Bab 8 - Di Atas Ranjang

2240 Kata
Di atas ranjang, tidak ada jarak lagi antara Stella dengan Randy. Bibir mereka kini saling bertemu dan memberikan rasa nikmat satu sama lain. Mereka melakukan ciuman yang penuh hasrat ini dalam posisi duduk. Mata Stella terpejam sambil meresapi permainan bibir Randy yang terus menjelajah area bibirnya. “Aaahhh.” Stella spontan mendesah saat tangan Randy dengan nakal mulai menyusup ke dalam bra-nya. Bahkan, Stella tidak menyadari sejak kapan suaminya itu melepaskan piama yang ia kenakan. Detik berikutnya, tahu-tahu Randy sudah melepaskan bra Stella. Sambil memainkan dua bulatan yang kenyal dan lembut itu, Randy yang semua masih menjelajahi bibir Stella, kini ciumannya merambat ke telinga lalu turun ke lehernya, menciptakan kiss mark di sana. “Aaahhh,” desah Stella lagi. Terlebih saat Randy mulai membaringkan tubuhnya, kemudian bertingkah seperti bayi yang kehausan. Randy seakan mengajak Stella terbang melayang dengan isapan-isapannya pada bulatan indah itu secara bergantian, membuat Stella memejamkan mata lalu membukanya lagi secara berulang saking nikmatnya. Mereka yang sudah sama-sama tanpa busana, saling memberikan sinyal untuk siap terbang lebih tinggi pada permainan utama yang semakin panas dan menggila. Randy kemudian memosisikan diri di atas tubuh sang istri, bersiap melakukan penyatuan yang sangat Stella tunggu-tunggu sejak awal mereka menikah. “Stella….” Stella tidak menjawab panggilan Randy, rasanya ia ingin suaminya itu segera memulainya. Namun, kenapa pria itu malah terus memanggilnya sampai berkali-kali? “Stella, bangun.” Tunggu, bangun? Randy bilang bangun? Stella spontan membuka matanya. Ia langsung terperanjat melihat Randy yang semula tidak memakai sehelai benang pun, kini terlihat memakai pakaian lengkap. Bahkan, Stella sendiri pun masih memakai piamanya seperti tadi malam saat hendak pergi tidur. Jadi yang barusan itu mimpi? Ya ampuuun! “Ini udah jam tujuh. Tumben banget kamu kesiangan,” ucap Randy yang semakin menyeret Stella pada dunia nyata. Rupanya percintaan panasnya dengan Randy yang hampir berhasil … benar-benar hanya mimpi. “Aku tunggu di luar, ya. Papa sama mama juga baru pada selesai mandi dan lagi siap-siap sarapan. Aku udah beli sarapannya,” ucap Randy yang menyadari ‘nyawa’ istrinya belum seratus persen terkumpul. “Kamu cuci muka dulu aja,” tambahnya. “Iya, nanti aku nyusul,” balas wanita itu. Tepat setelah Randy menutup pintu kamar dari luar, Stella langsung beranjak duduk. Semalam ia dan Randy memang hampir melakukannya. Stella sudah mengiyakan untuk berhubungan badan dengan Randy terlebih itu yang sangat ia inginkan sejak awal mereka menikah. Sayangnya, sebelum mereka melakukan apa-apa atau dalam kata lain tidak ada kontak fisik apa pun di antara mereka … bel pintu berbunyi sebagai tanda ada yang datang. Rupanya mama dan papanya Randy alias mertua Stella yang datang dari luar kota. Mertua Stella langsung memutuskan datang semenjak diberi tahu Randy sempat kecelakaan dan hilang ingatan. Mereka baru tiba tadi malam dan timing-nya pas sekali saat Stella dan Randy hampir melakukan aktivitas panas yang menjadi favorit pasangan menikah. Setelah itu? Mereka mengobrol sampai malam dan ena-ena pun batal. “Bahkan udah di depan mata pun harus ada acara gagal,” gumam Stella, lebih kepada dirinya sendiri. Wanita itu kemudian beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Tadinya Stella memutuskan hanya akan menggosok gigi dan mencuci muka saja, tapi tiba di kamar mandi, ia berubah pikir. Menurutnya lebih baik sekalian mandi. Tentunya Stella berusaha jangan lama-lama. Beberapa saat kemudian, Stella menyadari sesuatu. Ada tamu tidak diundang datang. Sebenarnya ini sudah sesuai tanggal bahwa tamu bulanannya datang, tapi tetap saja … kenapa harus hari ini? Kenapa harus sekarang? “Seolah semesta nggak merestui aku dan Randy melakukannya, padahal kami resmi suami-istri,” gumam Stella. Sampai akhirnya, Stella memulai kegiatan mandinya. *** Setelah mandi dan berpakaian lengkap, Stella memperhatikan penampilannya melalui cermin. Ia kemudian keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ia yakin suami dan mertuanya sudah menunggunya di sana. Semakin dekat, Stella mendengar samar-samar terdengar obrolan antara Randy dengan orangtuanya. Hal yang membuat Stella memutuskan menguping sebentar untuk bisa memahami apa yang sedang mereka bicarakan. “Biaya rumah sakit gimana?” tanya mamanya Randy. “Kabar baiknya semua biaya ditanggung OMJ dan asuransi, Ma.” “Syukurlah kalau begitu.” “Stella pasti capek banget selama ini udah ngurusin aku. Serius, setelah keluar dari rumah sakit … ini pertama kalinya dia bangun kesiangan. Selama ini dia selalu bangun sebelum aku dan menyiapkan ini-itu. Sarapan pun dia yang masak sendiri,” jelas Randy kemudian. “Aku yakin dia capek, tapi dia nggak pernah mengeluh. Dia punya semangat yang tinggi dan aku yang nggak ingat apa-apa aja jadi merasa kalau dia itu istri yang luar biasa.” Randy kembali berbicara, “Aku merasa sangat beruntung memiliki istri sepertinya dan dengan keadaanku yang sekarang begini, aku jadi takut.” “Apa yang kamu takutkan?” timpal sang papa. “Aku takut Stella meninggalkanku.” “Tidak akan. Dia tidak mungkin seperti itu,” jawab mamanya. “Stella itu tulus mencintaimu sejak kamu belum kecelakaan. Percayalah, perasaan dia pasti masih sama.” “Aku harap juga begitu,” balas Randy. “Aku akan berusaha nggak merepotkan. Serius, dia pasti capek banget ngurusin aku. Apalagi sebentar lagi dia kembali masuk kerja. Udah terlalu lama dia mengambil cuti, yang artinya apa? Sebentar lagi Stella yang menjadi tulang punggung, karena aku masih belum bisa melakukan aktivitas normal bekerja.” “Kamu pasti sembuh dan bisa bekerja lagi. Semangat ya, Randy.” “Aku akan bertekad sembuh demi istriku, Pa, Ma….” Mendengar itu, Stella jadi terharu. Jujur, ia merasa Randy itu hampir tidak pernah begini. Namun, kecelakaan yang dialami pria itu telah mengubah segalanya. “Randy, tolong bilang pada kami kalau kalian kesulitan uang. Kami akan membantu se-bisa kami.” “Terima kasih, Pa, Ma. Maaf kalau aku jadinya merepotkan semua orang, termasuk papa dan mama juga.” “Eits, jangan bilang begitu. Kamu tidak merepotkan siapa pun. Namanya juga musibah, tidak pernah ada yang tahu. Andai tahu akan kecelakaan, kamu pasti tidak akan bepergian naik mobil, kan?” Kali ini Stella sudah keluar dari persembunyiannya dan menghampiri mereka. “Selamat pagi, Ma, Pa, Randy. Maaf aku kesiangan,” ucap Stella. “Ini masih pagi, jadi tidak bisa dikatakan kesiangan. Sekarang, ayo kita sarapan. Duduklah, Nak.” Setelah itu, mereka mulai sarapan bersama sambil membicarakan banyak hal. Termasuk tentang orangtua Stella yang baru bisa menyusul ke sini beberapa hari lagi. *** Keesokan harinya…. Setelah satu bulanan lebih tidak masuk kantor, hari ini Stella resmi mengakhiri masa cutinya. Ia berangkat ke kantor dengan penuh semangat. Lebih tepatnya setengah semangat, karena setengahnya lagi ia kepikiran suaminya. Mudah-mudahan Randy sanggup membiasakan diri ditinggal kerja olehnya. Lagi pula untuk saat ini seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengingat mama dan papa Randy masih belum pulang sehingga bisa menjaga Randy selagi Stella ngantor. Di kantor, adakah yang menyambut kedatangannya? Tentu tidak. Stella bahkan tidak punya satu pun teman dekat di kantor. Semuanya punya urusan masing-masing dan saling tidak peduli. Bisa dibilang di kantor itu tidak ada pertemanan alias lo-lo, gue-gue. Atau memang Stella yang tidak diajak bergabung? Saat Stella mengambil cuti panjang untuk merawat suaminya saja, sama sekali tidak ada yang bertanya apalagi mengkhawatirkan keadaan suaminya. Ini yang menjadi alasan Stella tidak punya teman bicara waktu itu sehingga lebih memilih curhat pada platform bernama Gadis Panggilan. Stella hanya punya teman dekat saat kuliah saja, ini pun sekarang sibuk dengan urusan masing-masing dan hampir tak pernah bertemu lantaran bekerja di tempat berbeda. Beberapa dari mereka sudah punya keluarga masing-masing dan cukup sibuk. Saat menemui HRD untuk melapor kalau dirinya sudah kembali masuk kerja sehingga memastikan kehadirannya tercatat secara resmi, Stella langsung diberi kejutan yang kurang menyenangkan. “Sebentar, maksud Bapak?” Stella tentu saja kebingungan. “Maaf, kamu harus menandatangani ini.” “Surat pengunduran diri? Kenapa saya harus tanda tangan itu?” “Kami sudah menemukan pengganti kamu dan maaf kalau ini membuatmu kecewa atau tersinggung. Ini bukan keputusan saya, melainkan keputusan atasan kamu.” “Ini nggak masuk akal. Kenapa saya yang resign? Seharusnya perusahaan memberikan surat PHK secara resmi, bukan pengunduran diri seperti ini. Ini pun setidaknya 14 hari sebelum PHK dilakukan atau minimal banget 7 hari deh buat masa percobaan. Dalam surat tersebut wajib memuat alasan saya di-PHK, rincian kompensasi yang akan diberikan, serta hak-hak yang timbul akibat PHK. Bukan malah staf yang dipaksa resign begini.” “Saya memintamu tanda tangan, bukan ceramah.” “Ini nggak adil, Pak. Saya jelas-jelas dipaksa resign, bukan atas kemauan sendiri. Tapi di situ tertulis saya melakukannya atas kemauan sendiri tanpa paksaan dari siapa pun,” jawab Stella. “Kalau mau memberhentikan saya, seharusnya melalui proses PHK resmi, bukan nyuruh saya mengundurkan diri seperti ini,” tambahnya. “Jadi kamu menolak menandatangani ini?” tanya HRD dengan santainya sambil mengangguk-angguk. “Hmm, kamu mau mengumpulkan bukti dulu kalau kamu dipaksa? Setelah itu, melaporkannya pada serikat pekerja atau sekalian membuat pengaduan ke Dinas Ketenagakerjaan? Atau perlu saya rekomendasikan LBH agar kamu bisa berkonsultasi?” Stella terdiam. “Kalau begitu lanjut saja bekerja, tidak apa-apa. Saya jamin kamu tidak lama lagi akan mengundurkan diri karena sungguh … kamu sudah tidak dibutuhkan lagi di sini. Bahkan, tidak diinginkan. Jadi, se-kuat-kuatnya kamu mau sampai kapan, ya,” pungkas sang HRD. *** Meskipun merasa tidak adil, Stella akhirnya secara resmi bukan hanya mengakhiri masa cutinya, melainkan masa kerjanya juga. Ia juga tidak mau membuang-buang energi lebih banyak untuk bertahan di sana. Sekalipun kini statusnya adalah job less, itu bukan masalah karena Stella akan mencoba mencari pekerjaan di tempat lain. Tidak ada perpisahan bahkan tidak ada yang peduli, Stella berjalan keluar kantor sambil membawa kotak berisi barang-barangnya yang bahkan sudah dibereskan entah sejak kapan. “Stella,” panggil seorang staf wanita yang sebenarnya tidak terlalu dekat dengannya, tapi tidak juga memusuhinya. Stella tersenyum menyambut wanita yang kini melangkah ke arahnya itu. “Semoga kamu menemukan tempat kerja baru di mana kamu jauh lebih dihargai, ya.” Sejujurnya Stella tidak kaget didepak seperti ini karena bukan pertama kalinya ada staf yang tiba-tiba dipaksa mengundurkan diri begini. Hanya saja, Stella tak menyangka kalau dirinya akan mengalaminya sendiri. “Ngomong-ngomong bagaimana keadaan suami kamu?” Stella kira tidak akan mendengar pertanyaan seperti itu sampai akhir, ternyata masih ada yang peduli. Wanita di hadapannya ini sebenarnya pendiam dan tidak pernah neko-neko, tidak pernah menjilat atasan juga. Sekarang pun Stella bisa melihat ketulusannya saat menjadi satu-satunya yang mengucapkan salam perpisahan. “Suamiku udah jauh lebih baik, makanya aku balik kerja. Tapi ya begini,” ucap Stella, berusaha mengatakannya dengan semringah meskipun ia dipaksa resign sehingga tak mendapatkan kompensasi apa-apa. Setelah mengobrol selama beberapa saat, mereka sempat berpelukan sejenak sampai akhirnya Stella benar-benar meninggalkan tempat itu. Setidaknya ada satu orang yang membuatnya merasa tidak se-mengenaskan itu. Alih-alih langsung pulang, Stella memutuskan mampir di kafe untuk sekadar minum kopi dingin di kala udara siang ini sangat terik. Saat mengantre untuk memesan kopi, tanpa diduga Stella bertemu dengan bos dari suaminya yang juga sedang mengantre. Mereka akhirnya memutuskan duduk di tempat kosong untuk sekalian mengobrol. “Bagaimana keadaan Randy?” “Sudah jauh lebih baik, Pak. Hanya saja, ingatannya belum pulih. Dan mungkin butuh waktu entah sampai kapan untuk bisa masuk kerja lagi.” Arga mengangguk-angguk. “Saya nggak nyangka bertemu kamu di sini. Apa kamu sering ke sini?” “Bisa dibilang begitu karena letaknya memang dekat dengan kantorku. Ah, udah bukan kantorku lagi sekarang,” balas Stella. “Sejujurnya aku juga nggak nyangka ketemu Pak Arga di sini,” tambahnya. “Saya kebetulan baru aja meeting di sekitar sini lalu memutuskan mampir ke sini sebelum kembali ke kantor.” “OMJ baik-baik aja, kan, Pak?” Stella bertanya begini karena yakin perusahaan yang Arga kelola tersebut pasti terdampak setelah kehilangan dua stafnya. Sekalipun Randy hanya bersifat sementara, tapi ia yakin pasti itu sangat berpengaruh. “Saya ingin bilang baik-baik saja, tapi nyatanya kehilangan dua staf inti membuat perusahaan agak morat-marit. Saya berusaha menemukan pengganti mereka setidaknya untuk sementara sampai Randy kembali, tapi nyatanya nggak se-mudah itu.” “Berarti belum ada pengganti yang mengisi posisi Ghea sama Randy, Pak?” Padahal Stella kira sudah. Terlebih kantor Stella saja se-mudah itu mendapatkan pengganti, membuatnya semakin sadar kalau posisinya tidak se-penting itu. Arga menggeleng. “Belum. Padahal kami bisa dengan cepat menemukan kandidat yang dibutuhkan klien, tapi kesulitan mencari kandidat untuk perusahaan sendiri.” Arga kemudian memperhatikan kotak yang Stella letakkan di kursi kosong. “Ngomong-ngomong kamu resign, ya?” tanyanya kemudian. “Harusnya ini hari pertamaku kerja lagi setelah cuti lama, tapi aku dipaksa resign. Catat, dipaksa mengundurkan diri, ya. Bukan di-PHK.” Anehnya, Stella tidak merasa sungkan bercerita pada Arga. Apa karena pria itu pernah membantunya sehingga ia merasa dekat dengan bos suaminya itu? Terlebih sejak di rumah sakit Stella merasa kalau Arga itu sudah seperti kakaknya atau bahkan om-nya, bukan? “Apa kamu akan mencari pekerjaan di tempat lain?” “Tentu iya. Soalnya Randy, kan, nggak bisa kerja dulu sampai waktu yang nggak bisa ditentukan. Cuma memang aku belum tahu mau melamar ke mana. Baru mau nyari-nyari loker.” “Kamu berminat bergabung dengan OMJ? Saya ingat, Randy beberapa kali pekerjaannya dibantu olehmu sejak kalian belum menikah. Maksud saya, sedikitnya kamu sudah paham dengan job desk-nya. Itu benar?” Stella terdiam. Agak terkejut dengan penawaran ini. Jujur, ia senang dan bersyukur karena artinya … ia tidak akan jadi pengangguran. “Memangnya aku boleh gabung dengan OMJ?” “Memangnya siapa yang melarang?” Arga bertanya balik. “Kalau kamu bersedia, kita bisa mulai membahas tentang offering letter-nya.” Tunggu, apakah ini nyata?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN