Innara pergi tanpa mengatakan apa – apa. Rayka dengan cepat keluar dari ruangan itu sambil berusaha menahan Innara. Menghentikan wanita itu agar tidak pergi darinya. Azanie tercenung sendirian di dalam ruangan. Dia menatap kursi yang di duduki oleh Innara dan Rayka kini kosong. Seorang pelayan datang dan menagih bill.
"Pake ini ya, Mbak." Azanie tersenyum ramah sambil menyodorkan kartunya.
Dari jendela Azanie bisa melihat bahwa Rayka tampaknya berhasil menghentikan Innara, kemudian menahannya.
Rayka, kamu boleh ninggalin aku demi dia sekarang, tapi untuk lain kali nggak ada kesempatan yang sama lagi. Ini adalah batas toleransi terakhirku untuk kamu.
Tatapan tajam Azanie masih terpaku pada keduanya.
Sementara itu di halaman parkir, Innara yang berusaha melangkahkan kakinya dengan cepat untuk meninggalkan restoran itu ditahan oleh Rayka. Innara berulang kali mencoba menghempaskan tangan Rayka, tapi pria itu tak kunjung menyerah.
"Innara! Tunggu Innara!" Rayka meraih tangan Innara lagi. "Innara, please ...."
"Mas Rayka, nggak ada lagi yang mau aku omongin sama Mas. Mending sekarang Mas Rayka balik dan temenin Azanie." Innara mencoba menghempaskan lagi tangan Rayka, akan tetapi kali ini cengkeraman tangannya lebih kuat dari pada sebelumnya.
Innara tidak bisa melepaskan cengkeraman tangan Rayka. Ia terhenti dan mereka saling bertatapan sekarang. Pria itu menatap lurus dan tajam.
"Nara, apa maksud ucapan kamu tadi? Aku sama sekali nggak bisa menerima pembatalan pernikahan kita. Aku cuma mau menikah sama kamu!" Rayka menahan rasa kesalnya. "Azanie nggak bisa jadi alasan, Nara."
"Dia hamil anak kamu, Mas. Kenapa kamu sama sekali nggak bisa menerima kenyataan itu? Bukan aku yang seharusnya kamu kahwatirkan, Tapi Azanie." Innara menghela napas panjang. "Apa belum cukup rasa sakit yang kamu berikan, sampai kamu mau menyakiti wanita yang mengandung anakmu juga?"
Rayka mengepalkan tangannya.
"Aku pulang dulu, Mas. Semoga kamu bahagia." Innara sekali lagi menghempas tangan Rayka dan pergi dari sana.
Rayka menatap kepergian Innara dan tidak mengejarnya. Saat ia menoleh ke arah restoran, pria itua bertemu pandang dengan Azanie. Rayka langsung kembali ke dalam restoran untuk menemui Azanie. Melihat Rayka yang sedang menuju ke arahnya, Azanie tersenyum miring. Dia sudah tahu kalau Rayka pasti akan menemuinya cepat atau lambat. Dia juga harus bicara dengan Rayka agar semuanya berjalan lancar.
"Azanie." Suara Rayka terdengar dingin dan tegas.
Azanie menoleh, kemudian tersenyum tipis. "Akhirnya kamu ke sini juga. Sialan duduk, aku udah bayar bill yang tadi. Itu dessert gratis."
Rayka duduk dan menatap tajam ke arahnya, tapi Azanie sama sekali tidak mengalihkan pandangan. Dia menatap mata Rayka dengan penuh cinta dan kasih sayang. Berbanding terbalik dengan tatapan penuh kebencian yang dilontarkan Rayka padanya.
"Jangan tatap aku kayak gitu, Ray." Azanie tersenyum tipis. "Nara udah nyerahin kamu ke aku. Kita akan menikah minggu depan. Aku harus ngasih tahu orang tuaku dan..."
"Aku nggak pernah mengharapkan pernikahan sama kamu, Azanie." Rayka mendelik. "Sekarang tolong kamu susul Innara ke rumahnya dan bilang kalau dia nggak perlu membatalkan pertunagan. Bilang juga kalau itu bukan anakku."
"Rayka, kamu ....?!" Azanie terlihat kaget.
Jujur saja, Azanie tahu kalau Rayka memang tidak mencintainya sama sekali. Namun, apa perlu sampai seperti ini? Innara sudah menyerah dengan sendirinya dan memberikan Rayka pada Azanie. Tapi kenapa? Kenapa Rayka malah memintanya untuk menemui Innara dan membuat pengakuan yang sebaliknya?
Apa kamu seengan itu menikah sama aku, Ray? Sampai – sampai kamu nyuruh aku merendahkan harga diriku untuk bilang ke Innara kalau anak ini bukan anakmu, dan aku harus membujuk cewek itu untuk melanjutkan pernikahannya dengan kamu?
Enggak!
Aku nggak mau!
Aku nggak bisa menerima itu, Rayka. Aku melakukan semuanya sampai sejauh ini hanyna untuk menjadikan kamu milikku. Jadi, sampai akhir kamu itu milikku!
Azanie mengepalkan tangannya kuat di bawah meja. "Kamu tahu kalau aku nggak akan melakukan itu."
Akhirnya hanya itu respon yang bisa diberikan Azanie atas permintaan Rayka yang menurutnya sangat konyol itu. Siapa juga yang bisa menyerahkan lelaki yang sudah menghamilinya pada orang lain? Azanie sejak awal tidak sebaik itu. Dia sudah berniat untuk memiliki Rayka.
"Aku nggak bisa kembali ke Innara dan bilang kalau aku menolak pernikahan itu." Azanie menatap Rayka lurus. "Aku hamil dan butuh suami. Aku nggak mau menggugurkan kandunganku. Jadi kenapa aku harus mengalah sama Innara? Bahkan Nara juga tahu kalau aku lebih membutuhkan kamu lebih dari pada dirinya sendiri. Makanya dia membuat keputusan ini."
Rayka tertawa, dia memicing menatap Azanie. "Apa perlu aku kasih tahu sekalian ke Innara, kalau sebenarnya kamu yang menggagalkan dia di ujian masuk beasiswa ke Jerman waktu kuliah dulu?"
"Aku ngelakuin itu karena kamu yang minta, Rayka!" Azanie menggebrak meja. "Aku nggak akan melakukan itu kalau kamu nggak merengek seperti orang yang paling menyedihkan cuma karena nggak mau Innara kuliah di Jerman, padahal itu impian dia. Aku juga bisa bilang ke Nara kalau semua itu atas permintaan kamu!"
"Mana buktinya?" Rayka tersenyum penuh kemenangan. "Aku minta tolong secara lisan. Tapi kamu menyuap panitia untuk menukar lembar jawaban Innara. Aku punya buktinya. Aku bisa mencari panitia itu untuk membuktikannya ke Innara. Bayangin aja gimana Innara akan memandang kamu setelah ini."
Azanie mendengkus, kemudian tertawa. "Rayka, sejujurnya aku nggak peduli mau seperti apapun Innara memandangku. Aku nggak pernah merasa kalau dia itu temanku."
"Za, kamu ...."
"Oke, karena kamu pengin banget aku memohon ke Innara. Aku akan kabulkan permintaanmu itu. Tapi dengan satu syarat." Azanie akhirnya mengalah, dia tahu kalau dirinya tidak akan pernah bisa menolak Rayka. Cintanya terlalu besar untuk lelaki itu. "Kalau kamu bisa memenuhi syarat itu, maka nanti malam aku akan pergi ke rumah Innara dan memohon sama dia untuk tetap menikahi kamu."
"Apa itu?"
"Kamu harus mengakui anak dalm kandunganku, dan kalau aku berhasil meyakinkan Innara, kamu harus tetap dalam open realtionship sama aku." Azanie menyebutkan syaratnya. "Dan kalau aku gagal meyakinkan Innara, maka kamu harus menikahi aku. Gimana? Aku udah baik banget ngasih pilihan ini ke kamu, lho, Ray."
Rayka mengepalkan tangannya erat. Apapun hasilnya, itu hanya akan menguntungkan Azanie saja. Kalau seandainya Innara mau menikah dengannya, maka hubungan mereka akan tetap seperti ini selamanya, dan itu memungkinkan untuk memicu permasalahan lebih besar. Tapi kalau Innara tetap pada pendiriannya, Rayka harus menikahi Azanie.
Licik kamu, Za! Apapun yang terjadi, pada akhirnya kamu sama sekali nggak bisa melepaskan aku, kan?
Rayka mengepalkan tangannya erat. "Kalau begitu aku juga mau mengajukan syarat."
"Apa?"
"Kamu nggak bisa memaksaku memberikan cinta untukmu selamanya."