Davin mencoba meraih tubuh Anika, tapi Anika terus saja mengibaskan tangannya dengan kasar menolak Davin yang hendak merengkuhnya, Anika benar-benar sangat merasa jijik terhadap Davin.
"Aku tidak melakukan apa pun, aku bersumpah!" tegas Davin.
Walaupun Davin bersumpah dan terus meyakinkan Anika tentang apa yang dia lakukan selama beberapa tanpa Anika di rumah ini, rasanya Anika sudah tidak percaya lagi pada Davin.
"Tutup mulutmu atau akan aku tampar lagi bibir pendustamu itu! Mau kamu bersumpah bagaimana pun aku sudah tidak percaya lagi pada seorang suami yang menikah lagi diam-diam tanpa memberitahu istrinya sama sekali!" teriak Anika.
Anika sudah tidak kuat lagi, pertahanannya bocor, dia menangis sejadi-jadinya , dia sudah tidak bisa berpura-pura kuat menahan diri sedari tadi, melihat lingerie merah yang tipis ada di bawah kolong kasurnya.
Walaupun Davin menjelaskan kalau dia tidak melakukan apa pun malah terasa seperti kebohongan yang ingin melindungi dirinya sendiri bagi Anika.
"Anika, jangan menangis, kau hanya salah paham, aku juga tidak mengerti kenapa itu ada di sana," jelas Davin.
Anika menghapus air matanya sendiri, menatap ke arah suaminya dengan mata merah dibingkai bulu mata yang basah.
"Apa kamu puas menyakitiku ...?"
"Anika, aku sama sekali tidak berniat menyakitimu, tentang aku yang menikah dengannya itu perintah itu, sedangkan aku tidak tahu kenapa benda seperti itu ada di kamar kita," jelas Davin.
Sekali lagi Davin mencoba merangkul Anika, tapi tangan Davin ditepis begitu kasar seakan sudah habis kesabaran Anika terhadapnya.
"Apa dia tidur di kamar kita?" tanya Anika dengan mengeraskan rahangnya.
Davin diam tidak menjawab, kejadian penemuan lingerie merah tipis itu saja sudah membuat Anika begitu marah, Davin berpikir akan seperti apa lagi Anika marah nantinya.
"Jawab! Apa dia tidur di kamar kita?!" tanya Anika sekali lagi dengan teriakan.
"Jika kamu tidak ingin menjawab aku akan pergi lagi dari rumah ini!" ancam Anika.
"Iya, dia tidur di sini ... tapi jangan salah paham, kita tidur terpisah, aku tidur di sofa ruang tengah. Kamar tamu baru selesai dibersihkan sekarang," jelas Davin.
Anika menutup mulutnya sendiri semakin menangis tidak karuan, dia benar-benar tidak tahu kalau suaminya membawanya ke rumah hanya untuk memperlihatkan sesuatu yang sangat menyakitkan baginya.
"Aku membencimu!"
"Anika, aku minta maaf ...," lirih Davin.
"Simpan saja maafmu, aku tidak memerlukannya. Aku tidak butuh semua penjelasanmu jadi lebih baik kamu tidak banyak bicara apa pun mengenai hubunganmu dan dia karena aku sama sekali tidak peduli lagi!" tekan Anika.
Anika tidak jadi mengeluarkan barang-barangnya yang berada di koper, dia lebih memilih menyeret kopernya keluar dari kamar yang sudah dua tahun dia tempati bersama Davin.
"Kamu mau ke mana Anika? Ini kamar kita," ujar Davin.
"Aku lebih baik tidur di kamar tamu atau kamar pelayan daripada harus tidur di kamar yang menjijikan bekas wanita urakan yang masuk ke hubungan pernikahanku," balas Anika.
"Dia sama sekali tidak seperti itu, Anika. Dia hanya menuruti kemauan Ibu, kita berdua hanya menuruti kemauan Ibu tanpa harus menjalin hubungan seperti suami istri, kita berdua hanya di atas kertas, tidak terikat batin seperti pernikahanku denganmu!" tegas Davin.
Davin berusaha keras agar Anika tidak keluar dari kamar yang menjadi tempat mereka berdua, dia merasa lelah untuk meyakinkan Anika kalau pernikahannya dengan Yunita hanyalah di atas kertas tanpa rasa mencintai ataupun berhubungan badan.
"Aku tidak peduli!" balas Anika.
Sampai di depan pintu, Anika berhadapan dengan Yunita, tatapannya nyalang menghujani Yunita yang sepertinya ingin masuk ke dalam kamarnya.
"Aku ingin mengambil barang-barangku," ucap Yunita dengan santai.
"Tidak perlu, kamar itu sekarang milikmu, kamu tidak perlu mengambil barang-barangmu, kamu hanya perlu merapikannya saja karena aku mengamuk di sana. Jangan lupa, lingerie merah tipis itu taruh yang benar jangan seperti orang sengaja memperlihatkan kalau habis ditiduri, dasar tidak punya malu! Selamat, sekarang kau sudah menjadi nyonya di rumah ini!"
***
Bara celingak-celinguk mencari sesuatu, perasaannya tidak tenang dia melihat ke segala penjuru isi rumah walau hasilnya nihil, rasanya jadi kecewa setelah kejadian yang terakhir kali dia lihat di rumah ini.
"Mencari Anika?" tanya Reino yang muncul dari dalam.
Bara terkesiap mendengar pertanyaan Reino, sesuai tebakan Reino kalau dia memang mencari Anika yang biasa menyuguhkannya minum, tapi sekarang tidak lagi.
"Dia sudah pulang ke rumah suaminya," lanjut Reino.
Bara mengangguk pelan disertai senyuman kecewa terukir di wajahnya, dalam beberapa hari dia sudah merindukan kehadiran wanita hamil itu.
Yang menyuguhkannya minum dengan senyuman teduh atau menemaninya berbincang seputar kehamilannya, baru saja dia merasakan hal yang dia sukai, tapi sudah berlalu begitu cepat.
"Apa kamu masih menyukai putriku?" tanya Reino memandangi Bara menelisik wajahnya.
"Ya, Om. Perasaanku masih sama seperti dulu," jawab bara disertai anggukan.
Reino duduk di sofa diikuti Bara yang duduk di hadapannya. Bara menunduk masih memikirkan Anika, dia tidak ikhlas Anika kembali ke rumah Davin yang menamparnya dan menyakiti hatinya.
Dia begitu menyayangkan Anika menolak lamarannya hanya karena ingin menerima lamaran duda anak satu, Davin. Ditambah di sana Anika tidak diperlakukan dengan baik sampai harus pulang ke rumah ayahnya.
Tidak sadar Bara mengepal tangannya merasa marah mengingat luka di sudut bibir Anika yang cukup jelas karena bekas tamparan Davin.
"Maaf, Bara. Om tidak bisa berbuat apa-apa, ini semua kemauan Anika, dia lebih memilih Davin dan kembali ke sana, kamu bisa mencari wanita lain yang lebih baik dari putri Om."
Reino menyesap sedikit kopinya untuk menenangkan perasaan hatinya yang juga sedikit kesal jika mengingat kejadian itu, mau bagaimana lagi kalau itu kemauan Anika sebagai seorang ayah, Reino tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa menuruti dan menasehati saja.
"Aku mengerti, tapi jangan suruh aku mencari wanita lain, aku sama sekali tidak bisa memaksakan hatiku sendiri, perasaanku tidak bisa berubah begitu saja, aku mungkin saja mengharapkan Anika bercerai, tapi aku tidak akan mengganggu rumah tangga mereka," balas Bara.
Reino tersenyum mendengar balasan dari Bara. "Kamu memang benar-benar pria yang baik, aku harap jodohmu nanti juga wanita yang baik juga," ucap Reino.
"Bagaimana dengan kerjaanmu? Apakah berjalan dengan baik?" tanya Reino.
"Ya, semua jalan dengan baik sesuai rencana, aku juga sudah mengembangkan cabang perusahaan baru di kota lain," jawab Bara.
Pikirannya masih terus berputar seputar Anika, dia memang sebelumnya tidak pernah bertemu Anika dan hanya menyimpan perasaannya saja, tapi setelah dia bertemu dengan Anika karena pulang ke rumah ayahnya, Bara jadi sangat ingin bertemu Anika lagi.
Reino yang melihat Bara menjawab dengan raut wajah sedang berpikir, seakan raganya ada di sini tapi pikirannya berpetualang entah ke mana.
"Jangan mengkhawatirkan Anika, dia wanita yang kuat, dia pasti akan baik-baik saja menjalani semuanya, kita hanya perlu percaya padanya," ucap Reino yang tahu kalau Bara sedang memikirkan putrinya.
Bara yang merasa pikirannya sudah ditebak mengangguk dengan pelan, mengiyakan semua perkataan Reino. Seperti yang dia tahu Anika memang adalah wanita yang kuat.
"Aku harap juga begitu."
***
"Bunda ...."
Anika menatap Yudha yang masuk ke kamar, Yudha menghampiri Anika duduk di tepi ranjangnya, buru-buru Anika menghapus air matanya agar Yudha tidak tahu kalau dia habis menangis.
"Bunda, jangan menangis lagi, kalau Ayah salah aku minta maaf. Bunda jangan pergi lagi seperti waktu itu, aku sendirian di rumah waktu Ayah pergi," ucap Yudha.
Tadinya Anika ingin menutupi kesedihannya, tapi terlambat karena Yudha sudah lebih dulu melihatnya menangis. Anika menatap wajah Yudha yang terlihat lebih kurus dari sebelum dia pergi dan tidak terurus.
Dielusnya pipi putra sambungnya yang tidak seperti sebelumnya, kali ini perasaan sedihnya semakin bertambah dengan rasa penyesalan meninggalkan anak sambungnya seorang diri di rumah.
Anika tahu kalau Davin tidak akan punya waktu untuk mengurus Yudha lebih baik karena waktunya digunakan untuk mengurus Yunita beserta anak-anaknya, Anika jadi menyalahkan dirinya sendiri dalam hati.
"Maafkan Bunda. Apa kamu makan dengan baik?" tanya Anika sambil terus mengelus pipi Yudha.
"Aku makan dengan baik, pagi dan sore secara teratur," jawab Yudha.
Hanya dengan jawaban dari Yudha saja Anika bisa menebak kalau Davin memberi makan makan Yudha hanya sarapan dan makan malam, sarapan ketika dia berangkat bekerja dan makan malam ketika dia pulang bekerja, selebihnya Davin tidak mengurusnya dengan baik.
"Sini, Sayang ...." Anika membawa anak sambungnya ke dalam pelukannya dan dia menangis lagi.
Walaupun Yudha adalah anak dari mantan istri Davin sebelumnya dan mereka tidak memiliki hubungan darah, tapi Anika menyayangi Yudha seperti darah dagingnya sendiri.
"Maafkan Bunda, ya? Bunda tidak akan meninggalkanmu lagi," ucap Anika di sela isak tangisnya tangisnya.
"Bunda jangan menangis lagi, aku minta maaf kalau Ayah sudah jahat."
Yudha mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah ibu tirinya yang sudah basah dengan air mata, dengan inisiatif Yudha mengulurkan tangan untuk menghapus air mata Anika.
"Jangan menangis lagi, Bunda."
"Iya, Bunda tidak akan menangis lagi," jawab Anika.
Anika menghapus air matanya yang masih tersisa, dia tidak ingin membuat Yudha khawatir, setelah rasa bersalah meninggalkannya berhari-hari, Anika merasa harus merawat Yudha lebih baik lagi untuk menembus kesalahannya.
Setidaknya perasaannya yang tadi tersakiti menjadi lega setelah melihat Yudha menghapus air matanya, salah satu alasan Anika bertahan adalah Yudha dan anak yang dalam kandungannya.
"Bunda ... aku tidak mau sekamar dengan Hafiz," ucap Yudha ragu-ragu.
Anika mengernyitkan alisnya, dia tahu persis kalau Yudha adalah tipe anak yang tidak pengaduan mau apa pun masalah yang dia lalui, tapi sekarang Anika mendengar Yudha mengeluh tentang hal yang dia rasa sepele.
"Memangnya kenapa?" tanya Anika.
"Aku tidak suka, dia selalu memukulku dan menggigitku, lalu dia menangis setelah itu. Ayah datang memarahiku dan menghukumku, Ayah pikir aku yang membuatnya menangis," adu Yudha.
Yudha menggulung lengan bajunya dan memperlihatkan bekas gigitan Hafiz di tangannya, Anika sampai menutup mulutnya melihat bekas gigitan di tangan anak sambungnya, baginya ini benar-benar sudah kelewatan.
"Anika, bisakah kamu memasak untuk Nita dan Hafiz agar mereka bisa sarapan," pinta Davin yang baru saja masuk ke kamar.