Bab 3. Untuk Pulang

1524 Kata
Davin menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan, berharap istrinya segera membukakan pintunya, tapi tak kunjung ada tanda-tanda akan keluarnya Anika. Tapi kemudian Davin mendengar suara pintu dibuka kuncinya dan pintu terbuka, menampakan istrinya dengan wajah yang lumayan cerah dari biasanya. Anika berniat menutup pintunya, tapi Davin mengganjalnya dengan satu kaki sampai Anika tidak bisa menutup pintunya. "Pergi ...," lirih Anika. "Aku ingin bicara padamu, biarkan aku masuk dulu," ucap Davin penuh permohonan. Anika menunduk menyembunyikan wajah sedihnya, dia masih teringat bagaimana suaminya berlaku kasar padanya beberapa hari lalu. "Tidak, pergi saja, aku tidak ingin bicara padamu," balas Anika berusaha menutup pintunya. Tenaga ibu hamil tidaklah cukup kuat untuk menahan pintu yang didorong Davin sampai pria itu bisa masuk dengan mudahnya. "Pergi! Aku sudah bilang tidak mau bicara padamu!" teriak Anika. Tatapan matanya kembali nanar setelah beberapa hari lebih tenang, Davin makin menyadari kesalahannya dan menyesal telah menorehkan luka di hati juga fisik Anika. "Anika, tolong pulanglah ke rumah," pinta Davin. Davin mencoba meraih kedua bahu istrinya, tapi sayangnya Anika mundur selangkah menghindari kedua tangan Davin yang mencoba merengkuhnya. "Aku tidak mau, kamu saja yang pulang." Tatapan mata yang tadinya nanar berubah jadi nyalang menatap ke arah Davin. Baru kali ini Anika berani menatapnya begitu, biasanya Anika selalu saja berlaku lembut dengan tatapan teduh. "Sayang ... ayo pulang, di mana ayahmu? Aku ingin menemui dan minta izin pada beliau untuk menjemputmu pulang," ujar Davin. Anika menggeleng pelan. "Dia tidak ada di rumah, sebaiknya kamu pulang saja!" usir Anika. Tapi Davin tidak mendengarkan Anika, dia malah terus berjalan memasuki rumah Reino, lalu Davin duduk di sofa ruang tamu dengan tidak tahu dirinya. "Pergi ...," lirih Anika dengan sisa kesedihannya. "Anika, aku masih suamimu, aku tidak akan pergi sebelum kamu ikut pulang bersamaku," ucap Davin tersenyum sendu ke arah istrinya. Davin ingin sekali meraih pipi istrinya untuk dia elus seperti yang dia lakukan setiap harinya, bermanja dengan Anika setelah pulang kerja, tapi beberapa bulan ini Davin tidak merasakan itu. "Cepat pergi dari sini, aku tidak ingin kamu bertemu dengan ayahku!" perintah Anika. Davin menggeleng pelan sambil menatap sedih ke arah istrinya, dia benar-benar sangat bersalah sekarang melihat istrinya yang terus saja menolak dirinya. "Aku tidak akan pergi, aku ingin kamu pulang bersamaku, biarkan aku bertemu ayahmu untuk menjelaskan semuanya," ujar Davin dengan nada suara lebih pelan. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, ayahku sudah tahu kalau kamu bermain fisik padaku, jadi lebih baik sekarang kamu pulang karena aku sedang tidak ingin berdebat denganmu." "Aku tidak ingin mengajak berdebat, aku hanya ingin mengajakmu pulang. Aku merindukanmu, aku mohon pulanglah, aku berjanji akan bersikap lebih baik lagi nantinya," bujuk Davin. Seperti biasa Davin selalu merendahkan nada bicaranya ketika Anika mulai merasa marah padanya setiap kali berdebat. Itu membuat Anika menjadi terus luluh dalam setiap kalimat yang Davin lontarkan. Anika diam membisu tidak menjawab perkataan suaminya, jika dia terus berusaha membalas perkataan Davin maka dialah yang akan menjadi orang yang paling disalahkan. "Sayang ... di mana ayahmu? Aku ingin meminta izin membawamu kembali." Sekali lagi Davin membujuk istrinya. "Dia sedang ada urusan dengan Bara," jawab Anika. Anika sengaja menyeret nama Bara ke dalam masalahnya agar suaminya tahu betapa sakitnya ketika ada orang lain di dalam hubungan pernikahan mereka. "Untuk apa dia menemui Bara? Tidak pantas kalau dia menemui seorang pria yang mencintai putrinya ketika putrinya masih mempunyai suami," ucap Davin dengan nada khawatir. Dia takut kalau nanti Reino akan mendukung Bara menjalin hubungan dengan Anika ketika dia masih berstatus sebagai suami Anika. Tapi respon dari Anika membuat Davin kebingungan, wanita itu justru terkekeh melihat kecemasan yang Davin tampilkan. "Lebih tidak pantas mana seorang ibu yang tahu anaknya sudah memiliki istri justru malah menyuruh anaknya untuk menikahi kakak iparnya dengan alasan seorang janda yang butuh perlindungan?" sindir Anika. Rasa sakit menghantam Davin ketika istrinya menyindir tentang izinnya yang waktu itu dia katakan dengan alasan kondisi ibunya yang sedang tidak baik. Davin jelas tahu lebih tidak pantas ibunya yang menyuruhnya untuk menikahi Yunita dibanding dengan Reino yang hanya bertemu dengan Bara tanpa dia ketahui urusannya. "Anika, aku minta maaf untuk itu." Davin meraih tangan istrinya dan mengelus punggung tangan Anika dengan begitu lembut, dia tidak ingin usahanya menjemput Anika ke sini sia-sia karena tidak bisa meredam emosinya. "Aku juga minta maaf untuk tamparan yang waktu itu aku lakukan. Aku benar-benar khilaf dan tanganku bergerak begitu saja, waktu itu emosiku tiba-tiba naik karena kau menyenggol soal kematian di saat ibu sedang dalam kondisi yang buruk," jelas Davin. "Apa aku terlihat membutuhkan alasanmu?" tanya Anika dengan tatapan datar. "Maaf, aku sama sekali tidak membela diri, aku hanya mengatakan alasannya, kamu tidak perlu menerimanya alasannya jika tidak mau, yang jelas permintaan maafku tulus dan aku benar-benar ingin." Davin memandangi istrinya dengan penuh permohonan atas ajakan pulangnya, tapi di lain sisi hatinya juga berdenyut sakit karena membayangkan betapa sakitnya hati Anika jika saja pulang nanti. Anika diam lagi, sampai suara bukaan pintu terdengar mengalihkan fokus mereka berdua. Mereka bisa melihat Reino yang sedang bicara dengan Bara memasuki rumah. "An, aku membawakan kue ini untukmu—" Bara menghentikan kalimatnya setelah melihat ke depan yang ada Davin dan Anika duduk berhadapan, senyumnya yang tadi sumringah mengira akan ada ucapan terima kasih dari Anika membuyar. "Sebaiknya aku pulang, aku titip ini untuk Anika, Om." Bara memberikan sekotak kue yang tadi dia beli untuk Anika ke Reino. Bara masih menyukai Anika, tapi dia sadar akan posisinya tidak sebanding dengan status suami yang dimiliki Davin sekarang, maka dari itu dia tidak bisa mencampuri urusan rumah tangga Anika lebih dalam lagi. Bara langsung berbalik melangkahkan kakinya keluar dengan mengepal tangan di kedua sisi, dia cemburu dan kesal karena melihat Davin yang sudah menjemput Anika, dia tahu alasan Anika kembali ke rumah ayahnya karena dia tampar oleh Davin. Reino yang melihat Bara sudah pergi langsung mengambil posisi duduk menghadap Davin di samping anaknya. Sebagai seorang ayah tentu saja Reino kesal dengan perlakuan Davin yang memperlakukan putrinya dengan kasar, tapi Reino masih menahannya karena tidak mengetahui alasan yang jelas. "Ayah, aku datang untuk menjemput Anika." Davin memulai pembicaraannya. "Aku tahu, tapi seharusnya kamu berfikir tidak semudah itu setelah kamu menamparnya, dia bukan barang yang bisa sesuka hati kamu ambil dariku," balas Reino menatap datar ke arah Davin. Davin menelan salivanya, dia tahu kalau tidak akan semudah yang dia pikirkan, dia harus benar-benar melontarkan perkataan yang membuat Reino percaya untuk mengizinkannya menjemput Anika. "Aku tahu, Ayah. Aku benar-benar minta maaf dan menyesal karena telah berlaku kasar dan tidak berpikir dahulu, aku melakukannya karena tersulut emosi, tanpa sadar ternyata aku sudah menampar Anika," jelas Davin. "Apa alasanmu menampar Anika? Apa yang Anika perbuat sebelumnya?" Reino tentu saja perlu tahu apa yang diperbuat Anika sampai Davin berani menampar putrinya. "Anika hanya marah dan menyinggung soal kematian tentang kondisi Ibu, tapi responku yang berlebihan, aku menyadari kesalahanku yang sangat fatal tidak berpikir lebih dulu sebelum melakukan sesuatu dan malah membiarkan emosi memakan akalku, sampai berakhir seperti ini," jelas Davin. Reino bisa menyimpulkan dari penjelasan yang Davin katakan kalau mereka berdebat sampai Davin lepas kendali karena perkataan putrinya dan berakhir dengan tamparan. "Kamu tahu sifat Anika sebelum menikahinya, lalu kenapa kamu merasa keberatan sampai menamparnya? Sebagai seorang ayah, aku tidak ingin kejadian itu terulang kembali," balas Reino. "Iya, Ayah. Aku minta maaf karena aku khilaf, aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya." Davin menundukkan kepalanya tidak sanggup menatap mata Reino sekarang. "Jika kamu berlaku kasar pada putriku lagi, bersiaplah untuk kehilangannya karena aku sebagai seorang ayah tidak akan menyerahkan putriku pada pria yang bisa dengan lancang memukulinya, kamu memang suaminya, tapi aku ayahnya!" tegas Reino. "Baiklah, aku berjanji, Ayah." Reino tidak bisa menahan putrinya lebih lama lagi karena Davin menjemputnya dengan sopan dan mengatakan alasannya kenapa dia melakukan itu, Davin juga sudah berjanji akan melepaskan putrinya jika saja dia berani bermain kasar lagi. Terpaksa Anika mengemas kembali semua barang-barangnya ke dalam koper karena suaminya berhasil memenangkan pembicaraan dengan ayahnya, sebenarnya Anika masih malas untuk kembali ke rumah itu, tapi dia memikirkan Yudha, anak sambungnya. "Masih ada lagi, Sayang?" tanya Davin yang membantu Anika pengemas barang bawaannya. Anika tidak menjawab pertanyaan dari suaminya, dia menutup resleting koper, Davin yang melihatnya mengerti kalau barang Anika sudah semua dikemas. Davin menggeret koper istrinya ke dalam bagasi mobil, kemudian membukakan pintu mobil untuk istrinya disusul dengan dirinya yang masuk ke dalam mobil. "Terima kasih sudah mau pulang denganku," ucap Davin mengelus pipi Anika. Anika melengos membuang pandangannya ke arah jendela mobil, dia masih enggan menatap wajah suaminya. Selama perjalanan juga Anika tidak melepas matanya dari pandangan di luar jendela mobil dan hanya diam saja tidak mengeluarkan pembicaraan apa pun. Sampai di rumah pun Anika masih diam, Davin terpaksa merangkul Anika agar wanita itu berjalan dan tidak diam saja. Pintu dibuka mata Anika mendapati seseorang yang tidak diharapkan kehadirannya, bahkan seseorang yang menjadi alasan mereka bertengkar terakhir kali. Anika menatap suaminya dengan penuh pertanyaan, tapi Davin hanya menunduk dan menghela napas berat. Anika melihat pemandangan kakak iparnya dan anak-anaknya ada di rumahnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" tanya Anika dengan nada tidak suka. Davin memejamkan matanya, ribuan rasa bersalah menyerbunya juga perasaan tertekan, dia memandang ke arah Yunita yang tampak cemas, kemudian menghembuskan napas lelahnya. "Maaf, Anika. Aku telah menikah dengannya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN