Bab 7 - Malam Pertama (yang sempat tertunda)

1880 Kata
Satu bulan kemudian…. Kondisi Randy bisa dikatakan semakin membaik, sekalipun ingatannya belum pulih, tapi setidaknya pria itu sudah bisa beraktivitas dengan jauh lebih baik. Semenjak pulang dari rumah sakit dua minggu lalu, selama itu pula Stella merawat Randy dengan penuh perhatian. Stella memastikan Randy tidak melewatkan jadwal rawat jalan, termasuk terapi yang harus secara rutin dijalaninya. Randy yang telah menerima keadaan bahwa dirinya amnesia, belakangan mulai membiasakan diri dengan kehidupan barunya. Ya, hidup baru karena ia sama sekali tidak ingat apa pun tentang kisahnya dengan Stella. Namun yang pasti … Randy merasa beruntung bisa selamat dari kecelakaan dan diberi kesempatan hidup. Terlebih ia bisa merasakan betapa Stella sangat menyayanginya. “Aku pikir aku beruntung karena selamat dari kecelakaan, tapi ternyata aku jauh lebih beruntung karena ternyata memiliki istri yang bukan hanya cantik, tapi sangat perhatian. Bisa dipastikan sangat tulus mencintaiku…,” ucap Randy dalam hati. Pagi ini ia sedang duduk sambil memperhatikan Stella yang sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. “Berarti umur pernikahan kita udah dua bulan, ya?” tanya Randy, membuka pembicaraan. “Ya, kamu benar,” jawab Stella, masih sambil mencuci apel merah di bawah guyuran air mengalir. Randy kembali berbicara, “Meskipun kita dijodohkan, tapi kita udah pendekatan dan pacaran selama tiga tahun. Begitu, kan?” “Lebih tepatnya kita dijodohkan sejak tiga tahun lalu. Kita sama-sama setuju untuk menerima perjodohan yang diatur oleh orangtua kita yang berteman baik. Selama tiga tahun, kita saling mengenal dan merasa nyaman satu sama lain sehingga pernikahan benar-benar digelar dua bulan yang lalu.” “Sayang sekali baru satu bulan kita menikah, aku malah kecelakaan dan melupakan segala yang pernah kita lewati. Dua minggu mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit dan dua minggu terakhir … aku pulang ke apartemen ini lalu mulai membiasakan diri dengan kehidupan pernikahan kita,” jawab Randy. “Makasih udah merawatku dengan tulus. Untuk itu maaf ya, Stella. Maaf karena aku nggak ingat apa pun banyak momen yang udah kita lewati bersama.” Tak bisa dimungkiri, meskipun Randy kehilangan ingatannya, tapi Stella lebih suka Randy versi amnesia seperti ini. Cara bicara pria itu juga jadi lebih hangat. Saat Randy sudah sepenuhnya sembuh, bukankah tidak menutup kemungkinan kalau rumah tangga mereka akan berjalan normal? Dalam kata lain, mereka bisa melakukan hal yang normalnya pasangan suami-istri lakukan. Kalau begini caranya, Stella yakin kalau ia akan lebih bersyukur jika ingatan Randy tidak perlu kembali. Begini saja … Stella sudah bahagia. “Jangan disesali karena aku udah bersyukur banget kamu selamat, Ran.” “Stella, sejak awal aku penasaran. Kenapa kamu memanggilku dengan nama langsung?” “Karena kamu yang minta, Randy. Meskipun kamu tiga tahun lebih tua dariku, tapi sejak awal kamu nggak mau dipanggil mas. Maunya langsung nama aja.” Randy mengangguk-angguk. “Baiklah, aku paham sekarang.” Tak lama kemudian, dua porsi nasi goreng telah Stella sajikan di meja makan, berikut buah-buahan yang tadi sudah dicuci olehnya. Terakhir, Stella meletakkan dua gelas air putih, satu untuknya dan satunya lagi untuk sang suami. Tepat setelah Stella duduk, Randy bertanya, “Apa kita selalu sarapan bersama?” “Iya, kita hampir selalu sarapan bersama. Kalau lunch apalagi makan malam … boro-boro. Kita sama-sama sibuk di tempat kerja.” “Kalau weekend?” “Untuk ukuran pengantin baru, kita ini termasuk jarang menghabiskan weekend berdua. Soalnya kamu sibuk banget,” jelas Stella. “Saking sibuk dan banyak sekali alasan, kita bahkan belum malam pertama,” lanjutnya, dalam hati. Stella sengaja tidak akan membahas soal itu. Ia berkeyakinan dalam waktu dekat, Randy akan benar-benar menyentuhnya. Setelah itu, rumah tangga mereka akan menjadi seratus persen normal seperti orang-orang kebanyakan. Stella hanya tidak perlu mengungkit semua yang telah berlalu. “Maaf ya, bisa-bisanya aku lebih mementingkan pekerjaan.” “Enggak usah disesali. Semua yang udah terjadi, biar menjadi pelajaran buat kita yang baru banget memasuki bahtera rumah tangga,” jawab Stella. Selama beberapa saat, mereka menyantap sarapan. “Ngomong-ngomong aku udah cerita ke orangtua kita tentang kecelakaan yang kamu alami. Setelah sebulan menahan buat nggak ngasih tahu mereka, akhirnya aku berani ngasih tahu. Berani karena aku merasa kamu udah jauh lebih baik kondisinya,” jelas Stella. “Aku nggak bisa membayangkan se-panik apa mereka kalau tahu pas kamu masih kritis. Apalagi waktu itu bertepatan dengan ayah aku yang juga lagi dirawat di rumah sakit,” sambungnya. “Kapan bilangnya?” “Tadi pagi. Aku menjelaskan secara detail tentang kondisi kamu dan mereka pun paham. Seenggaknya kondisi kamu udah jauh lebih baik sehingga mereka nggak perlu panik,” jelas Stella lagi. “Mereka rencananya akan berkunjung ke sini secepatnya,” tambahnya. “Terima kasih kamu udah penuh perhitungan dan gerak cepat menemukan solusi sebelum timbul masalah yang seharusnya nggak perlu. Kamu memang luar biasa.” “Aku hanya melakukan yang seharusnya aku lakukan,” balas Stella. Jeda sejenak. “Ah iya, aku sekalian mau bilang kalau dalam waktu dekat … aku harus mengakhiri masa cutiku. Aku harus kerja lagi,” ucap Stella, sambil memperhatikan reaksi suaminya. “Walau bagaimanapun aku harus kerja, kita nggak bisa hidup dengan pengeluaran tapi tanpa pemasukan. Aku mempertimbangkan ini setelah melihat kondisi kamu jauh lebih baik. Enggak apa-apa, kan?” Mereka memang tidak mengeluarkan biaya perawatan Randy di rumah sakit, tapi tetap saja biaya hidup mereka sehari-hari tidaklah gratis. Selama ini, Stella harus merogoh uang simpanannya untuk keperluan mereka sehari-hari karena semenjak menikah, ia belum mendapatkan uang bulanan dari Randy. Pada saat begini pun Stella mustahil meminta uang pada suaminya yang sudah pasti tidak ingat apakah punya simpanan uang tunai atau tidak. Bahkan, pin kartu ATM-nya sudah pasti tidak ingat sehingga perlu diurus dulu ke bank. “Seharusnya aku yang kerja,” ucap Randy. Raut wajahnya tampak seperti pria paling tidak berguna. “Maaf,” lanjutnya. “Sebelum kecelakaan itu, kita sama-sama kerja. Jadi, aku memang udah seharusnya kembali ngantor,” jelas Stella. “Kalau kamu, nggak seharusnya mikirin pekerjaan dulu. Bahkan, Pak Arga … bos kamu itu memberikan toleransi yang sangat tinggi. Dia bilang, nggak usah buru-buru, yang penting kamu sehat dan pulih dulu. Apalagi kamu memang seharusnya nggak melakukan banyak aktivitas dulu, kan?” “Kamu benar. Kalau begitu aku bakalan berupaya sembuh total sehingga bisa melakukan aktivitas normal seperti sebelum kecelakaan. Sekali lagi, makasih banget buat pengertiannya ya, Stella. Aku merasa beruntung punya istri se-baik kamu.” Merasa beruntung? Itu adalah kalimat yang sangat indah. Stella tersenyum mendengarnya. “Hmm, tapi aku bakal tetap siaga, kok. Jadi kalau kamu perlu sesuatu … bisa langsung telepon atau chat aku.” “Kamu tenang aja, selagi kamu kerja … aku akan berusaha se-mandiri mungkin. Lagian belakangan kamu udah melatihku, kan?” tanya Randy. “Jangan lupa, yang kamu tinggal ngantor itu pria dewasa, bukan anak-anak. Terlepas dari kondisiku, mungkin aku akan lebih banyak menonton TV atau membaca buku.” “Ah, soal ponsel kamu yang udah hancur parah … aku nggak tahu kelanjutannya. Gimana kalau kita beli baru aja?” “Kamu ini ya, entah kamu mau bikin aku mengucapkan terima kasih berapa kali?” Stella tersenyum. “Enggak usah berterima kasih. Aku ini istri kamu. Kita bukan orang lain.” *** Setelah berjalan-jalan di mal menghabiskan waktu berdua selayaknya orang pacaran, untuk pertama kalinya Stella merasa benar-benar sangat dekat dengan Randy. Ternyata memang benar, ada hikmah dari segala musibah. Bisa jadi kecelakaan yang Randy alami adalah campur tangan Tuhan untuk membuat rumah tangga mereka tidak terasa hambar seperti sebelumnya. Mereka juga tidak lupa mampir ke outlet yang secara khusus menjual gadget dari brand ternama. Tidak butuh waktu lama Randy memilih ponsel yang akan dibeli olehnya. Setelah itu, mereka tidak langsung pulang karena ada tempat yang ingin sekalian mereka kunjungi. Sampai pada akhirnya, di sinilah Stella dan Randy berada. Mereka berjalan beriringan di tempat pemakaman umum di mana menjadi rumah peristirahatan Ghea untuk terakhir kalinya. Tentunya Stella terlebih dulu menanyakan lokasinya pada Arga. Syukurlah bos suaminya itu bisa dibilang cepat merespons chat darinya. Meskipun Randy tidak ingat siapa Ghea serta bagaimana interaksinya di tempat kerja dengan mendiang, tapi pria itu memutuskan untuk mengunjungi pemakamannya. Stella pun setuju karena waktu pemakaman Ghea sebulan yang lalu, ia sebenarnya ingin ikut sekalipun tidak mengenal mendiang. Meskipun tidak kenal, berhubung Ghea adalah staf OMJ bahkan terlibat kecelakaan dengan suaminya, Stella ingin sekali ikut melayat. Sayangnya keadaan tidak memungkinkan karena dirinya harus tetap berada di dekat Randy waktu itu. Sambil membawa bunga, Randy meraih tangan Stella untuk menggandengnya. “Hati-hati,” ucap pria itu. Stella mengangguk-angguk. Sampai akhirnya, mereka tiba di pemakaman yang masih baru. Walau sudah sebulan, tapi masih kentara paling baru jika dibandingkan dengan makam di sampingnya. Bahkan, masih ada foto Ghea yang diletakkan di dekat batu nisan. Randy kemudian meletakkan bunga yang sengaja mereka bawa di dekat foto tersebut. Selama beberapa saat Stella memperhatikan foto Ghea. Tentu Stella pernah melihat Ghea, tepatnya saat ia dan Randy menikah, Ghea dan staf OMJ yang lain hadir sebagai tamu undangan. Hanya saja, Stella tidak tahu kalau wanita cantik dalam foto yang sedang dilihatnya itu adalah selingkuhan suaminya. Sementara itu, Randy merasa aneh saat dirinya melihat foto Ghea. Ia merasa dejavu, tapi tidak ingat apa-apa. Spontan ia memegangi kepalanya, membuat Stella menyadari ada hal yang tidak beres. “Kamu kenapa?” tanya Stella cepat. Randy tidak menjawab, malah meringis merasakan sakit kepala yang datang tiba-tiba. “Apa kamu ingat sesuatu?” tanya Stella lagi. Randy secepatnya menggeleng. “Aku hanya merasa pernah melihatnya.” “Tentu kamu sering melihatnya. Dia rekan kerjamu.” “Dan terlibat kecelakaan saat bersamaku. Aku selamat tapi dia meninggal,” ucap Randy. “Apa ini bagian dari rasa bersalahku?” “Semua udah takdir, Ran. Kita nggak bisa mengendalikan itu. Mari berdoa agar Ghea tenang di sana.” *** Malam harinya…. “Bagaimana kalau ingatanku nggak bisa pulih lagi?” tanya Randy yang saat ini sedang berbaring di ranjang bersama Stella. Mereka sudah sama-sama berbaring telentang dan memakai setelan tidur meski waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. “Justru itu yang aku harapkan. Aku suka kita yang begini. Kamu jadi lebih hangat,” jawab Stella, dalam hati. “Jangan cemaskan itu, Randy. Dunia nggak serta-merta berakhir hanya karena ingatan kamu nggak kembali. Bukankah kita bisa menciptakan momen dan kenangan baru dalam hidup kita? Jadi, selagi kita sama-sama, aku rasa itu nggak menjadi masalah.” Randy kemudian berbaring menyamping menghadap Stella. Begitu juga Stella yang langsung berbaring ke arah Randy. Membuat mereka kini saling berhadapan. “Stella….” “Hmm?” “Bukankah kita masih bisa dibilang pengantin baru?” “Entahlah, udah dua bulan soalnya. Masihkah layak disebut pengantin baru?” balas Stella. “Memangnya kenapa?” lanjutnya. “Dua bulan tapi faktanya banyak waktu terbuang akibat kecelakaan yang aku alami,” ucap Randy. Stella masih terdiam. Ia yakin suaminya belum selesai bicara. “Bolehkah aku melakukannya denganmu malam ini?” Deg. Barusan itu kalimat yang sangat ingin Stella dengar sejak sah menjadi istri Randy. “Sebenarnya aku ingin bilang dari kemarin-kemarin, tapi aku coba menahannya dulu.” “Kenapa ditahan?” tanya Stella. "Enggak usah ditahan." “Sekalipun kita pasti udah melakukannya sebelum aku kecelakaan, tetap aja ada rasa takut. Aku takutnya kamu nggak nyaman karena aku nggak ingat apa pun tentang yang udah kita lewati. Itu sebabnya aku tanya dulu … bolehkah kita berhubungan suami-istri malam ini?” Tunggu, apakah ini akan menjadi malam pertama yang sempat tertunda?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN