Bab 7 Pemburu dan Mangsa

1000 Kata
Di balik tirai jendela yang setengah tertutup, cahaya kota berpendar samar menerangi tubuh mereka yang saling merangkul. Napas Celestine memburu, jantungnya berdegup tak karuan saat tangan Aidan perlahan menjelajah setiap lekuk tubuhnya. Ini bukan yang pertama, tapi tetap saja, rasanya masih sama — mungkin karena yang melakukannya adalah pria tampan dan menawan, yang cintanya mengalir seperti anggur tua, semakin dalam dan menghangatkan setiap kali diteguk. Aidan menatap mata Celestine dalam-dalam, seolah ingin menyampaikan seluruh perasaannya tanpa kata. Celestine menerimanya dengan utuh, tanpa mengeluh, memberinya ruang untuk tumbuh dan bertaut. Mereka seperti dua jiwa yang saling menggenggam dalam keheningan malam, saling mengandalkan dan menguatkan. “Tuhan, kau terlalu indah untukku,” bisiknya dengan suara rendah yang nyaris menggetarkan udara. Celestine menggigit bibir bawahnya, menahan gelombang rasa yang menggelegak dari dalam dadanya. Namun, saat tangan Aidan menyentuh bahunya dan meluncur perlahan ke lengannya, semua pertahanan itu runtuh seperti dinding pasir dihempas ombak. Sentuhan mereka bukan sekadar fisik. Itu adalah percakapan rahasia antara dua hati yang selama ini menanggung sepi. Celestine membalas dengan menggenggam tangan Aidan, membiarkan kehangatan itu menyebar dan membasuh luka-lukanya. Ketika bibir mereka bertemu, dunia seakan lenyap. Tak ada waktu, tak ada beban, hanya dua insan yang mengizinkan diri mereka larut dalam badai rasa. Nafas mereka berpacu, seolah mengejar satu sama lain dalam tarian api yang panjang dan berulang. “Setiap detik bersamamu, aku seperti terjebak dalam mimpi yang tak ingin aku bangun,” ucap Aidan, suaranya dalam dan serak oleh gairah. Celestine membalas dalam napas tersendat, “Sentuhanmu... membuatku lupa akan luka yang selama ini kupendam.” Aidan membelai wajahnya lembut, jempolnya mengusap pipi Celestine yang mulai memanas. “Aku ingin menjadi alasan kau tersenyum… dan menangis. Jika itu berarti kau merasa hidup, aku akan melakukannya.” Celestine menunduk, membiarkan bibirnya menyentuh leher Aidan, menyerap panas dari kulitnya. “Jangan biarkan aku pergi... aku tak kuat menghadapi dunia ini tanpamu.” Aidan mengusap rambutnya, merapatkannya ke dadanya. “Aku tak akan pernah membiarkanmu sendiri. Kita hadapi semuanya bersama, apapun harganya.” Bibir Aidan mengecup kulit leher Celestine, meninggalkan jejak-jejak hangat yang menyebar seperti bara. Sentuhan itu membuat Celestine menggigil, bukan karena dingin, tapi karena terlalu banyak rasa yang tertahan dan akhirnya menemukan celah untuk mengalir bebas. “Tiap sentuhanmu seperti arus listrik yang mengaliri tulang-tulangku,” bisik Celestine lirih. Aidan mengangkat dagunya, menatap mata Celestine yang mulai berembun. “Aku ingin kau tahu betapa dalam aku menginginkanmu, bukan hanya hari ini, tapi juga esok dan selamanya.” Ia mengangkat tubuh Celestine perlahan ke pangkuannya. Tubuh mereka bersatu dalam kehangatan yang membuncah, detak jantung mereka menyatu dalam irama yang sempurna. Di tengah peluh dan desir nafas yang saling mencari, Celestine berbisik, “Kau adalah api yang membakar dinginnya hatiku.” Aidan membalas dengan kecupan di keningnya. “Dan kau, Cel, adalah cahaya dalam malam-malamku yang kelam.” Mereka hanyut dalam gelombang perasaan, tubuh mereka saling mengingat. Tak ada hitungan waktu, hanya detik-detik yang membentang panjang dalam pelukan dan kecupan yang tak kunjung berakhir. Gairah melingkupi mereka, namun bukan dengan gemuruh liar, melainkan dengan intensitas yang halus—seperti badai yang tertahan di balik tirai hujan. “Setiap kali kau dekat,” ucap Celestine dengan suara parau, “aku merasa hidup kembali.” Aidan mengusap rambut Celestine dari wajahnya, menatapnya seolah ingin mengingat setiap lekuk ekspresi itu. “Dan aku akan selalu ada… untuk menghidupkanmu, kapan pun kau membutuhkanku.” Mereka beristirahat sejenak di tengah kehangatan tubuh yang masih berpeluh. Celestine bersandar di d**a Aidan, mendengarkan irama jantungnya yang mengalun tenang—seperti lagu pengantar tidur yang hanya ia yang bisa dengar. “Kamu ingin minum?” tawar Aidan, tangannya masih melingkari tubuh Celestine yang telanjang tapi tidak merasa telanjang—karena ia begitu utuh dalam pelukan itu. Celestine tersenyum, matanya menyala nakal. “Aku mau… asal langsung dari bibirmu.” Aidan mengambil segelas air, meneguknya, lalu mendekat. Alih-alih menelan, ia menyuapkan air itu lewat ciuman. Celestine menerimanya, seolah meneguk kehidupan langsung dari sumbernya. Manis, segar, dan dalam. Air dan cinta berbaur dalam satu rasa. “Bagaimana?” tanya Aidan sambil menyeka sisa air di bibir Celestine. “Manis. Seperti kamu,” jawabnya dengan senyum penuh arti. Aidan terkekeh pelan. “Kamu masih kuat, atau sudah kehilangan tenaga?” Celestine mencubit lembut lengannya. “Ayolah, kamu harusnya tahu… aku bisa mengurasmu habis kalau kamu lengah.” “Kalau begitu, aku harus pastikan persediaanku selalu penuh,” balas Aidan dengan senyum menyala. Celestine menatapnya, dengan mata seorang ratu yang tahu siapa dirinya. “Tenang saja. Aku memiliki segalanya untuk itu.” Ia bukan gadis yang butuh diselamatkan. Ia ratu di medan perang yang terselubung permadani. Ia tahu apa yang ia mau, dan tahu bagaimana mendapatkannya. Aidan menyadarinya—dan karena itulah, dia memilih Celestine. Wanita seperti itu bisa membantunya naik ke tahta yang ia dambakan, bisa menuntunnya melalui jalan paling gelap dengan cahaya dari api dalam dirinya. “Kalau begitu,” gumam Aidan, menarik Celestine lagi ke dalam pelukannya, “mari kita uji seberapa jauh kau bisa membuatku kehilangan akal…” Namun sebelum tangan mereka kembali saling mencari, suara ponsel memecah suasana. Satu pesan masuk. Aidan menoleh, tubuh Celestine masih menyandarkan diri padanya. Layar ponsel menyala. SUAMI GILA AYAHMU AKAN MAKAN MALAM BERSAMA KITA. KAMU HARUS DATANG SEBELUM DIA TIBA ATAU KAMU AKAN MENGHANCURKAN SEGALANYA, TERMASUK PELIHARAAN TERBARUMU. Celestine menatap layar ponsel itu lama. Kata-kata "peliharaan terbarumu" terasa seperti belati yang menancap dalam di dadanya. Tangannya gemetar saat ia menurunkan ponsel, lalu menatap Aidan yang masih menunggu jawaban darinya. “Aidan… aku harus pergi,” bisiknya pelan, seolah kata-kata itu berat untuk diucapkan. Celestine tidak rela untuk pergi. Tidak bersedia, tapi keadaan memaksanya. Aidan hanya mengangguk pelan, memahami tanpa bertanya. Saat Celestine mengenakan kembali pakaian yang berantakan, wajahnya berubah. Tak lagi hanya seorang kekasih penuh gairah, tapi perempuan yang harus kembali memakai mahkotanya — dan menghadapi badai. Saat itu Aidan tahu, Celestine tidak akan kembali dengan utuh. Tapi ia tidak menghentikannya. Ia hanya menatap punggung wanita itu, lalu tersenyum tipis—senyum yang hanya dimengerti oleh seseorang yang sedang menunggu babak berikutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN