Joanna dan Rigel semakin terdesak ketika melihat mobil-mobil perampok melaju ke arah mobilnya yang berhenti. Tak hanya mobil, beberapa motor trail juga tampak memimpin di depan mereka. Sementara dari arah belakang mobilnya, beberapa mobil milik agen biro kontrol juga terlihat mendekat, disusul drone-drone yang terbang rendah ke arah mobilnya.
Situasi yang sangat genting, membuat Joanna maupun Rigel tak dapat berpikir jernih. Bayangan kematian semakin tampak di depan mata mereka berdua. Ketakutan dan rasa putus asa yang menyergap, membuat keduanya semakin pasrah menunggu ajal tiba.
Namun, Rigel tidak mau mati konyol di dunia aneh ini. Jika dirinya harus mati, setidaknya ia akan mati di dunia yang semestinya, bukan di dunia game. Jika melawan beresiko mati, tapi kalau tidak melawan pun tetap akan mati. Hal tersebut menjadi acuan Rigel untuk berpikir, memaksa otaknya bekerja untuk menyusun rencana di detik-detik terakhir. Sementara matanya bergerak liar, mengawasi pergerakan mobil-mobil musuh yang nyaris mendekati mobil mereka. Suara-suara tembakan saling bersahutan, memborbardir mobil Joanna yang untungnya tahan akan peluru. Tapi tetap saja mobil itu tak akan bertahan lama jika mendapat serangkaian tembakan bertubi-tubi.
Mata Rigel tak sengaja melihat celah dari dinding di sebelah kiri, di mana celah dinding itu membentuk sebuah lubang dengan garis retak yang begitu panjang ke atas. Merasa menemukan celah untuk menyelamatkan diri, sontak Rigel bertanya pada Joanna.
"Apa mobil ini cukup tangguh untuk menerobos dinding?" tanya Rigel, antusias tampak jelas dari binar mata dan ekspresi wajahnya yang bersemangat.
Ya, karena Rigel menemukan cara untuk menyelamatkan nyawa mereka dari desakan musuh yang berniat menghabisi. Melihat celah dinding yang tampaknya sudah rapuh di makan usia, membuat Rigel mendapatkan ide gila untuk pelarian mereka. Rigel memang berencana menabrakkan mobil Joanna ke dinding di sisi kirinya itu, satu-satunya jalan keluar untuk saat ini. Itu sebabnya ia bertanya pada Joanna mengenai ketahanan mobilnya. Kalau mobilnya saja tahan dengan serangan peluru, harusnya juga cukup tahan dengan benturan keras. Seperti itulah pemikiran Rigel yang ia anggap sebagai ide cemerlang di saat nyawa sudah di ujung tanduk.
"Bodi mobil ini terbuat dari baja murni, tentu saja kuat. Tapi, memangnya kau berniat untuk apa?" tanya Joanna heran, memandang penasaran pada Rigel yang tersenyum penuh arti padanya.
Rigel tak langsung menjawab, memalingkan wajahnya ke depan untuk melihat jarak mobil-mobil perampok, lalu beralih menatap ke belakang untuk melakukan hal serupa pada mobil-mobil agen biro kontrol. Ia seolah tengah berpikir, mengukur jarak antara kedua kubu musuh tersebut.
"Jo," panggil Rigel.
"Ya?" Joanna menyahut, makin penasaran apa yang akan dilakukan Rigel. Ia yang tak punya ide apa pun hanya menunggu pasrah apa yang selanjutnya akan terjadi pada mereka. Entah kenapa otaknya tiba-tiba buntu, padahal sebelumnya ia sudah merencanakan pelariannya dengan sangat matang. Ini semua gara-gara kehadiran agen biro kontrol di luar perkiraan Joanna. Karena memang seharusnya agen biro kontrol tidak memasuki kawasan ini yang telah dikuasai oleh para perampok. Kedua kubu itu memang selalu bersitegang.
"Jo, dihitungan ketiga, banting stir ke kiri dan tabrak dinding itu," perintah Rigel yang masih memperhatikan kedua kubu yang semakin mendekat ke arahnya.
"Apa?" Joanna terkejut, tak mengerti maksud Rigel. "Apa maksudmu———"
"Jangan banyak tanya, lakukan saja seperti yang aku ucapkan," sergah Rigel, memotong ucapan Joanna yang hendak mempertanyakan maksud perkataannya. "Tak ada waktu lagi Jo, kau harus bersiap-siap. Satu." Rigel mulai menghitung.
Joanna yang masih belum paham pun terpaksa mengikuti perintah Rigel ketika melihat kedua kubu musuh yang hampi mencapai ke arahnya. Serangan peluru pun terus memborbardir mobilnya. Lantas, dengan cekatan Joanna menarik persneling, memundurkan mobil dan mengambil ancang-ancang untuk menjebol dinding di sebelah kiri. Walau sebenarnya ia sangat ragu ide ini akan berhasil, tapi berhubung mereka sedang terdesak dan tak ada ide lain yang terpikirkan, maka Joanna berusaha percaya pada ide Rigel tersebut.
"Dua." Rigel berpegangan erat pada sandaran kursi, matanya terus menatap ke arah dua kubu musuh untuk memperkirakan jarak yang tersisa. "Tiga!" Ia berseru ketika kedua kubu musuh hampir mencapai mobilnya. "Sekarang Jo!!!"
Joanna yang sudah bersiap pun langsung menginjak pedal gas dan mobilnya melaju menabrak dinding di sisi kiri. Beruntung dinding itu rapuh, sesuai dugaan Rigel ketika melihat celah dinding dan garis retak di sepanjang dinding tersebut. Karena sekali tabrak saja dinding itu langsung hancur dan mobil Jeep wrangler milik Joanna segera melaju menembus ke dalam ruang gelap.
Rigel menghela napas lega, meski matanya terus menatap awas ke belakang, memantau pergerakan musuh yang ternyata tetap mengejar. Rigel berdecak, mendengkus kesal karena musuh yang begitu gigih mengejar.
"Kita sekarang ke mana?" tanya Joanna yang terus melajukan mobilnya tanpa tentu arah di baseman gelap gedung tersebut.
Rigel menoleh pada Joanna. "Kau tanya padaku?"
Joanna mengangguk dengan polosnya, setengah panik ketika melihat motor-motor para perampok melesat cepat mengejar mobilnya.
"Lalu aku tanya siapa?" sahut Rigel, gemas. Pasalnya di sini ia tidak tahu apa-apa, tapi malah ditanya seperti itu. Ide tadi saja muncul karena sebuah keajaiban di tengah nyawanya yang di ujung tanduk. Rigel mendekus untuk kesekian kali. "Kau yang lebih tahu tempat ini jo, sedangkan aku sama sekali tidak tahu apa-apa."
"Tapi aku tak bisa berpikir, semuanya buntu," keluh Joanna. "s****n, padahal sedikit lagi kita berhasil kabur kalau tidak ada agen biro kontrol s****n!" Joanna memukul stir kemudi, mengumpat kesal.
Rigel kembali melihat ke belakang, untuk memastikan seberapa dekat jarak musuh terhadap mobilnya. s**l, para pengendara motor trail ternyata cukup cepat juga. "Jo, apa kau masih punya granat?" tanya Rigel.
"Granat?" Joanna menoleh sekilas, sebelum fokus lagi ke depan memperhatikan jalanan yang gelap dah hanya mengandalkan cahaya dari lampu mobilnya. "Coba kau lihat di dalam tas ranselku yang itu." Joanna menunjuk tas ransel di belakang kursi Rigel dengan sorot matanya.
Rigel segera memutar tubuhnya ke belakang, mengambil tas ransel yang dimaksud Joanna dan mengecek isinya. Ia mengeluarkan semua persenjataan yang dibawa Joanna dari rumah, sampai tas itu benar-benar kosong. Namun, granat yang ia butuhkan tidak ada di dalamnya.
"Jo, di mana kau menyimpannya? Di sini tidak ada," kata Rigel setelah memastikan tidak ada granat di dalam tas ransel Joanna. Ia kembali memasukkan persenjataan yang sempat dikeluarkan ke dalam tas ransel Joanna lagi.
"Kalau tidak ada di situ, berarti ya tidak ada, habis," jawab Joanna.
"Apa?" Rigel menatap frustrasi ke belakang, di mana para pengendara motor trail kini berjarak begitu dekat. Mereka bahkan tak segan menembaki mobil Joanna, bahkan salah satu dari mereka juga ada yang menghantamkan tongkat baseball yang terbuat dari besi baja ke kaca mobilnya. Beruntung kaca mobil itu begitu kokoh, sama sekali tak retak apalagi pecah.
"s**t!" Joanna membanting stir, memutar-mutarkan mobilnya karena salah satu pengendara motor trail tadi berniat menusuk ban mobilnya. Walau ban mobilnya cukup kuat dan sulit ditembus, tetapi tindakan orang itu menyulut kekesalan Joanna yang tak tahan lagi untuk tidak menyerang.
"Rigel, kau ambil alih kemudinya, aku akan menyerang mereka," seru Joanna, tanpa menunggu reaksi Rigel segera melepaskan stir mobil dan berpindah ke belakang. Membiarkan mobilnya bergerak otomatis sementara waktu. "Tombol otomatis hanya berfungsi untuk lima menit, jadi segera ambil alih dan jalankan mobilnya. Biar aku yang mengatasi mereka." Ucapan Joanna menyadarkan Rigel dari keterkejutan.
Melihat Joanna sudah mulai menyerang para perampok itu, Rigel pun bergegas pindah ke kursi kemudi. Memegang gemetar pada stir kemudi, tapi ia berusaha tenang dan menguatkan tekadnya.
"Kamu pasti bisa Rigel!" serunya saat mulai menarik persneling dan bersiap menginjak pedal gas.
Halo, terima kasih telah mengikuti cerita ini. Mohon maaf jika cerita ini banyak kekurangan, aku akan tetap belajar untuk mengembangkan cerita ini jauh lebih baik lagi.