Joanna berhasil menyingkirkan para perampok yang mengendarai motor trail. Ia menumpas habis para b*****h yang sebelumnya menyerang secara membabi buta. Tak hanya itu saja, Joanna juga berhasil melumpuhkan drone-drone yang terbang rendah ke arah mobilnya. Semua yang menjadi ancamannya saat ini sudah Joanna tumpas tak bersisa.
"Rigel, di depan belok kiri," seru Joanna, menginteruksi Rigel yang mengambil alih stir kemudi agar membelokkan mobilnya sesuai perintahnya barusan.
Rigel melihat Joanna sekilas lewat kaca spion di atasnya, ketika perempuan itu menarik tubuhnya masuk ke mobil dan bersandar di kursi belakang. Setelahnya ia beralih melihat lewat kaca spion di sisi luar, memastikan tidak ada musuh yang tersisa. Rigel mengikuti arahan Joanna, membelokkan mobilnya ke kiri menuju sebuah lorong yang lebih gelap dan tampaknya sangat lembab, terdapat banyak tetesan air dari atas dan menimbulkan genangan di sepanjang jalan.
"Apa di depan ada jalan? Sepertinya jalan buntu?" tanya Rigel saat melihat area depan yang begitu gelap, tidak ada tanda-tanda cahaya memasuki baseman gedung yang mereka masuki.
"Parkirkan di ujung, di antara mobil-mobil itu. Ambil tempat yang tidak begitu mencolok," ucap Joanna, kembali memberikan interuksi tanpa menjawab pertanyaan Rigel barusan.
Rigel yang bingung pun menatap Joanna lewat kaca spion di atasnya, hendak protes. Tapi Joanna kembali bersuara dan hal tersebut mengurungkan niatnya untuk mempertanyakan perintah Joanna tadi.
"Lakukan saja. Kita harus bersembunyi untuk sementara waktu sampai keadaan benar-benar kondusif. Percuma kalau kita tetap memaksa pergi sekarang, mereka akan mudah menangkap kita karena personil mereka lebih banyak. Ditambah para perampok, jelas kita tidak akan mampu melawan. Jadi lakukan perintahku barusan jika kau masih ingin hidup," ujar Joanna panjang lebar, setelah itu mengembuskan napas panjang yang begitu melelahkan.
Rigel tak berani membuka mulutnya lagi, segera melakukan apa yang diminta Joanna tadi. Ia memutarkan mobilnya saat sampai di ujung lorong, berbelok ke sisi kiri di mana banyak mobil-mobil yang terparkir. Mobil-mobil tersebut tampaknya sudah lama ditinggalkan, terlihat berdebu dan usang termakan waktu.
Rigel memarkirkan mobilnya dekat dinding, di belakang deretan mobil-mobil besar yang menyerupai mobil Joanna. Hal tersebut ia lakukan agar tidak mencolok dan mengelabui musuh yang bisa saja sampai ke tempat ini. Walau ia berharap mereka tak akan sampai menemukan tempat ini.
"Segera matikan mesin mobilnya dan nyalakan senyap otomatis. Tombol yang warna biru." Joanna langsung memberi interuksi saat Rigel baru saja memarkirkan mobilnya.
Rigel melakukan apa yang Joanna perintahkan tanpa bertanya. Menekan tombol biru yang dimaksud dan secara otomatis mobil tersebut dalam keadaan kedap suara. Layaknya mobil-mobil usang yang telah mati, mobil Joanna tampak seperti itu dari luar. Kaca mobilnya yang memang dirancang gelap tampak luar, tetapi dari dalam tetap bisa memantau keadaan di luar. Hal tersebut sangat membantu di saat keadaan genting seperti ini.
"Mobil ini sangat canggih, apa kau yang memodifikasinya?" tanya Rigel setengah berbisik karena takut suaranya keluar, padahal ia tahu jika mobil dalam mode kedap suara.
"Tidak, mana bisa aku memodifikasinya. Aku saja tidak tahu tentang mesin dan sebagainya." jawab Joanna.
"Lalu?" Rigel menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Joanna yang sedang memejamkan matanya. Perempuan itu terlihat begitu lelah, keringat dingin bercucuran di sepanjang dahi. Pasti sangat melelahkan sekali setelah menumpas habis musuh tadi.
Mendengar pertanyaan penasaran Rigel, Joanna refleks membuka mata dan wajah keingintahuan lelaki itu menyambut pandangan matanya. "Aku memperolehnya sudah dalam bentuk seperti ini."
"Memperolehnya?" Rigel mengerutkan alis, bingung tapi juga makin penasaran. "Dari mana kau mendapatkannya? Aku sangat penasaran, tidak mungkin juga kan kalau kau mendapatkan mobil canggih ini di tempat rongsokan ataupun di baseman kaya gini. Karena nggak mungkin ada orang yang akan menelantarkan mobil secanggih ini begitu saja," ungkap Rigel, mengutarakan isi pikirannya yang begitu penasaran dengan asal usul mobil Joanna.
Joanna tersenyum geli dan hal tersebut membuat Rigel semakin mengerutkan alisnya.
"Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu dari pertanyaanku?" Rigel bertanya, sedikit tersinggung dengan cara Joanna merespon pertanyaannya.
Joanna terkekeh sebentar, lalu memasang wajah serius walau mimik mukanya tetap tak bisa serius karena menahan tawa. Wajah Rigel saat ini begitu lucu baginya, apalagi dengan pertanyaannya yang polos. Menurut Joanna, Rigel seperti anak kecil yang sedang penasaran.
"Apa kau lupa kita di mana sekarang?" Joanna menyahut, bertanya balik pada Rigel.
"Dunia game?" Rigel menaikkan sebelah alisnya. "Tapi apa hubungannya itu dengan pertanyaanku barusan?"
Joanna tersenyum tipis. "Kenapa kau masih belum paham juga?" Lalu mendesah panjang, tapi kemudian ia menjelaskan maksud dari jawabannya itu pada Rigel yang tampak masih kebingungan. "Mungkin di dunia nyata memang hal seperti ini mustahil terjadi. Tidak akan ada orang yang melewatkan mobil ini begitu saja. Tapi ini kan dunia game, semua hal bisa terjadi. Dan mobil-mobil seperti ini bisa kau temui di mana saja, karena memang tidak ada pemiliknya. Walaupun bukan mobil secanggih ini, mungkin mobil-mobil biasa seperti yang ada di depanmu. Mereka tak berpemilik."
Mendengar perkataan Joanna, spontan Rigel menoleh ke depan. Pandangannya terfokus pada deretan mobil yang sangat mirip dengan mobil Joanna. Walau terlihat sangat usang, berdebu dan tampak tua termakan waktu. Dan seperti yang Joanna bilang, mobil-mobil itu tidak berpemilik karena teronggok begitu saja di sini.
"Kecanggihan mobil ini setara dengan mobil-mobil milik agen biro kontrol." Suara Joanna kembali menarik atensi Rigel, menolehkan kepala sepenuhnya menghadap perempuan itu dan kembali mendengarkan apa pun yang keluar dari bibir mungilnya. "Dan aku sangat beruntung bisa mendapatkannya, karena butuh beberapa misi ekstrim yang harus diselesaikan agar bisa mendapatkan mobil ini. Walau dulu saat memperolehnya, aku mendapatkannya secara cuma-cuma dari seseorang."
"Seseorang? Siapa?" Rigel sangat penasaran, siapa orang yang sebaik itu memberikan mobil secanggih ini dengan cuma-cuma. Rasanya mustahil ada orang semacam itu. Walau kembali lagi, ini dunia game, semua hal yang mustahil pun bisa terjadi di sini.
"Patner," ucap Joanna, ekspresinya berubah murung. Matanya pun mulai berair, tapi buru-buru Joanna menyekanya. "Beristirahatlah. Karena setelah ini jika keadaannya kondusif, kita harus bergerak lagi. Masih ada satu hal lagi yang harus kita selesaikan di sini."
Rigel mendengkus pelan. Paham hal apa yang harus diselesaikan itu. Tapi rasanya ia enggan melakukannya, bahkan jika ada pilihan lain ia akan mengambil pilihan lain dari pada harus kembali mengorbankan nyawanya dalam bahaya lagi.
"Jo. Apakah kita harus ke sana?" Ke gudang s*****a yang Rigel maksud, tempat selanjutnya yang akan mereka satroni. "Apa kita harus mengambil s*****a dari sana? Bukankah kau masih punya persediaan s*****a? Jadi sebaiknya kita tidak perlu ke sana lagi. Terlalu bahaya, mereka pasti sudah mengindentifikasi wajah kita berdua dan memperketat penjagaan. Aku tak ingin mati konyol di sini, Jo. Tadi saja hampir aku mati, jika kau tak datang menyelamatkan aku," keluh Rigel, memohon kebijakan Joanna agar memikirkan kembali rencananya.
Namun, sepertinya Joanna tak menghiraukan kerisauan Rigel akan marabahaya yang mengancam keselamatan mereka jika tetap memaksa ke sana.
"Misi kita jauh lebih berbahaya dari ini, Rigel. Persediaan s*****a kita pun sudah menipis sekali dan tidak mungkin kita bertahan dengan mengandalkan s*****a yang tersisa, sedangkan musuh yang akan kita hadapi lebih buas dari para perampok tadi." Joanna mengembuskan napas kasar, memandang serius Rigel yang tampak murung mendengar jawabannya. "Kalau kau takut, kau bisa berjaga di sini. Biar aku saja nanti yang ke sana."
"Tidak, aku akan ikut bersamamu," kata Rigel, sembari memutar tubuhnya menghadap ke depan. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, memejamkan mata sejenak sembari menguatkan diri untuk misi selanjutnya. Berusaha menekankan pada dirinya sendiri agar tak perlu khawatir, apa pun yang terjadi ia harus bertahan sampai akhir.
Sejenak suasana di dalam mobil diliputi keheningan yang begitu sunyi. Tak ada suara-suara yang terdengar, hanya ada embusan napas Rigel dan Joanna yang terdengar mengisi kekosongan dalam mobil tersebut. Hingga tak berselang lama, suara Joanna memecahkan keheningan itu.
"Rigel," panggilnya.
"Ya? Rigel yang sempat terdiam melamun pun sontak menatap Joanna lewat kaca spion di atasnya. Memperhatikan wajah Joanna yang meringis seperti menahan sakit. Tentu saja itu membuat Rigel bertanya-tanya dan khawatir terjadi sesuatu pada rekannya itu. "Ada apa, Jo?" Rigel bertanya, sembari memutar tubuhnya menghadap Joanna untuk melihat keadaan perempuan itu.
"Boleh minta tolong, ambilkan kotak obat di dalam tas ranselku," pinta Joanna, meringis sambil memegangi pergelangan tangan kirinya. Ia baru menyadari kalau tangannya terluka, sepertinya tadi ia terkena goresan pisau salah satu perampok.
Rigel yang juga melihat pergelangan tangan Joanna terluka pun bergegas mengambil tas ransel perempuan itu. Ia mengeluarkan kotak obat dari dalamnya, tapi tidak memberikannya pada Joanna. Rigel membuka kotak obat itu, hendak mengobati Joanna.
"Aku bisa sendiri," kata Joanna saat melihat Rigel sibuk membasahi kapas untuk membersihkan luka di pergelangan tangannya, di mana darah pun sudah mulai mengering.
"Biar aku saja, anggap ini sebagai ganti karena sebelumnya kau sudah mengobati lenganku. Jadi kita impas," ucap Rigel, tak mau dibantah.
Joanna tersenyum simpul, tak ingin mendebat ucapan Rigel dan membiarkan lelaki itu mengobati luka di pergelangan tangannya. Joanna hanya memperhatikan dengan seksama bagaimana Rigel dengan hati-hati membersihkan lukanya.
"Apa ini sakit?" tanya Rigel, menatap ngeri pada goresan panjang yang lumayan dalam di pergelangan tangan Joanna. Ia sampai sangat hati-hati sekali saat menempelkan kapasnya, takut jika terlalu menekan luka itu akan membuat Joanna kesakitan.
"Tidak begitu, hanya perih. Aku sudah sering mengalami hal ini, jadi aku terbiasa dengan rasa sakit dan luka ini tidak ada apa-apanya," jawab Joanna.
Rigel mendongak sedikit untuk menatap Joanna sebentar, memandang ekspresi wajahnya yang setengah meringis saat ia mengoleskan obat merah ke atas lukanya. "Lain kali jangan biarkan dirimu terluka."
Joanna tertegun mendengar kalimat yang terucap dari mulut Rigel, sebelum akhirnya lelaki itu kembali fokus mengobati lukanya. Untuk pertama kali setelah sekian lama, Joanna merasakan hatinya tersentuh. Mungkin karena ini juga pertama kalinya ia diobati oleh orang lain, biasanya mau separah apa pun luka yang dialami, maka Joanna akan mengobatinya sendiri. Karena memang selama ini ia hanya sendirian di tempat ini, tapi sekarang ia memiliki rekan yang menemaninya yaitu Rigel.
"Ayo kita selesaikan misi ini secepatnya dan keluar sama-sama." Suara Rigel menarik kesadaran Joanna yang tengah melamun. Matanya beradu dengan mata Rigel yang tengah menatap lekat dirinya. "Aku berjanji, aku juga akan membantumu keluar dari sini. Jadi kita bisa keluar sama-sama." Rigel tersenyum lembut dan hal itu membuat Joanna tak mampu bereaksi. Bahkan ia tak bisa mengontrol getaran dalam dadanya sendiri.
Apa ini?
Perasaan macam apa ini?