Bab 6. Mulai Biasa

1420 Kata
Anika berdiri dan menatap nyalang Davin, pria yang beberapa tahun lalu dia hormati rasanya terlalu keterlaluan dan menyakiti dirinya sampai tidak ada rasa hormat sedikitpun untuk Davin dari Anika. "Apa yang barusan kamu katakan?" tanya Anika dengan senyuman pilunya. "Kamu membawa wanita itu ke sini agar aku bisa melayani dia dan anak-anaknya? Begitu pikirmu?!" lanjut Anika tidak melepas tatapannya dari Davin. "Aku tidak bermaksud begitu, ini hanya masalah sarapan, kamu tahu kalau Yunita tidak bisa memasak, maka dari itu aku yang memintamu untuk memasak," jelas Davin. Walaupun matanya berkaca-kaca, Anika menampilkan kekehan seakan mengejek ke arah Davin. "Jika dia tidak bisa memasak dia bisa belajar! Aneh sekali, dia menikah denganmu, tapi tidak bisa mengurus anak-anaknya sendiri dan malah kamu menyuruhku? Baru awal saja kamu sudah memperlihatkan ketidakadilanmu!" sindir Anika. Davin yang merasa kalau salah dalam memilih kata, dia diam sejenak tidak mau menyulut amarah Anika lebih dari itu. "Maafkan aku, biar aku saja yang memasak, kamu istirahat saja, kamu pasti lelah." Davin menutup pintu kamar setelah mengatakan itu dengan wajah yang murung, dia sendiri merasa kalau perkataan istrinya benar, tanpa sadar Davin sudah berbuat tidak adil pada istrinya yang baru saja dia jemput pulang dari rumah mertua. "Maafkan aku," gumam Davin. Sedangkan Anika yang berada di dalam kamar langsung meraih tubuh Yudha dalam pelukannya, dia tidak mau kalau pertengkaran tadi membuat Yudha jadi takut terhadapnya. "Bunda, jangan marah-marah, maafkan Ayah, ya? Jangan pergi lagi meninggalkan aku seperti waktu itu." Yudha menyembunyikan wajahnya di pelukan Anika, dia benar-benar takut kalau Ibu sambungnya pergi lagi karena marah pada ayahnya. Setelah kehilangan ibu kandungnya, Yudha menjadi anak yang pendiam juga pemurung, dia bahkan tidak jadi anak yang banyak bicara seperti anak-anak lain seusianya, hanya Anika yang mampu membuat senyum Yudha kembali. "Iya, Bunda tidak akan pergi lagi, jika Bunda pergi pasti Bunda akan membawamu," balas Anika dengan mata berkaca-kaca. "Sekarang kita keluar, kamu harus bersiap untuk ke sekolah karena Bunda akan mengantarmu seperti biasa," lanjut Anika. Anika menarik tangan Yudha dengan begitu lembut keluar dari kamarnya, sekarang Anika sudah berada di kamar Yudha. Anika melihat sekeliling dan perasaan kesalnya kembali menyapa hati. Kamar putra sambungnya yang dulunya sangat tertata rapi dan bersih, sekarang sudah menjadi sangat berantakan dan kotor hanya dalam waktu beberapa hari dia pergi. Tidak sadar Anika mengapa tangannya di kedua sisi sampai dia juga ikut meremas tangan Yudha yang dari tadi dia genggam. "Bunda ...," lirih Yudha. Anika yang menyadari dia telah menyakiti Yudha buru-buru melepaskan genggamannya, sekali lagi dia merasa bersalah terhadap Yudha. "Maaf ya, Nak. Bunda tidak sadar, Bunda hanya kesal melihat kamarmu yang berantakan ini," ujar Anika. Anika jelas tahu penyebab kamar putra sambungnya jadi berantakan adalah karena anak Yunita yang tidur bersama Yudha dalam satu kamar ini, Hafiz. "Segera masuk ke kamar mandi dan bersihkan diri, Bunda akan mengemas barang-barangmu dan memindahkannya ke kamar lain." Yudha langsung menurut tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dia berjalan menuju ke arah kamar mandi. Anika menghela nafas melihat kamar yang begitu berantakan, dia mulai memunguti dan mengemas apa saja yang menjadi milik putranya. Tidak lama terdengar suara bukaan pintu, tapi Anika sama sekali tidak mengalihkan pandangannya karena dia tidak peduli siapa pun yang datang. "Aku tadi mencarimu ke kamar, tapi kamu tidak ada. Ternyata kamu ada di sini." Suara yang begitu familiar di telinganya, suara suaminya yang dulu membuatnya mengerling teduh, namun sekarang Anika benar-benar membenci suara Davin. "Aku sudah selesai memasak, kita sarapan dulu, di mana Yudha?" tanya Davin. "Dia sedang mandi," jawab Anika singkat. Davin dari tadi memperhatikan Anika yang terus mengemas barang-barang Yudha, tapi Anika tidak menyentuh sama sekali barang-barang milik Hafiz, membuat Davin jadi berpikir hal yang negatif terhadap kelakuan Anika. "Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Davin lagi. Dia benar-benar khawatir kalau Anika akan membawa Yudha pergi beserta dirinya untuk meninggalkannya, nih benar-benar tidak mau hal itu terjadi karena kebahagiaannya hanya Anika dan Yudha saja, sudah cukup dia tertekan menjalani perintah ibunya. "Apa kamu tidak lihat? Kamar ini berantakan seperti kandang binatang!" jawab Anika penuh sindiran. "Tapi kenapa kamu hanya merapikan barang milik Yudha? Barang milik Hafiz tidak kamu sentuh sama sekali," tanya Davin untuk kesekian kalinya. "Kenapa aku harus merapikan barangnya? Dia punya seorang ibu yang mampu melakukannya! Dia bukan tanggung jawabku, yang menjadi tanggung jawabku hanyalah Yudha, bukan Hafiz!" tegas Anika. Davin merasa salah bicara lagi dalam pemilihan kata-katanya, dia tidak pandai bicara untuk menyusun kata-kata yang tidak menyinggung atau pun menyulut kemarahan Anika. "Bukan seperti itu maksudku, hanya saja mau kamu apakan barang-barang Yudha?" Anika menghela napas lelahnya, dia berhenti sejenak untuk menatap wajah suaminya. Wajah yang dulu sangat dia rindukan setiap harinya menunggu kepulangan suaminya bekerja. "Aku mau pindahkan dia ke kamar lain yang lebih baik dari di sini, di sini seperti bukan kamar manusia melainkan kamar binatang yang sangat kotor dan berantakan," sindir Anika. Davin menghela napas berat, dia tahu kalau istrinya masih marah akibat dia menikah tanpa izinnya, itu sama saja dengan tidak menghargai juga membohongi Anika. "Baiklah, biar aku bantu." Davin mencoba meraih barang-barang Yudha yang sudah ditumpuk Anika di atas kasur, tapi dengan segera Anika menepisnya. "Tidak perlu!" ketus Anika. Davin tidak jadi untuk membantu Anika, dia mengurungkan niatnya dan menjaga jarak agar tidak membuat amarah Anika semakin menjadi. "Keluar sana!" usir Anika. "Aku akan di sini menunggumu dan Yudha, kita ke meja makan bersama-sama." Davin memilih duduk di ranjang milik Hafiz dan memandangi Anika yang sedang mengemas barang-barang Yudha. Yudha keluar dari kamar mandi sudah siap dengan seragamnya, Anika memang membiasakan Yudha untuk mandiri setelah kematian almarhum Hendra, kakak iparnya, agar tidak terus bergantung pada ayahnya yang tidak bisa diandalkan. "Sudah siap, Nak?" tanya Anika dengan senyuman palsu yang dibuat merekah. "Sudah, Bunda." Anika langsung menarik Yudha keluar kamar dan langsung menuju ke arah kamar kosong tidak terpakai di rumah, kamar yang harus dibersihkan lagi nantinya. Anika menaruh tas di atas ranjang di sini, dia baru sadar kalau Davin juga mengikutinya untuk ke kamar itu. Terlihat Davin yang sangat ingin mengajak Anika bicara, tapi dia sendiri ragu untuk mulai obrolan karena takut akan memancing kemarahan Anika lagi. "Kamar ini agak kotor, biar nanti dibersihkan dulu," ucap Davin. "Aku tahu, aku bisa membersihkannya nanti," balas Anika. "Ayo kita sarapan dulu," ajak Davin. Setelah menaruh semua barang bawaan milik Yudha, Anika terpaksa menerima ajakan Yudha karena tidak ada alasan lagi untuk yang menolak. Anika menarik tangan Yudha untuk keluar dari kamar mengikuti jejak Davin, terlihat di meja makan suasananya sangat memuakkan karena Anika lihat Yunita dan anak-anaknya duduk di sana. Anika menarik kursi untuk Yudha agar bisa duduk dengan nyaman di sebelahnya, diikuti Davin yang duduk di sebelah Anika, posisi Anika di antara Davin dan Yudha. Yunita berdiri untuk mengisi piring Davin dengan makanan, melayaninya dengan penuh senyuman, hal sering Anika lakukan dulu terhadap suaminya, tapi sekarang tidak lagi. Davin pun mengingat hal yang sama, dia benar-benar merindukan Anika melayaninya seperti yang dilakukan Yunita terhadapnya, ketika perasaannya langsung tidak enak dan merasa bersalah. Davin melirik ke arah Anika yang tampak tidak peduli dengan kejadian barusan, dia jadi merasa sesak sendiri istrinya tidak menampakkan kecemburuannya lagi. Lalu Yunita duduk kembali tanpa mengisi piring Anika dan Yudha, tapi Anika juga tidak peduli dengan itu dia bisa mengisi piringnya sendiri dan piring putra sambungnya. Sarapan selesai dengan keheningan, tanpa ada sepatah katapun orang yang berani bicara di meja makan, Anika langsung bangun mengajak Yudha untuk mengikutinya. "Anika ...," panggil Davin. Terpaksa Anika menoleh karena suaminya memanggil, tatapannya datar ke arah Davin yang baru saja beranjak bangun dari duduknya. Davin melangkahkan kakinya maju menghampiri Anika yang terus saja menatapnya seperti orang asing. "Aku akan berangkat kerja bersama Yunita, sekalian mengantar anak-anaknya ke sekolah karena kita searah, kamu mengantar Yudha karena tidak searah dengan kantorku." Davin berhenti menjelaskan untuk melihat bagaimana respon dari istrinya karena dia takut ada yang salah dari perkataannya, tapi dengan sikap Anika yang mendiamkannya, rasanya lebih baik kalau Anika marah saja dengannya daripada harus diam. "Jangan salah paham, aku hanya berangkat bekerja bersamanya tanpa ada niat apa pun," lanjut Davin. Anika masih diam tidak menjawab, tidak mengganggu ataupun menggeleng sebagai responnya, dia malah sebentar menatap Davin kemudian melanjutkan kakinya lagi menarik Yudha menuju kamarnya untuk mengambil kunci mobil. Sebenarnya Anika hanya pura-pura kuat saja dan berpura-pura tidak peduli, padahal rasanya sama saja dia masih tetap tersakiti dengan perlakuan suaminya. Anika menoleh ke arah jendela kamarnya, terlihat mereka memasuki mobil dengan senyum dan canda tawa, mereka lebih terlihat sebagai keluarga yang bahagia dibandingkan Davin bersamanya dan Yudha. "Sebelum kalian menikah pun rumah Yunita berlawanan dari kantor, tapi kamu tetap menjemputnya. Bahkan kamu tidak pernah mengantar Yudha ke sekolah sepanjang hidupmu, Vin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN