Bab 9. Muak

1513 Kata
Bukan hanya tekad dan janji yang dia ucapkan pada dirinya sendiri, Davin juga berniat akan benar-benar melakukannya untuk membangun rasa kepercayaan Anika yang telah runtuh. "Sayang, bisa tolong bantu aku pindahkan barang-barangku ke kamar ini?" tanya Davin yang sedang membawa semua barang-barangnya dari kamar yang sekarang menjadi milik Yunita. "Aku tidak bilang akan tidur denganmu," balas Anika menatap lurus ke depan tanpa menoleh sedikitpun pada suaminya. "Lalu aku tidur di mana? Kita suami istri tentu saja kita akan tidur bersama, tidak mungkin aku terus-terusan tidur di sofa," ucap Davin dengan begitu lembut tidak mau menyulut amarah Anika. Memang beberapa hari ini Davin tidur di sofa karena dia ingin meyakinkan Anika bahwa pernikahan yang dia lakukan dengan Yunita hanya di depan mata ibunya saja tidak lebih dari itu. Davin sudah berjanji pada dirinya sendiri akan bersikap seperti itu terus mulai ke depannya, walaupun beberapa kali Yunita menawarkan untuk masuk dan tidur bersama karena tidak tega melihat Davin yang tidur di sofa, tapi Davin lebih memilih tidur di sofa daripada menyakiti Anika terus-menerus. "Tidur dengan istrimu," sindir Anika. "Kamu istriku, An." Davin menatap teduh ke Anika dengan siratan kekecewaan di matanya. "Baiklah, aku akan membawa barang-barangku sendiri, sepertinya kamu lelah, istirahat saja. Aku akan segera kembali." Davin langsung melesat mengambil semua barang yang satu demi satu ke kamar baru bagi mereka, mulai sekarang Davin hanya mengikuti kemauan Anika yang mengatakan kalau dia jijik dan tidak mau tidur di kamar yang sekarang milik Yunita. Anika dari tadi hanya diam melihat suaminya yang masih dengan setelan kantor membawa barang-barang, sebenarnya Anika tidak tega melihat keringat Davin yang bercucuran karena membawa semua barangnya, tapi dia tidak ingin menunjukkan kepeduliannya yang dia pikir akan membuat Davin semakin melunjak. "Aku akan mandi dulu, jadi tunggu sebentar." Anika melirik ke arah kepergian suaminya ke kamar mandi, dia masih enggan membalas perkataan Davin yang sama sekali tidak perlu dibalas baginya. Sampai Davin selesai pun Anika tidak mengubah posisi duduknya, dia masih duduk di tepi ranjang dengan pandangan menghadap ke jendela kamar. "Sayang ...." Davin yang sudah mengenalkan setelan santai memeluk Anika dari belakang, sentuhan lembut yang biasanya Anika rindukan, tapi sekarang tidak lagi. "Lebih baik kita mengobrol sambil tiduran," ujar Davin. Davin berusaha keras menggunakan hati Anika dan meredam kekesalan istrinya yang dia buat sendiri, Davin tidak ingin Anika terus-terusan merasa kesal karena itu juga akan mempengaruhi keadaan bayinya. Sekarang mereka berdua merebahkan diri di kasur dan saling berhadapan satu sama lain, Davin dengan tatapan teduhnya sedangkan Anika dengan tatapan datarnya. Davin mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi istri tercintanya, dia tahu kalau meraih hati Anika kembali tidaklah semudah itu dan akan sangat sulit, tapi dia tetap berusaha. "Maafkan aku ...," lirih Davin. Anika masih dengan tatapan datarnya yang membuat Davin tersakiti tanpa dia melakukan hal lebih dari itu, perkataannya yang tadi serasa tidak dianggap dan tidak perlu digubris sampai Anika tidak menjawab juga tidak merubah tatapan terhadapnya. "Pernikahanku dan Yunita hanya akan terjadi di mata Ibu saja, selebihnya hanya kamu yang aku anggap sebagai seorang istri. Yunita juga sudah sepakat akan hal itu, jadi kamu tidak perlu merasa khawatir ataupun cemburu padanya. Tentang yang aku katakan padamu waktu itu tentang bersikap adil, sepertinya aku tidak akan bersikap adil dan akan memprioritaskanmu juga Yudha, kalian tetap menjadi nomor satu bagiku," jelas Davin dengan penuh kelembutan. "Bukankah yang nomor satu bagimu adalah Ibu? Lalu kedua Yunita dan anak-anaknya, kamu menempatkan aku dan Yudha di pilihan terakhirmu, bukan di posisi pertama!" Baru saja Anika membuka mulutnya dan dia sudah membalas Davin dengan sangat menyakitkan dikala kelembutan yang Davin berikan, Davin tidak ingin menyalakan Anika karena selama ini memang begitu kelihatannya dan ini lebih baik daripada Anika harus mendiamkannya. "Sekarang aku akan memposisikan dirimu di pertama, aku janji." Davin mencoba merayu Anika dengan segala bujukannya. "Apa kamu bisa berhenti mengucapkan janji? Aku muak mendengarnya!" tandas Anika. Davin tersenyum kecut mendengar balasan dari Anika yang begitu tajam tidak bersahabat, Davin juga merasa pantas mendapatkannya karena dia begitu menyakiti hati Anika dari batin maupun fisik. "Baiklah, aku tidak akan mengucapkan lagi dan akan mewujudkan perkataanku. Maaf untuk tamparan ini, maaf untuk pernikahan itu, maaf untuk kebohonganku dan maaf untuk menuruti kemauan Ibu." Davin mengelus pipi istrinya yang pernah dia tampar karena menyinggung soal kematian ibunya, dia benar-benar merasa bersalah yang sampai tidak bisa diungkapkan betapa besarnya. "Bagaimana jika aku yang seperti itu?" tanya Anika. Davin mengernyitkan alisnya mencoba mengerti ke mana arah pembicaraan istrinya, walaupun dia sudah berpikir keras dia masih tidak mengerti apa yang istrinya tanyakan. "Apa maksudnya?" tanya Davin. "Bagaimana jika nanti ayahku menyuruhku untuk menikah dengan pria lain? Lalu aku melakukannya dan aku kembali ke hadapanmu dengan kata maaf, bagaimana menurutmu jika aku yang melakukan itu?" *** Yunita jadi harus makan sendiri di kantin yang biasanya dia ditemani Davin ketika istirahat makan siang. Sekarang dia hanya seorang diri duduk di bangku kantin dengan suasana yang begitu hening di hatinya. Jika saja Davin tidak cuti hari ini, mungkin saja dia akan menemani Yunita terus seperti biasa mereka menghabiskan waktu di kantor dengan penuh obrolan dan topik yang bermacam-macam. Tapi ternyata Davin lebih memilih cuti untuk menghabiskan waktu bersama Anika di rumah dan meninggalkan Yunita seorang diri di kantor, padahal tadi pagi mereka berangkat bersama juga untuk mengantar anak-anaknya. Terdengar suara bisik-bisik di wilayah kantin yang Yunita masih bisa mendengarnya dengan jelas, Yunita juga tahu kalau topik pembicaraan gosip itu adalah dirinya yang selalu saja menempel dengan Davin. Tapi Yunita masih bisa bersyukur karena pernikahannya dengan Davin tidak terendus sampai ke kantor, mungkin jika orang-orang di kantor tahu kalau dia telah menikah siri dengan Davin, mereka akan semakin menggosipkan dirinya. "Padahal Davin hanya menjalankan amanat dari almarhum suamiku yang adalah kakaknya, tapi seakan semua kesalahan dilemparkan begitu saja padaku," gumam Yunita. Yunita menghela napas lelahnya, dia jadi tidak bernafsu makan siang mengingat Davin yang lebih memilih menghabiskan waktu dengan Anika dibanding menemani dirinya di kantor yang penuh gosip. Yunita tidak ada rasa baik untuk melanjutkan makannya, dia malah menuju ke arah toilet untuk sekedar mencuci tangan dan membasuh wajahnya, berharap pikiran pening cepat berlalu dengan gosip yang juga cepat berlalu. Baru saja Yunita mencuci tangannya, dia sudah bisa melihat pantulan orang lain di cermin yang masuk ke toilet, seseorang yang sama sekali tidak akrab dengannya, mungkin saja bisa disebut musuh. "Aku dengar Davin mengambil cuti karena menemani istrinya yang sedang hamil besar?" Sheila membuka pembicaraan dan ikut mencuci tangannya di samping Yunita. "Ya ...," jawab Yunita singkat. "Tidak perlu sedih begitu, itu memang sudah seharusnya dengan apa yang Davin lakukan, dia sudah benar untuk menemani istrinya yang hamil besar di rumah dan mengambil cuti daripada dia harus menemanimu yang manja dan tidak bisa apa-apa di sini," sindir Sheila dengan sarkas. "Kamu bisa mengatakan itu karena kamu teman Anika," balas Yunita. Sheila tersenyum miring melihat respon Yunita yang terlihat lebih murung dari biasanya. "Tentu saja, aku mengatakan itu karena aku adalah teman Anika. Kamu juga harusnya menjaga batasmu sebagai wanita yang punya malu, kamu juga seharusnya tahu apa sanksi sosialnya gatal pada suami orang," sindir Sheila lagi. Yunita mengambil tisu di hadapannya dan mengelap tangannya yang basah sehabis dicuci. "Tuduhanmu tidak berdasar dan tanpa bukti, aku sama sekali tidak merasa melakukan itu," kilah Yunita. "Kmau menanyakan bukti pada apa yang terjadi jelas di matamu dan kamu sendiri yang melakukannya? Bukankah sekarang kamu terlihat seperti berkilah? Bahkan semua orang di kantor ini tahu kelakuanmu, tapi kau mencoba untuk menipu dirimu sendiri. Bagaimana tatapanmu yang melihat ke arah suami orang dengan penuh cinta? Apa kamu malu mengakui dirimu yang menjijikan itu? Kamu tidak bisa bekerja dan terus saja menggatal pada suami orang, tuduhanku yang kamu bilang tidak berdasar dan tanpa bukti jadi terdengar seperti lelucon sekarang." Sindiran dari Sheila setiap perkataannya sangat menusuk ke hati Yunita, tenggorokan tercekat sampai dia kesulitan bernapas, walaupun semua yang Sheila katakan terdengar benar, tapi Yunita tetap merasa sakit hati dan membohongi dirinya sendiri kalau dia melakukan itu. Hubungannya dengan Davin sulit diartikan, walaupun mereka sudah menikah siri perasaannya terhadap Davin susah sekali dideskripsikan karena Davin yang menyuruhnya untuk tidak terlalu berharap di pernikahan mereka karena Davin akan tetap menjadikan Anika ratu di hatinya dan Yunita sendiri tidak tahu kenapa dia terluka dengan itu. "Mereka mengatakan itu karena mereka juga tidak tahu sepertimu, mereka dan kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, hubunganku dan Davin hanya sebatas ipar saja dan tidak lebih. Aku hanya berusaha menjaga hubungan kita agar tidak jauh dan terus berkeluarga." Lagi-lagi perkataan Yunita di mata Sheila terlihat hanya sebagai kilahan saja, bagi Sheila wanita yang berada di sampingnya hanya dianggap sebagai wanita munafik yang terus saja berkilah untuk menutupi kebusukan dirinya sendiri. Sheila menatap pantulan bayangan Yunita di cermin yang juga menatapnya, Sheila tersenyum miring lagi dan matanya dipenuhi dendam pada Yunita, sahabatnya memang yang mengalami semua ini, tapi dia juga ikut merasakan rasa sakit hati yang diderita Anika. "Tidak tahu? Maksudmu tidak tahu kalau kamu itu tidak bisa bekerja? Bukankah pekerjaanmu hanya merapikan berkas dan menyeduhkan Davin kopi, juga merayunya dengan suara mendayu-dayu menggoda? Memangnya apa yang orang kantor tidak tahu dari kelakuan busukmu itu? Caramu bicara pada orang lain dan pada Davin sangatlah berbeda, apa kamu tidak sadar, Yunita?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN