Aidan terlihat kecewa. Dia melihat Celestine dengan tatapan yang sulit dijelaskan, ada sebuah amarah, ketidakpuasaan dan ketidakberdayaan di sorot mata yang dipancarkan pria dengan mata anjing, tapi tingkah seperti serigala itu. Celestine sedang memakai lipstik berwarna merah tua. Biasanya, dia menggunakan warna yang lebih merah dan menggoda, tapi kali ini tidak. Dia akan pulang ke rumah dan artinya, itu adalah sebuah perang. Arya, suaminya, mengatakan bahwa ayahnya akan datang.
Aruna Wijaya adalah ayah kandung Celestine, seorang konglomerat dan politikus yang terkenal di Jakarta. Bahkan, bisnis keluarga mereka di luar negeri bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Ada banyak yang mereka lalukan, meskipun tidak banyak orang yang mengetahuinya. Citra mereka terlalu bagus sampai membuat banyak lubang yang harus ditutupi dan tidak boleh terbuka sedikit pun.
"Kamu benar-benar harus pergi?" Aidan akhirnya menyuarakan isi hatinya.
"Aku harus pergi, Sayang. Ayahku akan datang ke rumah untuk berkunjung. Kami harus tampil mesra di depannya, agar dia tidak mencoba untuk menghancurkan siapapun seperti dulu."
Aidan terlihat diam, dengan sorot mata yang berubah. Tatapannya menunjukkan sebuah kemarahan, kekosongan dan kehampaan, kemudian dia berusaha menyembunyikannya dengan sebuah senyuman.
"Kamu harus bermesraan dengan suamimu?"
"Sedikit, bagaimanapun, kami adalah sepasang suami-istri paling mesra di hadapan publik."
"Harus?" Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan karena sudah jelas jawabannya.
"Itu adalah kewajiban, Sayang."
"Aku benci membayangkan dia menyentuhmu." Aidan seperti anak kecil yang merajuk.
Aidan melipat bibir, sedikit tidak senang dengan fakta itu.
"Jangan merajuk, tempat ternyamanku adalah kamu. Meski tidak benar-benar aku katakan, tapi aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama padamu, Aidan."
Aidan tersenyum lalu mengecup bibir Celestine.
"Aku akan menunggumu di sini."
"Aku mungkin tidak akan datang malam ini. Namun jangan khawatir, aku akan datang lagi setelah rumah dalam kondisi aman dan terkendali. Arya juga tidak akan peduli, tapi ayahku peduli. Jadi aku harus berhati-hati."
Aidan mengangguk mengerti.
"Aku mencintaimu, Celestine, sepenuh hati dan jiwaku," bisiknya dengan mesra.
Celestine membalas dengan napas yang berat, menggenggam wajah Aidan dan membisik pelan di antara helaannya,
"Kalau ini mimpi... maka jangan pernah bangunkan kita. Aku juga sangat mencintaimu, Aidan."
Aidan tersenyum kecil, menunduk, menyentuh keningnya ke kening Celestine. Dalam diam, mereka tahu bahwa dunia di luar sana—dengan segala pengkhianatan, ambisi, dan permainan kekuasaan—sedang menunggu mereka kembali. Namun untuk saat ini, untuk beberapa jam yang dicuri dari kenyataan, mereka memilih untuk tetap di sana dan melebur dalam cinta yang damai.
Hanya ada kehangatan, kelembutan, dan kepastian yang tak bisa diberikan oleh siapa pun selain satu sama lain.
Dan di luar jendela, cahaya kota terus berpendar seperti saksi bisu kisah cinta yang seharusnya tak pernah terjadi tapi justru tumbuh paling kuat dalam ketersembunyian.
Dengan mobil sport merahnya, Celestine kembali. Dia pulang ke rumah bersama, rumah di mana Arya, suaminya berada.
Celestine memarkirkan mobilnya, lantas turun. Ia terlihat kesal meskipun seharusnya tidak.
Suara roda koper beradu dengan lantai marmer menyambut langkah Celestine yang baru tiba di rumah megah mereka di kawasan elite Jakarta. Wajahnya datar, langkahnya mantap, tapi ada guratan letih di sorot matanya. Ia menarik napas panjang, menggantungkan mantel di gantungan yang terlalu mahal untuk disentuh, lalu menatap ke arah tangga.
“Selamat datang di rumahmu sendiri,” suara Arya terdengar dari ruang tamu. Datar, sinis, tanpa nada rindu. "Ups, salah. Rumah kita."
Celestine menoleh lalu berdecak tidak suka. Senyum tipisnya terukir—sangat tipis, hampir palsu. “Apa kabar, suamiku yang sempurna?”
“Cukup baik untuk calon pemimpin daerah. Dan kamu?”
“Sibuk menyelamatkan perusahaan dari investor brengsek.”
Mereka bertatapan seperti dua aktor yang akan naik panggung, lalu sama-sama menarik napas saat suara asisten rumah tangga masuk memotong ketegangan di antara keduanya.
“Tuan Aruna sudah dalam perjalanan. Lima menit lagi sampai, Bu.”
Seolah tombol otomatis ditekan, keduanya berdiri lebih tegak, tersenyum lebih hangat, dan merapat seolah dunia mereka tak retak.
"Kamu harus mandi dan mengganti pakaianmu, Istriku."
Celestine mengangkat satu sudut bibirnya, "Kamu sudah menyiapkannya, kan?"
"Tentu, gaun putih yang sangat cocok dengan kulit indahmu, Sayang."
"Menarik, kamu bahkan tidak tahu kalau aku sangat membenci warna putih." Celestine menatap tajam pada Arya, "Berapa lama kita menikah? Kemarin?"
"Kamu kehilangan ingatan? Kita menikah tiga tahun silam, Sayang."
Celestine merasa akan muntah saat mendengar panggilan itu dari Arya. Meski sudah pernah mendengarnya, tetap saja, setelah kedatangan Aidan, panggilan itu terasa semakin memuakkan bila orang lain yang mengucapkannya.
"Aku juga menyiapkan sesuatu untukmu."
"Benarkah?" Arya pura-pura terkejut.
"Dasi berwarna merah darah."
"Oh, ya Tuhan, terima kasih, Istriku. Kamu bahkan tidak tahu bahwa aku sangat benci warna merah. Itu membawa mimpi buruk untukku." Arya menatap Celestine dengan tatapan menusuk.
"Hah, aku akan pergi ke atas. Sebaiknya kamu bersiap, sebelum aku menuangkan wine ke wajahmu karena tidak menggunakan hadiah yang aku siapkan." Celestine berlalu meninggalkan Arya yang terlihat mengepalkan tangan dengan rahang yang mengeras.
Celestine dan Arya sudah menunggu di depan. Mereka sudah siap. Celestine dengan gaun putih pemberian Arya, dengan rambut yang disanggul ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Sedangkan Arya menggunakan jas dan kemeja hitam dengan dasi berwarna merah pemberian Celestine. Mereka seperti dua aktor yang sudah veteran, saling merangkul menunggu kedatangan seseorang yang sangat mereka takuti di atas segala manusia lainnya.
Deru mobil mewah berhenti di pelataran. Aruna Wijaya turun dengan jas abu-abu rapi dan tatapan tajam yang seperti bisa menembus retakan cat di dinding rumah mereka. Ia tak menyukai ketidaksempurnaan—terutama dalam keluarga.
“Celestine,” katanya, suara berat dan penuh kendali.
“Ayah,” Celestine mencium tangan ayahnya dengan kepala tertunduk.
“Arya.”
“Pak Aruna,” Arya menyambut dengan jabatan tangan yang penuh hormat, seperti dua diplomat berbahaya yang sedang menyembunyikan pedang di balik jas mereka.
Tatapan Aruna menyapu seluruh ruang, lalu ke wajah mereka berdua. “Kalian terlihat... baik.”
“Selalu, Ayah,” jawab Celestine manis.
“Seperti pasangan ideal yang layak masuk sampul majalah keluarga,” tambah Arya dengan senyum terkendali.
Aruna mengangguk. Akan tetapi matanya mengawasi, mencatat. Ia tahu segalanya, tapi ia lebih suka semuanya tetap tampak utuh.
"Jangan pernah mencoba saling menjatuhkan, kalian adalah rekan dalam hidup dan kemenangan." Aruna memperingatkan.
Celestine dan Arya mengangguk lalu mereka bertiga masuk ke dalam, menuju meja makan malam yang dingin dan menyesakkan. Layar sudah terangkat dan drama rumah tangga murahan akan segera dimulai.