Stella deg-degan. Ia duduk dengan tanda tanya besar di benaknya. Benarkah Randy amnesia? Saat ini di ruangan konsultasi hanya ada Stella bersama dokter yang akan menjelaskan keadaan Randy.
“Bu Stella, kami ingin menyampaikan kalau kondisi Pak Randy saat ini menunjukkan gejala amnesia pasca trauma. Ini berarti ada gangguan pada kemampuan mengingat yang bisa mencakup lupa terhadap kejadian sebelum atau pada saat kecelakaan.”
“Hal ini umum terjadi pada pasien yang mengalami benturan pada bagian kepala yang cukup keras. Saat ini pasien memang sudah sadar dan kondisinya pun bisa dikatakan stabil, tapi Pak Randy belum dapat mengenali lingkungan sekitar maupun mengingat kejadian yang sudah dialami. Saya harap ini hanya bersifat sementara. Tentunya kami juga perlu melakukan pemantauan lebih lanjut untuk fungsi kognitifnya.”
“Kami akan melakukan pemeriksaan lanjutan seperti MRI untuk mengetahui tingkat keparahannya.”
Jeda sejenak.
“Kami memahami ini mungkin mengejutkan bagi Bu Stella. Itu sebabnya kami akan terus memantau kondisi Pak Randy dan memberikan terapi yang sesuai. Sekarang yang paling penting adalah … memberikan dukungan emosional padanya. Tidak perlu memaksa Pak Randy untuk mengingat dengan buru-buru karena itu justru bisa membuat kepalanya sakit dan berpotensi mengalami stres.”
Stella masih terdiam.
“Proses pemulihan memori bisa memakan waktu. Tentunya kami akan mendampingi keluarga dalam setiap tahapnya.”
Setelah mendengarkan penjelasan dokter dan mengajukan beberapa pertanyaan tentang kondisi suaminya, Stella berterima kasih kemudian keluar dari ruangan konsultasi medis.
Stella tidak tahu kalau Arga menunggunya di dekat pintu, padahal ia mengira pria itu sedang di ruang rawat inap Randy.
“Kenapa Pak Arga di sini?”
“Tadi perawat memeriksa keadaan Randy dan memutuskan agar Randy istirahat saja dulu. Pasti ini sangat mengejutkan baginya. Dia terbangun di rumah sakit dalam keadaan nggak mengingat apa pun. Jangankan mengingat saya atau kamu yang bicara dengannya, dia bahkan nggak mengingat siapa dirinya,” jelas Arga.
“Dia sempat berusaha keras memaksa dirinya agar ingat dan itu kurang bagus untuk kondisinya. Makanya perawat meminta pengertian agar saya keluar sehingga Randy bisa istirahat.”
“Barusan dokter juga bilang kalau Randy bisa stres kalau memaksa untuk ingat. Jadi biarlah, biarkan dia istirahat dulu,” balas Stella.
“Ini pasti mengejutkan bagi kamu juga, bukan hanya Randy.”
Stella mengangguk-angguk. “Aku bersyukur Randy selamat dan sekarang udah siuman, tapi fakta kalau dia sekarang nggak mengingat apa pun … bikin aku cukup kaget dan nggak habis pikir.”
“Saya harap Randy bisa ingat lagi semuanya.”
“Dokter bilang ini bisa aja bersifat sementara, kok. Jadi, kita hanya perlu bersabar sampai ingatan Randy kembali pulih,” kata Stella.
Sebenarnya perkataan barusan sekaligus menenangkan dirinya sendiri. Ia harap ingatan suaminya kembali pulih.
Tunggu, tiba-tiba Stella memikirkan tentang sikap Randy padanya baik sebelum maupun setelah mereka menikah. Jujur, Stella merasa ada yang menggantung di antara mereka. Sekalipun Randy beberapa kali bilang menyukainya sehingga memutuskan melanjutkan perjodohan, tapi kalau diingat-ingat dengan teliti, pria itu tak pernah mengatakan sayang dan cinta.
Stella jadi bertanya-tanya apakah Randy benar-benar mencintainya atau tidak? Juga, apa alasan pria itu selalu menolak berhubungan badan dengannya padahal satu kali pun belum meski hubungan mereka sudah resmi menjadi suami-istri. Sayang sekali Stella tidak sempat menggoda Randy padahal ia sangat penasaran bagaimana respons suaminya itu saat melihatnya hanya memakai lingerie saja.
“Andai aku kepikiran untuk merayunya sejak honeymoon, aku pasti udah tahu jawabannya,” batin Stella.
“Stella?” Suara Arga membuyarkan segala lamunan Stella.
“Eh? Maaf, Pak.” Stella sendiri tak menyangka bisa-bisanya ia melamun pada saat-saat begini.
“Saya pamit duluan, ya. Sekali lagi jangan sungkan menghubungi saya kalau terjadi sesuatu atau butuh apa pun. Kamu nggak sendirian.”
Stella tersenyum. “Makasih banyak ya, Pak.”
Jujur, meskipun baru berinteraksi secara intens kurang dari dua puluh empat jam dengan Arga, tak bisa dimungkiri Stella jadi tidak merasa sendirian lagi. Ia malah merasa kalau Arga bukan sekadar bos dari suaminya, melainkan kakaknya atau … om-nya? Bukannya apa-apa, meskipun Stella tidak tahu pasti berapa usia Arga, tapi Stella bisa menebak kalau usia mereka terpaut jauh.
Setelah Arga menghilang dari pandangannya, Stella kembali ke ruang perawatan Randy. Tampak pria itu sedang memejamkan matanya. Bukan karena tak sadarkan diri seperti sebelumnya, melainkan pria itu dibiarkan supaya tidur dan istirahat.
Sambil memandangi Randy, mendadak Stella memikirkan sesuatu. Apa sebaiknya ia berharap ingatan suaminya tak perlu kembali saja? Dengan begitu mereka bisa memulai segalanya dari awal.
Stella akan merawat Randy dengan sepenuh hati dan tentunya penuh cinta. Ia mungkin hanya akan menceritakan hal-hal baik tentang hubungan mereka, mengada-ada pun bukan masalah.
Dengan begitu cinta yang sebenarnya akan benar-benar hadir seratus persen. Dalam kata lain, amnesia yang Randy alami bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk membuat rumah tangga mereka menjadi lebih normal.
“Aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, Randy. Kesempatan untuk membuat rumah tangga kita lebih utuh.”
Stella beranggapan, ternyata Tuhan selalu punya cara untuk membuat pernikahan yang tadinya terasa tidak normal menjadi normal. Urusan ranjang? Sebentar lagi tak akan menjadi masalah baginya dengan Randy.
***
“Loh, Papa tumben jam segini udah pulang?” tanya Aurora dengan nada manjanya yang khas. Sangat menggemaskan.
Tentu itu pertanyaan yang wajar mengingat selama ini Arga lebih sering pulang pada menjelang malam. Sedangkan ini masih menjelang sore.
“Soalnya hari ini papa nggak kerja, Sayang. Alias libur.”
“Terus Papa dari mana dong kalau nggak kerja?”
“Papa ada urusan,” jawab Arga yang kini berlutut agar bisa mensejajarkan tinggi badannya dengan sang putri semata wayangnya.
“Papa, Rora boleh bertanya nggak?” Aurora memang sudah tidak cadel bahkan sejak masih berusia lima tahun. Ia sudah bisa mengucapkan huruf R dengan jelas dan sempurna.
“Tanya apa, Sayang? Silakan dong. Tanyakan apa pun yang Rora ingin tahu.”
“Umur Papa berapa, sih?”
“Tiga puluh enam, tapi kenapa Rora ingin tahu umur papa?” tanya Arga, sedikit bingung. “Papa boleh tahu alasannya, kan, Sayang?”
“Papa boleh nggak … kalau ibu guru jadi mamanya Rora?”
Saat ini Rora memang duduk di bangku TK B dan tahun ini akan masuk Sekolah Dasar.
Jujur, mendengar perkataan Aurora, membuat Arga kaget. Dari mana putrinya mendapatkan kalimat seperti barusan?
Dengan tetap mempertahankan keramahannya terlebih Arga masih terkejut, pria itu bertanya, “Ibu guru siapa?”
“Ibu gurunya Rora. Namanya Bu Ardina. Cantik dan baik loh sama Rora. Umurnya itu berapa ya? Rora lupa 31 atau 32. 36 dikurangi 32 itu satu, dua, tiga … empat. Banyakan Papa umurnya.”
Aurora masih berbicara, “Bu Ardina itu baiiik banget. Kalau jadi mamanya Rora, pasti seru. Papanya mau?”
“Kenapa tiba-tiba Bu Ardina?” tanya Arga kemudian.
“Soalnya Bu Ardina sendirian, kayak Papa.”
Betapa polosnya Aurora. Namun, Arga mustahil menjelaskan kalau yang dikatakan putrinya adalah hal konyol dan mustahil.
“Memangnya Rora mau punya mama?” timpal Ima, ibu dari Arga sekaligus omanya Aurora. Ima tiba-tiba muncul dari arah dapur dan langsung bertanya seperti barusan.
“Mauuu,” jawab Aurora penuh harap. "Semua teman-teman Rora punya mama, tapi Rora nggak punya. Jadi, kan, Rora-nya sedih banget.”
“Tapi Rora punya papa dan punya oma yang sayangnya banget-banget sama Rora,” jawab Arga.
“Ya udah, nanti perpisahan sekolah … biarin Rora nggak punya mama sendirian,” ucap Aurora sangat sedih. “Kalau begitu Rora mau lanjut nonton kartun dulu,” pamitnya kemudian, jelas sekali kalau Aurora ngambek.
“Kamu dengar perkataannya barusan, Arga?” tanya Ima, tepat setelah Aurora menghilang dari pandangan mereka.
“Kamu tidak bisa menyangkal lagi. Sekarang adalah waktu yang tepat bagimu untuk memberikan mama sambung untuk putrimu,” tambah Ima.
“Bu….” Arga tak bisa melanjutkan kalimatnya karena sang ibu langsung menyerahkan ponsel Aurora sehingga ponsel tersebut kini berada di tangan Arga.
“Entah sejak kapan, yang pasti ibu baru tahu hari ini kalau Rora sering menggunakan fitur voice untuk melakukan pencarian.”
“Pencarian apa?”
“Lihat sendiri riwayat pencariannya.”
Tanpa menjawab, Arga langsung membuka ponsel sang putri yang memang tidak menggunakan sandi. Hal yang pertama kali Arga lakukan adalah melihat riwayat pencarian.
Gimana cara punya mama?
Apa bisa beli mama?
Beli mama di mana?
Apakah harga mama mahal?
Cara papa menemukan mama?
Kenapa teman-teman aku punya mama semua?
Kenapa aku satu-satunya yang nggak punya mama?
Dan masih banyak lagi pertanyaan seputar mama yang berhasil membuat hati Arga seakan mencelus.
“Tolong kabulkan permintaannya, Arga. Carilah wanita terbaik yang bisa menjadi mama sambung untuknya,” pinta Ima. “Enam tahun itu waktu yang cukup bahkan lebih dari cukup untuk memulai hidup baru.”
Mama sambung untuk Aurora? Selama ini Arga tak pernah berusaha mencari apalagi menemukannya. Jujur saja, Arga merasa cintanya telah habis untuk mendiang mamanya Aurora. Bagaimana mungkin ia menikah lagi?
Namun, permintaan Aurora tak bisa Arga abaikan begitu saja.
Haruskah Arga mulai mencarinya? Mencoba menemukan mama sambung untuk putrinya.