Pria di sampingnya terduduk sambil mendengarkan semua penjelasan yang dikatakan, sesekali termenung dan sesekali juga mengangguk, Davin tidak ingin menerimanya dengan mentah karena akan sangat bahaya jika dia hanya melihat satu sisi saja.
"Apa benar Anika melakukan itu?" tanya Davin ragu.
Bukannya Davin tidak percaya dengan Yunita, tapi selama hidup bertahun-tahun bersama Anika dia jelas mengenal bagaimana sikap istrinya, walaupun agak keras kepala Anika tidak akan menuduh atau melontarkan perkataan yang menyakitkan kecuali memang sudah sangat keterlaluan.
"Iya, dia mengatakan itu. Dia juga bilang kalau aku sengaja tidak mengatakan padamu dan ikut pura-pura lupa tentang Yudha." Yunita menghapus air mata yang dari tadi berlinang di pipinya.
Davin berpikir sejenak kalau dia memang benar-benar lupa, tapi yang Anika katakan benar tidak mungkin mereka berdua lupa. Akan sangat kebetulan jika mereka benar-benar melupakan Yudha di saat yang bersamaan, apalagi waktu yang sama mereka menjemput anak-anak Yunita.
"Aku bukannya tidak percaya padamu, tapi yang Anika katakan benar kalau akan sangat kebetulan jika kita berdua benar-benar lupa di waktu yang bersamaan," balas Davin.
Yunita merubah ekspresinya menatap ke arah Davin tidak percaya kalau dia mendengar kalimat itu keluar dari Davin.
"Apa maksudmu? Apa kamu mencoba menuduhku seperti Anika? Kamu saja yang ayahnya sendiri bisa lupa, tapi aku tidak mempertanyakan kenapa dirimu melupakan Yudha, sekarang giliran aku yang lupa kalian mempertanyakan aku dengan sebegitunya."
Davin menyesali kalimatnya yang tadi, dia tidak mampu merangkai kata-kata yang membuat pendengar atau lawan bicaranya menjadi tenang, Davin mulai berpikir dan menyusun kata-kata agar tidak menyinggung dunia tadi dalam otaknya.
"Bukan begitu maksudku, maksudnya adalah wajar saja jika Anika mengatakan itu karena memang sangat kebetulan jika kita berdua lupa, jadi jangan terlalu diambil hati perkataan Anika," ujar Davin.
Pada akhirnya Davin memilih untuk tidak membela siapapun di sini dan menenangkan Yunita yang terlihat sedih pada perkataan Davin, tapi ternyata Yunita tidak bisa menerimanya kalau Davin tidak membelanya dan mengambil jalan tengah.
"Kau membiarkan Anika mengatakan itu padaku, bukankah kamu harus menasehatinya dengan tegas agar tidak memperlakukan aku seperti itu lagi? Tapi kenapa kamu menutup mata pada perlakuan Anika yang kasar padaku?" Yunita masih tidak terima padahal Davin sudah mengambil jalan tengah.
"Kalau kamu masih merasa sakit hati aku minta maaf atas perbuatan Anika terhadapmu, tapi aku tidak bisa untuk menasehatinya atau mengaturnya agar minta maaf padamu, aku berusaha bersikap netral dan tidak memihak siapapun.
Aku juga berpikir di posisi Anika tidak enak ketika dia menunggu kepulangan Yudha sedangkan aku tidak menjemputnya dan aku juga sangat mewajarkan kalau dia berkata seperti itu seperti yang aku bilang tadi, ditambah kondisinya yang sedang hamil, dia pasti sangat sensitif sekarang."
Davin berharap penjelasannya pada Yunita berakhir damai dan tidak menyulut amarah dari pihak mana pun, Yunita sendiri menjadi diam seribu bahasa tanpa menggubris perkataan Davin lagi, dia hanya merengut dan mengapa kedua tangannya di sisi-sisinya.
"Sudah selesai mengadunya?"
Davin dan Yunita menoleh ke belakang yang sudah ada Anika di sana, ekspresi wajahnya santai dan tidak terbakar oleh amarah ketika dia dari tadi menguping pembicaraan suaminya dan Yunita.
"An ...," panggil Davin yang langsung beranjak dari duduknya menghampiri Anika.
Yunita berharap kalau Davin sedikit menegurnya, tapi perlakuan Davin berikutnya membuat Yunita merasa sedikit kesal karena Davin malah memberikan sesuatu pada Anika.
"Ini untukmu, aku membelikannya pada saat menjemput Yudha pulang," ujar Davin.
Anika menyadari suaminya yang sedang membujuknya karena marah kepulangan Yudha tidak dijemput Davin, Anika mengambilnya dengan wajah datar dan tidak terlihat berterima kasih pada suaminya.
Yunita jadi makin kesal dengan kelakuan Davin yang mengabaikannya seperti tidak ada orang, dia makin mengepal tangannya di kedua sisi dan berniat masuk ke kamarnya, tapi langkahnya terhenti mendengar bunyi dentuman yang cukup kuat.
Davin dan Anika pun menoleh ke arah sumber suara, dilihat Yudha yang tersungkur menghantam ujung meja dan vas yang di atasnya jatuh juga ke kepala Yudha, tentu saja mereka tahu kalau yang mendorong Yudha adalah Hafiz karena tangan anak laki-laki itu terarah ke depan.
Buru-buru Anika langsung meraih Yudha yang menangis kesakitan, dilihat wajah Yudha terdapat luka di pelipisnya sampai mengucur banyak darah dari keningnya, Anika langsung menatap nyalang ke Hafiz yang mendorong Yudha.
Baru saja Anika ingin berjalan menghampiri Hafiz, Yunita sudah menarik Hafiz ke dalam pelukannya bersikap selayaknya dia melindungi putranya yang bersalah.
"Dia hanya anak-anak, jangan membalas perbuatannya," ujar Yunita ketakutan.
"Dia memang hanya anak-anak, tapi kamu sebagai orang tua seharusnya kau menegurnya dan menasehatinya, bukan malah tutup mata pada kelakuan putramu yang bersalah!" omel Anika.
Dia benar-benar kesal ketika anak laki-lakinya terluka karena perbuatan Hafiz dan belum saja dia menghampirinya Yunita sudah melindungi anaknya lebih dulu, padahal maksud Anika hanya ingin menegurnya, tapi Yunita seakan bersikap kalau Anika akan membalasnya.
"Dia hanya anak-anak, dia sama sekali tidak bermaksud melakukan itu, anak-anak tidak punya niat jahat sama sekali. Hafiz pasti tidak ada niat untuk mencelakai Yudha," sangkal Yunita.
Anika dibuat semakin geram dengan pembelaan Yunita terhadap putranya, padahal dia hanya perlu Yunita untuk menegur anaknya, tapi Yunita terus saja membela putranya berlebihan.
"Astaga, dia memang tidak ada niat untuk mencelakai Yudha, tapi dia jelas punya niat untuk mendorong Yudha, berhenti membela putramu karena masih anak-anak, jangan gunakan alasan dia masih anak-anak untuk membenarkan perlakuannya, justru dari anak-anak kalau harus menanamkan yang mana yang salah dan yang mana yang benar agar dia tidak jadi sepertimu!" tandas Anika.
Yunita merubah ekspresinya yang tadi ketakutan menjadi menatap Anika dengan nyalang, dia tidak suka kalimat terakhir yang Anika lontarkan padanya.
"Apa maksudmu menjadi sepertiku? Ini hanya masalah anak-anak dan masalah sepele, kenapa kamu jadi membesarkan seperti ini?!" balas Yunita.
"Hanya masalah sepele? Kamu tidak lihat Yudha sampai berdarah seperti itu?! Coba posisinya di balik jika anakmu yang terluka seperti itu maka apa yang akan kau lakukan ...?! Kamu menyuruh Davin untuk menegurku karena perbuatanku, tapi kamu sendiri tidak mampu menegur anakmu yang jelas-jelas salah! Jangan bersikap kalau dunia ini milikmu!" tandas Anika untuk kedua kalinya.
Yunita diam seakan memakan perkataannya sendiri, dia tidak mampu lagi untuk membalas Anika, tatapannya beralih menatap Davin dengan wajah mengiba seakan meminta pembelaan pada Davin.
"Sayang ... sebaiknya kita obati Yudha dulu dan hentikan pertengkaran ini," ujar Davin yang mencoba menengahi pertengkaran mereka.
Davin menyela di antara mereka berdua untuk menenangkan Anika yang sudah sangat marah, Davin mencoba mengerti bagaimana perasaan Anika yang sudah kesal ketika dia tidak menjemput Yudha dan sekarang makin kesel karena Yudha terluka.
"Dasar ibu yang tidak becus!" sindir Anika sebelum dia berbalik menggapai tubuh Yudha.
Yunita hanya bisa mengepal kedua tangannya melihat Davin yang memboyong Anika masuk ke kamar bersama Yudha meninggalkannya di ruang tengah dengan Hafiz.
"Memangnya apa yang kamu lakukan sampai mendorong Yudha begitu, Hafiz?" tanya Yunita pada putranya.
"Aku hanya ingin keripik buah yang dibawa Kak Yudha, makanya aku membawanya kabur dan lari ke kamar, tapi Kak Yudha tidak ingin memberikannya jadi aku mendorongnya saja," jelas Hafiz dengan wajah menunduk.
Yunita mengusap kasar wajahnya pada kelakuan putranya yang membuat dirinya semakin jauh dengan Davin, Yunita berpikir pasti Davin akan berpihak pada Anika dan Yudha jika tahu apa yang dilakukan putranya.
Beralih pada Anika dan Davin yang berada di dalam kamar sedang mengobati Yudha. Anika menepis tangan Davin yang mencoba menghapus darah di kening Yudha, dia masih sangat kesal dengan suaminya.
"Kenapa bisa di kamar Hafiz, Nak?" tanya Anika sambil mengelap darah dari pelipis Yudha.
"Tadi aku membeli keripik buah kesukaan Bunda bersama ayah, tapi Hafiz merebut dan membawanya lari ke kamarnya, aku berusaha merebut kembali, tapi dia mendorongku. Maaf, Bunda. Harusnya keripik buah itu untuk Bunda."
Penjelasan dari Yudha membuat Anika menatap ke arah Davin dengan tatapan tajam, seakan mengatakan kenapa sampai membiarkan hal itu terjadi pada putra mereka.
Davin yang ditatap begitu hanya menundukkan kepalanya, dia tidak tahu harus merespon bagaimana ke istrinya yang terlihat seakan memojokkannya.
"Kamu tidak tuli, kan? Jangan pura-pura buta dan menutup matamu lagi tentang hal ini, aku tidak bisa menerimanya karena ini sudah sangat keterlaluan!" kecam Anika.
"Maafkan aku ...," lirih Davin.
"Kamu sedang asyik mendengarkan cerita Yunita menjelekkan diriku, lalu kamu melupakan anakmu yang berusaha mengambil barangnya kembali dari putranya, kamu benar-benar keterlaluan!" geram Anika.
Davin tidak menyangkal perkataan Anika karena dia memang membiarkan Yudha mengejar Hafiz sampai ke kamar dan dia lebih menaruh perhatiannya pada Yunita yang sedang menangis di sofa.
"Aku akan menasehatinya nanti, jangan khawatir, aku tidak akan menutup mataku," ujar Davin menenangkan Anika.
Anika menatapnya nyalang suaminya, kemudian tatapannya berubah teduh ketika beralih menata putranya yang terluka, Anika mulai mengoles obat di pelipis Yudha yang terluka.
"Aku tahu dia masih anak-anak, tapi kesalahan tetaplah kesalahan dan usia tidak mampu merubah kesalahan menjadi kebenaran, kamu tidak lupa pada perkataanmu waktu itu, kan?" tekan Anika.
"Tidak, aku sama sekali tidak lupa. Aku akan melakukan yang seharusnya aku lakukan, aku akan menasehati Hafiz agar tidak berlaku seperti itu lagi," ujar Davin.
Davin berharap kalau perkataannya yang tadi meredakan amarah istrinya. Hal itu bukan hanya perkataan saja, tapi Davin akan melakukan apa yang dia bilang pada istrinya barusan, Davin tidak mau dicap seseorang yang hanya omong kosong saja.
"Kalau begitu lakukan!"
Davin bangun dari duduknya di samping Anika, mereka langsung mendengar suara ketukan pintu dari luar kamar.
"Vin ...." Suara Yunita terdengar dari balik pintu menerobos masuk ke telinga mereka.