Part 8

1107 Kata
Innara menatap ke luar jendela, taksi yang sedang menuju ke rumahnya tengha berhenti di perempatan lampu merah. Tak banyak yang bisa dilihat. Dari pada pemandangan, wanita itu terus kepikiran dengan masalah – masalah yang belakangan ini mencuat. Aku udah yakin untuk mengalah, tapi kenapa rasanya berat banget? Apa aku benar – benar yakin mau menyerahkan Mas Rayka? Tapi aku juga mencintainya. Wanita itu kemudian menggeleng keras. Enggak! Pokoknya nggak boleh. Aku nggak boleh menginginkan Mas Rayka. Azanie lebih membutuhkan Mas Rayka dari pada aku. Anak itu membutuhkan sosok ayah nantinya. Nggak mungkin aku dengan tega merebut Mas Rayka dari bayi yang bahkan belum lahir. Tapi gimana caraku ngomong ke Mama? Dia pasti kaget, kan? Apa aku perlu ngomong juga ke Mamanya Mas Rayka? Atau aku biarkan masalah ini diselesaikan oleh Rayka dan Azanie aja? Pikiran Innara penuh. Dia sama sekali tidak bisa menemukan jalan keluar apapun untuk membantunya. Tidak dengan memaksa Rayka, tidak juga membiarkan kedua sahabatnya dalam kesulitan. Begitu sampai di rumah, Rosita menyambutnya. Wanita itu tengah menyiram bunga di halaman. Dan Innara langsung masuk untuk memeluk ibunya. “Ma, Nara pulang.” Lirihnya pelan. “Lho? Udah selesai ketemuan sama Azanie? Kok cepet banget? Habis ini mama beneran pingit kamu, lho, Nak. Tinggal berapa hari lagi ini anak gadis Mama jadi pengantin?” Rosita bersenda gurau, dia mengusap lembut punggung Innara sambil tersenyum. “Innara capek Ma, masuk kamar dulu ya...” Rosita memandang punggung Innara yang perlahan di telan pintu kamar. Dia beranjak dari tempatnya dan mulai mengetuk kamar anaknya. “Nara... Nak ... kamu nggak apa – apa? Ada masalah?” Rosita mengetuk pelan pintu kamar Innara. “Sini cerita sama Mama.” Innara menelungkupkan tubuhnya ke kasur. Dia sebenarnya jelas mendengar suara sang Mama. Namun, Innara tidak ingin menjawab. Dia tahu bahwa masalah tentang Rayka dan Azanie harus di selesaikan sekarang juga. Tidak ada waktu lagi untuk mengurus masalah ini. Namun, di sisi lain Innara juga membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Dia juga seorang wanita yang patah hati. Dia wanita yang dikecewakan, dan hatinya hancur berkeping – keping karena pengkhianatan. Innara lebih terluka dari pada siapapun, tapi dia harus menjaga hubungan tetap baik dengan Rayka maupun Azanie. Selain pacar, Rayka juga masih teman lama Innara, sama seperti Azanie. “Apa yang sebenernya harus aku lakukan ya Tuhan? Apa ini memang jalan yang paling tepat untuk kami?” Innara bergelung di tempat tidur. “Kalau bisa memilih, aku benar – benar nggak mau meninggalkan Mas Rayka. Tapi, gimana bisa aku melakukan itu saat Azanie jelas – jelas hamil anak Mas Rayka?” *** Sementara itu, Azanie pulang ke rumah. Dia sudah membuat pertaruhan dengan Rayka. Rumah mewah bergaya eropa dengan pilar – pilar tinggi dan pelitur mewah itu memiliki sensor otomatis, sehingga saat Azanie pulang, pagarnya bisa langsung terbuka tanpa harus menunggu seseorang membukakan pintu. Setelah memarkir mobilnya di garasi dan masuk ke ruang tengah, Azanie melihat seseorang duduk di sofa kulit ruang tengah. “Papa? Tumben Papa udah pulang?” Azanie tersenyum tipis, tapi wajah pria paruh baya itu tampak tidak senang. “Papa lagi ada masalah? Kok diam aja? Apa...” PLAK! “Diam kamu Azanie!” Pria paruh baya itu, Mulyadi, langsung menampar putrinya sambil melemparkan beberapa benda ke atas meja. “Apa – apaan ini?!” Azanie menegang seketika saat melihat alat tes kehamilan dan surat pernyataan dari rumah sakit bekas pemeriksaan kehamilannya tempo hari. Mampus aku! Dari mana Papa tahu?! Padahal Azanie baru berniat memberitahu Papanya setelah Rayka setuju menikah dengannya. Selain itu, Azanie masih harus mengurus Innara yang merepotkan. Ia juga masih harus memastikan kalau Innara akan menyerahkan Rayka padanya. “Pa ... itu ...” Azanie kehilangan kata – kata. Dia sama sekali tidak bisa menerka apa yang akan terjadi jika mengatakan semua tanpa persiapan. Mulyadi menatap anak semata wayangnya. “Siapa?” “Ya?” Azanie tersentak kaget. “Siapa ayah dari calon bayimu, Azanie?” Mulyadi mempertegas nada bicaranya. “Bilang sama Papa, siapa dia?” “Itu ....” “Apapun yang terjadi dia akan menikahi kamu minggu ini juga!” putus pria itu memberikan ultimatum. Azanie mengulum senyum, “Papa tenang aja, aku pastikan akan menikahi orang yang menghamiliku dalam waktu seminggu.” “Kamu harus.” Mulyadi menekankan kata ‘harus’ pada putrinya. “Jangan bikin malu Papa, paham?!” Azanie mengangguk dan cepat – cepat keluar lagi dengan sedan putihnya. Wanita itu menggigit bibir bawahnya gusar. Nggak bisa, pokoknya ini nggak boleh ditunda lebih lama lagi. Kalau terlalu lama aku nggak bisa memenangkan Rayka dan Innara sekaligus! Ditambah Papa juga udah bertindak. Meninggalkan rumah, Azanie pun melajukan mobilnya menuju ke rumah Innara. Sementara Azanie menuju ke rumahnya, Innara akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar dan mengatakan semuanya kepada sang Mama. Wanita itu sudah memikirkan matang – matang soal keputusannya. Ini adalah yang terbaik. Innara sama sekali tidak boleh menunda lagi. Rayka harus bersama Azanie. Rosita yang seolah sudah paham dan memang sedang menunggu putrinya pun langsung mendongak begitu Innara keluar dari kamar. Wanita paruh baya itu bisa melihat jejak air mata di pipi Innara, dan mata sembab putrinya. “Nara, sini Nak. Temenin Mama ngeteh.” Rosita tersenyum tipis. “Ngobrol sama Mama, yuk?” Innara mengangguk. Dia memang sudah berencana untuk mengatakan semua itu kepada sang Mama. Begitu duduk, Rosita menunangkan teh dari teko besar yang ada di tengah meja, kemudian menyodorkan biskuit pada Innara. Dengan tenang Innara menyesap teh sebelum membuka mulut. “Ma, sebenernya ada yang mau Nara omongin ke Mama.” Innara bicara dengan suara lirih dan serak. “Nara ... Nara ....” Rosita menepuk pundak Innara. “Pelan – pelan aja, Nara ...” “Ma, gimana jadinya kalau Nara nggak mau menikah? Apa Mama akan marah sama Nara?” Innara akhirnya mengajukan pertanyaan. Terlalu sulit untuk membuat pernyataan yang langsung menyerang. “Kamu nggak mau nikahnya kenapa? Nggak yakin lagi sama Nak Rayka?” Rosita bertanya dengan sabar. “Sudah nggak mencintai Mas Rayka lagi?” Innara menggeleng. “Terus kenapa, Nara? Yang namanya mau menikah itu memang kadang – kadang diselipin perasaan ragu dulu. Apa kamu dari kemarin uring – uringan karena masalah ini?” Rosita bertanya lagi. Innara mengangguk mantap. “Coba cerita dulu, mana tau Mama bisa bantu Nara kasih masukan.” Rosita menghela napas. “Kalau soal batalin pernikahan, ya batalin aja. Memang kita akan malu dan rugi karena sudah keluar banyak uang, tapi buat Mama kebahagiaan kamu paling penting.” Innara memeluk Rosita. “Ma, sebenernya Mas Rayka menghamili perempuan lain.” Rosita terbelalak, tapi dia tidak mengatakan apa – apa. “Dan perempuan lain itu adalah Azanie.” Lanjut Innara dengan berlinang air mata. “Apa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN