balik kaca jendela. "Jelaskan padaku, kenapa mereka mengincar kita?"
"Bukankah waktu itu sudah aku jelaskan? Apa kau lupa?" balas Joanna, suaranya memelan karena ada salah satu dari anggota agen biro kontrol yang mendekat ke mobilnya.
"Hanya karena kita penyintas? Tapi kenapa? Apa yang membuat mereka memburu para penyintas, kenapa? Lagian kita kan nggak merugikan mereka?" Rigel masih belum juga mengerti, banyak pertanyaan bercokol di dalam otaknya dan itu begitu mengganggu.
"Suuuttt!" Joanna menekankan telunjuk di bibirnya sendiri, mengisyaratkan agar Rigel diam dan berhenti mengoceh. Karena hal tersebut bisa mengundang kecurigaan orang yang memakai baju serba putih seperti pakaian artronot di luar, orang itu membawa alat pendeteksi suara dan pelacak jejak.
Sial!
Joanna mengusap kasar wajahnya, frustrasi. Ia tak memikirkan soal pelacak jejak yang memang dibawa oleh agen biro kontrol, lagi-lagi dirinya teledor. Rigel yang memperhatikan ekspresi kesal Joanna pun terheran-heran, penasaran dan memicunya untuk bertanya langsung.
"Kenapa?" Rigel setengah berbisik, mempertanyakan wajah kesal Joanna.
"Aku lupa kalau mereka punya alat pelacak jejak." Joanna menghela napas lelah. "Mungkin sebentar lagi mereka akan mendeteksi keberadaan kita lewat jejak yang mereka temukan dengan alat tersebut." Joanna menundukkan kepala, meremas jemari tangannya saat sedang risau begini.
Rigel memantau kembali keadaan di luar mobil. Memperhatikan lebih teliti gerak-gerik orang-orang yang sibuk mencari-cari dirinya dan Joanna. Lalu fokusnya teralihkan pada orang yang memakai kostum putih tertutup, memang mirip sekali dengan pakaian astronot. Hanya saja sepertinya pakaian itu tampaknya ringan, tidak seberat pakaian astronot. Bagian kepalanya juga tidak besar, walau sama-sama tertutup dan di bagian wajah terlapisi kaca bening.
"Apakah alat itu hanya mendeteksi penyintas saja atau juga benda yang berasal dari sini?" tanya Rigel kepada Joanna.
Joanna memiringkan kepala untuk menatap Rigel, lalu mengedikkan kedua bahu sambil berkata, "Entahlah, aku tidak tahu."
Rigel kembali fokus melihat ke luar jendela mobil. "Sepertinya tidak. Mereka tidak akan bisa mendeteksi kita, kecuali hanya jejak ban mobil. Tapi bukankah jejak ban itu sudah tercampur dengan jejak kaki mereka?"
Joanna tak menyahut, tapi ikut melihat ke luar jendela mobil untuk memperhatikan orang-orang yang masih sibuk mencari keberadaan dirinya dan Rigel.
"Cari sampai ketemu!" Komandan mereka kembali menyerukan suaranya lewat pengeras suara. Memerintahkan semua anak buahnya terus mencari Rigel dan Joanna sampai ketemu. "Jangan biarkan mereka lolos begitu saja!" teriaknya berulang kali.
Joanna mendengkus kasar, ia sudah sering mendengarkan ocehan seperti itu. Mereka memang begitu gigih dalam memburu penyintas yang masuk ke dunia game. Mereka juga yang menangkap patner Joanna sebelum-sebelumnya dan entah ke mana mereka membawanya.
"Ketemu!" Teriakan salah satu anggota agen biro kontrol yang memakai pakaian serba hitam berteriak lantang, suaranya bergema di dalam baseman dan menarik perhatian semua orang. Tak terkecuali Rigel dan juga Joanna yang langsung menoleh kepadanya "Di sini!!!"
"Mampus!" Rigel melotot saat melihat orang yang berteriak itu berada tepat di depan mobil mereka, menghadap ke arahnya. "Jo, apa yang harus kita lakukan?"
Joanna yang duduk di belakang tak kalah terkejut ketika melihat ke depan. Ditambah suara derap langkah orang-orang itu yang mulai berlarian ke arah mobilnya. "Tamat," lirih Joanna, menarik atensi Rigel kepadanya dengan tatapan horor. "Riwayat kita sudah tamat, Rigel."