Bab 10. Amanah

1357 Kata
"Anika ...." Anika membalikan tubuhnya tidak ingin menatap Davin lebih lama lagi, entah kenapa dia merasa posisinya sangat tidak adil, rasa sakit hati yang tidak bisa dia balas karena posisinya sebagai istri yang memberatkan dirinya sendiri. "Aku minta maaf, maafkan aku dari mulai awal pernikahan kita sampai sekarang, aku benar-benar minta maaf." Davin merengkuh tubuh Anika ke dalam pelukannya, dia benar-benar tidak tahu kalau Anika memikirkan posisinya jika dibalik, posisi yang tidak pernah Davin pikirkan selama ini. "Aku sudah bilang kalau aku tidak membutuhkan maafmu lagi." "Aku tahu, tapi aku tetap minta maaf," balas Davin. Davin membayangkan kalau dia bercerai dari Anika nanti akankah dia bisa bahagia setelah itu dengan melihat Anika menikah dengan pria lain. Membayangkan dia saja sudah membuatnya hampir gila, apalagi hal itu benar-benar terjadi padanya. "Mulai sekarang aku akan berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengabaikan Anika dan memprioritaskannya agar dia tidak pergi dariku," batin Davin. Davin menyibak rambut Anika yang menutupi wajahnya, terlihat Anika yang sudah basah dengan air mata, Davin menyadari kalau Anika dan dari tadi berpura-pura kuat padahal dia juga ikut menangis tersakiti. Tangan Davin terulur untuk menghapus air mata istrinya yang sudah meninggalkan jejak di pipi Anika, dengan begitu lembut Davin mengusap agar tidak menambahkan rasa sakit yang diderita istrinya. "Maki aku, pukul aku, lukai aku saja daripada hanya diam menyimpannya sendiri, aku tidak kuat jika kamu hanya diam begitu, mungkin kamu sudah muak mendengarnya tapi aku benar-benar minta maaf," ujar Davin. "Seharusnya kita tidak pernah menikah," gumam Anika. Davin membulatkan matanya setelah mendengar gumaman Anika yang mengatakan kalau seharusnya mereka tidak menikah, Davin langsung membalikkan tubuh Anika untuk menatapnya. "Apa yang kau katakan? Kenapa kamu mengatakan itu ...?" lirih Davin. "Aku ... menyesal menikah denganmu." Kalimat berikutnya yang dia dengar dari Anika begitu keras menghantam hatinya sampai terasa berdenyut nyeri menelan pahit, Davin buru-buru memeluk Anika lagi dengan lebih erat. "Aku akan membuatmu bahagia sampai kamu tidak mengatakan itu lagi, maaf ... jangan mengatakan itu lagi, aku mohon. Aku memang bersalah, sangat bersalah padamu. Seperti janjiku aku akan memperlakukanmu dengan baik dan membahagiakanmu sampai akhir," ucap Davin. Anika terus diam berada dipelukan Davin sambil menangis, sesungguhnya dia tidak benar-benar mengatakan itu, dia tidak menyesali semuanya dan ada beberapa yang disyukuri, termasuk jujur bersyukur bertemu dengan Yudha sebagai anak sambungnya. Davin membubuhkan ciuman singkat di kening Anika, dia menatap setiap sisi wajah istrinya yang sering dia pandangi ketika bangun di pagi hari, Anika adalah orang pertama yang Davin lihat ketika dia bangun dari tidurnya. "Kapan kamu akan menceraikannya?" Anika menatap mata Davin lekat, tatapannya beralih memindai ke seluruh wajah Davin mencari jawaban atas pertanyaannya yang tadi. "Aku tidak tahu ...," lirih Davin. "Kalau begitu jangan berharap aku akan bersikap seperti dulu padamu, tidak ada kita jika ada dia di dalam hubungan pernikahanku denganmu!" tandas Anika. Davin mengangguk pelan sambil satu tangannya mengelus pipi Anika, dia mencoba mengerti dan menoleransi sikap yang Anika perlihatkan padanya, baginya itu tidak seberapa dengan luka yang Davin berikan terhadap istrinya. "Iya, tidak masalah kamu bersikap bagaimanapun, asal jangan pergi dan tetap disisiku," ucap Davin. Davin membubuhkan lagi satu kecupan singkat di kening Anika, kedua tangannya terarah ke pipi Anika untuk mengelusnya, mungkin memang ini yang terbaik sebagai jalannya, membiarkan Anika melakukan apa pun sebagai balasan dari perbuatannya. "Kapan kamu akan memeriksakan kandunganmu? Biar aku temani, aku belum pernah mendengar keadaan tentang baikku." Sekarang Davin mengarahkan tangannya untuk mengelus perut Anika. "Besok," jawab Anika singkat. "Baiklah, sepertinya aku akan mengambil cuti lagi." Davin menampilkan senyuman simpulnya merasa lega masalahnya sekarang teratasi sedikit. Baru saja Davin ingin memeluk Anika lagi dering telepon dari ponselnya yang ditaruh di meja samping terdengar, Anika juga bisa melihat nama yang tertera di layar ponsel milik Davin. Yunita, nama yang tertulis di layar ponsel Davin, seketika suasananya jadi canggung karena baru saja Davin mengucapkan perkataan menenangkan Anika, tapi Yunita sudah mengacau suasana yang dia buat. "Halo." Tanpa aba-aba Davin langsung mengangkat teleponnya. "Vin ... ke sini cepat." Davin bisa mendengar suara Yunita yang menangis dari seberang telepon sana, kemudian Davin beralih menatap ke istrinya, baru saja dia membujuknya dan sekarang dia sudah harus ada untuk Yunita. "Anika ...." "Aku paham, pergilah, tuan putrimu sedang membutuhkanmu sekarang," sindir Anika dengan membiarkan Davin pergi. "Bukan begitu, hanya saja tiba-tiba dia menelponku dalam keadaan menangis, aku harus ke sana," ujar Davin memberikan Anika pengertian. "Aku mengerti, apa kamu mendengarku sedang melarangmu?" sindir Anika lagi. Davin menghela napas lelahnya, ternyata mempunyai dua istri tidaklah semudah yang dia bayangkan. Davin menyunggingkan senyum kecutnya kemudian memberi kecupan lagi di kening Anika dengan singkat. "Aku akan pergi dulu, hati-hati di rumah," pamit Davin. Tidak ada senyuman manis yang biasa Anika sunggingkan padanya sebelum pergi, tidak ada lambaian tangan lembut lagi dan tidak ada Anika yang mengatakan padanya untuk berhati-hati di jalan. Sampai sini Davin masih bisa menahannya dengan sikap dan perlakuan Anika terhadapnya, dia masih berpikiran kalau dirinya menyakiti Anika lebih dari apa yang Anika lakukan sekarang. "Kejarlah wanitamu itu, maka aku akan membalasmu nantinya dan aku akan memperbaiki diriku sendiri sampai saatnya tiba bagiku untuk lepas darimu," gumam Anika. *** Yunita terduduk juga termenung di sana seorang diri dengan air mata yang meninggalkan jejak di pipinya, begitu Davin tiba-tiba pulang dan mengambil cuti, Yunita jadi korban gosip seharian di kantor. Yunita memang tahu kalau dia tidak bisa jauh dari Davin, akan banyak orang yang menyerangnya jika dia tidak bersama Davin dan itu sudah menjadi kebiasaan Yunita sejak perbulan-bulan lamanya. Suara deru mobil putih yang datang ke hadapannya, sudah bisa dipastikan itu adalah mobil milik Davin yang dia suruh ke sini di tengah cutinya, Yunita tidak mau kalau naik taxi atau yang sebagainya. Menumpang dengan orang di kantor pun tidak mungkin karena dia tidak dekat dengan semua orang di kantor, karena di kantor dia hanya sebagai bahan gosip atas kedekatannya bersama Davin. "Ada apa?" tanya Davin yang baru saja keluar dari mobilnya. Yunita menampilkan matanya yang berkaca-kaca melihat ke arah Davin, pria di hadapannya benar-benar menjadi penolongnya sekarang setelah kematian almarhum suaminya. "Vin, jangan cuti lagi, aku tidak bisa menghadapi orang-orang di kantor," ujar Yunita. Davin memandangi sekelilingnya, harusnya dia sekarang sedang bersantai dengan Anika dan menikmati cutinya, hanya karena Yunita meneleponnya Davin jadi mengikis kebersamaannya dengan Anika. "Masuklah dulu, kita bicarakan di dalam mobil," suruh Davin. Yunita beranjak dari duduknya kemudian menuju arah mobil, tadinya dia berdiri di depan pintu mobil saja menunggu Davin membukakan mobil seperti yang biasa pria itu lakukan, tapi ternyata Davin langsung masuk ke posisinya, terpaksa Yunita membuka pintu mobilnya sendiri. "Ada apa?" tanya Davin langsung ke inti. "Bisakah kamu tidak mengambil cuti lagi? Orang-orang di kantor jadi lebih berani padaku ketika kamu tidak ada, mereka terang-terangan menggosipkanku sampai aku benar-benar merasa tidak kuat lagi lama-lama berada di sana," jelas Yunita. Davin menghela napas beratnya, sebenarnya selama ini dia diminta almarhum kakaknya untuk mengajari Yunita bagaimana cara mengurus perusahaan peninggalannya setelah dia tidak ada. Tapi dengan kemampuan Yunita yang tidak bisa diandalkan, Davin terpaksa harus mengurusnya seorang diri dengan Yunita yang hanya ikut bekerja di dalamnya, Davin juga terpaksa menggabungkan perusahaannya dengan perusahaan almarhum kakaknya karena itu amanah yang harus dia jaga. "Kamu bisa untuk tidak mendengarnya dan mengabaikan mereka, anggap saja angin lalu," ujar Davin santai. Yunita merasa sakit hati atas perkataan Davin barusan, biasanya pria itu akan mengkhawatirkannya jika dia menangis atau terluka sedikit, tapi sekarang respon Davin benar-benar lain. Yunita merengut karena Davin sekarang dianggap tidak mengerti bagaimana perasaannya digosipkan orang-orang di kantor, padahal dia sudah sampai menangis dan mengatakan tidak kuat lagi. "Kenapa Kamu bisa mengatakan itu? Mereka menggosipkanku tiap hari dan yang tadi adalah yang paling parah yang pernah aku alami, bahkan Kamu tahu bagaimana gosip di kantor beredar, tapi Kamu mengatakan itu dengan mudahnya," ucap Yunita melengos ke jendela luar. "Lalu aku harus apa? Aku tidak bisa memecat mereka hanya karena mereka menggosipkanmu, itu sama sekali tidak melanggar peraturan kantor, aku tidak bisa menghentikan mulut orang-orang yang ingin bergosip karena itu kemauan mereka sendiri," balas Davin. Sekali lagi Yunita dibuat kecewa dengan respon dari Davin yang terlihat angkat tangan pada dirinya, Yunita mengalihkan pandangannya menatap Davin lagi. "Astaga, Vin ... apa waktu kamu berada di rumah tadi Anika meracuni pikiranmu? Sampai kau mengabaikan amanah dari almarhum kakakmu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN