Bab 7. Mimpi Buruk

1519 Kata
"Bunda ...," panggil Yudha yang duduk di samping Anika yang sedang menyetir. "Iya, Nak?" Anika melirik sekilas kemudian beralih menatap ke depan agar fokus menyetir. "Kenapa Ayah sekarang tidak pernah ada waktu untuk kita? Padahal aku ingin seperti dulu bisa berjalan-jalan dengan Ayah dan kita pergi bersama ke taman bermain," ucap Yudha. Ungkapan dari putra sambung yang membuat Anika jadi sedih lagi, baru saja dia menetralkan rasa sakit di hatinya, sekarang rasa sakit kembali menyapa hatinya lagi. Anak sekecil Yudha sudah berkelahi dengan masalah rumah tangga dengan ayahnya yang menikah lagi, mungkin saja jika Yudha sudah besar akan membenci Davin karena menelantarkannya. "Sepertinya Ayah sibuk bekerja, mungkin saja suatu saat nanti Ayah bisa meluangkan waktunya untuk kita," jelas Anika. Anika mencoba memberi penjelasan kepada Yudha dengan kata-kata yang mudah dimengerti dan tidak menyinggung siapa pun, Anika tidak ingin mengubah pandangan Yudha terhadap Davin menjadi lebih buruk lagi. "Tapi Ayah selalu saja ada waktu untuk Tante Yunita, Kak Nita dan Hafiz, tapi tidak ada waktu untuk kita," keluh Yudha. Palu godam menghantam hati Anika dengan sangat kuat, sampai Anika menahan napasnya menahan agar tidak mengeluarkan air matanya. "Mungkin Ayah sedang ada urusan dengannya, nanti Bunda akan bilang Ayah agar kita bisa jalan-jalan bersama-sama." Anika berusaha keras menahan air matanya di depan Yudha, dia juga sebenarnya merasakan sakit hati atas perlakuan suaminya yang menikah lagi, tapi Davin membawa Anika kembali ke rumahnya. Seakan ingin mempertontonkan kalau dia sudah berhasil menjalankan perintah ibunya dan menyakiti Anika begitu dalam, Anika menggigit bibirnya sendiri masih berusaha menahan tangis di depan Yudha. "Jangan memikirkan apa pun, kamu hanya perlu belajar dengan giat dan jadi anak yang baik, janji pada Bunda kalau kamu akan melakukan yang Bunda perintahkan tadi." Anika berusaha mengubah topik pembicaraan agar putranya tidak terus membahas soal Davin karena itu akan menyakitinya. "Iya, aku janji akan membanggakan Bunda, aku sangat senang Bunda kembali lagi, aku jadi punya teman dan tidak sendirian lagi." Padahal Davin sudah membawa Yunita dan anak-anaknya ke rumah, tapi Yudha masih merasa kesepian dan terabaikan karena memang dia diabaikan di sana, tidak ada yang memperdulikannya selain Anika, ibu sambungnya. "Bagus, Bunda pegang janjimu ya, Sayang. Nanti pulang sekolah kita beli s**u kesukaanmu," ujar Anika. Terlihat senyuman bahagia di wajah Yudha hanya dengan perkataan sederhana dari Anika yang membuatnya sangat senang. Yudha terus memandangi ibunya dengan wajah sumringah seakan sangat berterima kasih karena kehadiran ibunya kembali. "Terima kasih, Bunda. Aku sayang Bunda," celoteh bahagia Yudha. Hanya dengan mendengar celotehan bahagia putra sambungnya, Anika jadi merasa rasa sakitnya sedikit terobati dan bisa bertahan di pernikahan beracun yang suaminya ciptakan dalam rumah nerakanya. "Tapi Bunda ... kenapa Tante Yunita tidak pulang dan terus tinggal di rumah kita?" *** Bara mengerjapkan matanya berkali-kali perasaannya jadi tidak enak setelah mendapat mimpi yang mengerikan, bisa-bisanya dia memimpikan ditinggal nikah Anika, padahal dia sudah mengalaminya, tapi rasanya masih tetap sama mengerikannya. "Ada apa dengan hatiku? Bukankah aku sudah pernah mengalaminya dulu? Tapi kenapa rasanya masih sama saja, aku masih tidak bisa mengiklaskan pernikahannya," gumam Bara. Bara sudah menyukai Anika sejak wanita itu menginjak bangku SMA dan dirinya menjalani kuliah, dia belum berani merajut hubungan karena Anika masih di bawah umur. Sedangkan ketika Anika sudah menginjak bangku perkuliahan, Bara sibuk mempersiapkan dirinya untuk bekal agar bisa melamar juga menghidupi Anika kelak nanti ketika sudah menjadi istrinya. Tapi begitu dia melakukan lamaran, ternyata dia terlambat satu langkah ketika sedang mempersiapkan dirinya, Anika sudah merajut hubungan dengan pria lain, alasan Anika menolak lamarannya karena ingin menerima lamaran dari Davin. "Salahkah aku mencintai istri orang? Aku bahkan belum bisa melupakannya selama dua tahun ketika dia sudah menjadi milik orang lain," gumam Bara. Bara mengelap keringat yang bercucuran di dahinya, rasanya sangat tidak enak memimpikan istri orang, walau dia tidak bisa mengatur mimpinya, tetap saja baginya juga menyakitkan. Pikirannya jadi terus memikirkan Anika telah mimpi itu, Anika terus saja mengitari kepalanya menghantuinya sampai dia benar-benar jadi seperti orang linglung. "Anika, kamu benar-benar menyita semua perhatianku, bahkan ketika kamu sudah jadi istri orang, ternyata sampai sekarang aku masih mengharapkanmu." Bara melihat ke jendela kamarnya, matahari sudah menampakkan sinarnya menembus gorden dan menyentuh kulitnya dengan hangat. Bara menghembuskan napasnya berat, sekarang sudah waktunya dia bekerja dan menyisihkan Anika dulu dari dalam pikirannya. "Aku mohon pergi dulu dari pikiranku, An. Sekarang aku ingin berangkat bekerja dan tidak fokus karena kamu selalu mengunjungi pikiranku," keluh Bara. Baru saja beberapa langkah Bara ingin keluar dari kamarnya, matanya menangkap benda kotak pipih yang terletak di atas meja samping tempat tidurnya. Segera dia meraih benda itu dengan rasa penasaran mencari kontak Anika yang dari tadi dia pikirkan, Bara membuka aplikasi hijau terlihat kontak Anika yang tidak ada foto profilnya, itu berarti Anika masih tidak menyimpan nomornya. Seperti apa yang Anika katakan dulu padanya sebagai perpisahan kalau dia tidak akan menyimpan nomor pria lain di ponselnya maupun itu Bara, untuk menghargai kecemburuan suaminya. Bara tampak menimbang-nimbang apakah dia akan mengirimi Anika pesan atau tidak, rasanya dia sangat ingin mengirimi Anika pesan, tapi karena statusnya istri membuat Bara sampai sekarang takut mengganggu hubungan rumah tangganya. Bara teringat beberapa waktu lalu Anika pulang ke rumah ayahnya dalam keadaan terluka di sudut bibirnya, sudah pasti itu adalah perbuatan Davin. "Mungkin tidak apa-apa jika aku mengiriminya pesan untuk menanyakan kabar saja," gumam bara ragu-ragu. Bara mulai mengetik sesuatu, tapi pada akhirnya dia menghapus teks yang dia ketik tadi, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, dia memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika saja dia mengiriminya pesan. "Apa lebih baik aku telepon saja?" *** Yunita tersenyum sambil melambaikan tangannya pada kedua anaknya, setelahnya Yunita masuk kembali ke dalam mobil. Yunita bisa melihat Davin yang terlihat murung membuatnya menebak kalau davin sedang memikirkan Anika. "Masih memikirkan Anika?" tanya Yunita. Davin menoleh sambil tersenyum kecut, dia mengangguk dan tidak menyembunyikan apa pun dari Yunita karena sebelumnya mereka sudah sepakat untuk hanya menikah saja dan tidak membangun hubungan suami istri selayaknya untuk menjaga perasaan Anika agar tidak terlalu tersakiti. "Mungkin sekarang dia belum menerima ini, tapi nanti dia akan terbiasa menerimanya," ujar Yunita. "Entahlah, aku masih merasa kalau pernikahan ini salah, seharusnya kita memang tidak menikah," gumam Davin. Entah kenapa Yunita tidak suka dengan perkataan Davin barusan, hatinya jadi terasa mengganjal, buru-buru dia membuang wajah ke arah jendela mobil karena tidak ingin Davin melihat bagaimana ekspresinya. "Sudahlah, Vin. Semuanya sudah terjadi dan ini semua atas perintah Ibu, kamu hanya berusaha menjadi anak yang berbakti dengan menuruti kemauan ibumu," balas Yunita. Yunita memakai sabuk pengamannya dengan perasaan gamang, dia sendiri tidak mengerti dan tidak bisa mendeskripsikan perasaannya terhadap Davin. Setelah kematian suaminya, Yunita langsung mendapatkan gantinya, Davin. Yunita memang dari dulu hidup dalam perlindungan, tidak pernah dia melakukan apa pun seorang diri karena memang dia tidak mampu untuk melakukannya. Selama dia hidup dia hanya bersikap lembut dan manis agar terlihat bisa dilindungi, hidupnya penuh dalam perlindungan ketika Hendra membawanya masuk dalam keluarganya. "Apa sebaiknya mulai besok kita berangkat terpisah saja? Aku benar-benar tidak enak pada Anika, aku terus saja menyakiti hatinya," usul Davin. "Apa maksudmu, Vin? Kamu tahu aku tidak bisa menyetir, bagaimana aku bisa berangkat ke kantor sendirian?" Yunita tempat tidak terima dengan usulan Davin. Hatinya merasa tidak tenang kalau nanti dia berangkat terpisah dan tidak bersama Davin lagi, rasanya tidak rela setelah mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan bersama dengan berangkat ke kantor, tapi jika dia sendirian maka akan terasa lain. "Sudahlah, kita berangkat sekarang dan jangan membuang waktu lagi, kita sudah sangat terlambat." Davin lupa kalau Yunita tidak bisa menyetir, dia mulai menjalankan mobilnya melaju membelah jalanan pagi hari, rasanya benar-benar gelisah didiamkan Anika tadi pagi. "Aku akan ajari menyetir nanti agar kamu bisa ke kantor sendiri," ujar Davin. "Lupakan, aku tidak akan pernah menyetir selamanya karena aku kehilangan suamiku karena kecelakaan, aku harap kamu mengerti bagaimana rasa traumanya aku yang mengalami hal itu," balas Yunita. Davin menghela napas lelah sambil terus menyetir mobilnya, dia tidak bisa memikirkan apa pun selain istrinya, wajah tidak peduli yang ditunjukkan Anika masih terngiang-ngiang sampai sekarang. "Jika pun aku naik taxi, aku tidak mau karena aku pernah mendapat pengalaman yang buruk terhadap sopir taxi," lanjut Yunita. Yunita mengingatkan Davin pada kejadian dirinya yang hampir dilecehkan sopir taxi, jika saja Davin tidak datang ke titik lokasi yang dikirimkan Yunita. Davin tidak membalas ujaran Yunita, dia terus fokus menatap ke depan, sampai mereka berada di kantor pun Davin tetap diam tidak bicara membuat Yunita agak sedikit sedih. Davin juga masuk ke kantor lebih dulu meninggalkan Yunita yang masih berada di mobil, Yunita hanya bisa menghela napasnya ketika sikap Davin berubah. Baru saja Yunita keluar dari mobil, dia sudah disambut bisikan dari beberapa orang di kantornya, apalagi setelah dia masuk bisikannya makin banyak mengarah ke sesuatu yang buruk terhadap dirinya. "Lihat wanita itu, padahal tidak bisa bekerja tapi posisinya lumayan tinggi." "Gara-gara wanita itu bekerja di sini, Pak Davin jadi jarang sekali membawa Bu Anika menghadiri pesta kantor dan malah membawa dia." "Jangan salah dengan penampilannya yang terlihat lugu dan polos, begitu suaminya meninggal dia langsung menjelma menjadi pelakor pada pernikahan adik iparnya." Begitulah bisikan-bisikan orang di kantor yang bisa Yunita dengar, telinga dan hatinya terasa sangat panas, tapi dia tidak mampu membalas perkataan mereka semua dan lebih memilih untuk diam. "Aku bukan pelakor!" batin Yunita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN