Bab 5 Harta, Tahta dan Dilema

1276 Kata
Pagi merayap masuk perlahan lewat celah tirai apartemen, mencuri ruang di antara dua jiwa yang baru saja larut dalam malam yang membara. Namun, saat Celestine membuka mata, tubuhnya terasa ringan dan dingin — Aidan tak ada di sisi tempat tidur. Jantungnya berdegup cepat. Sebentuk kegelisahan kecil menyelinap ke dalam kesadarannya. Ke mana dia pergi? Belum sempat ia beranjak, suara langkah lembut terdengar dari pintu kamar. Aidan muncul, membawa nampan sarapan berisi roti panggang, telur orak-arik, dan dua gelas kopi hitam yang mengepul seperti sisa bara dari malam sebelumnya. Senyumnya yang nakal sudah terpampang jelas. “Pagi, Cantik,” ucapnya, seperti serigala yang baru saja mencium aroma mangsa. Tapi di balik kerling matanya, ada kelembutan yang menyimpan bahaya. Celestine menarik napas, mencoba menenangkan detak jantung yang masih tak stabil. “Kamu ke mana sampai aku bangun dan tidak menemukanmu?” tanyanya lembut. Aidan meletakkan nampan dan duduk di tepi ranjang, mengambil salah satu gelas kopi lalu menyeruput perlahan. “Aku mandi lebih dulu, lalu menyiapkan semua ini. Kamu butuh waktu sendiri setelah malam seperti itu.” Matanya berkilat, menyimpan kilau malam yang belum padam. Celestine menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih sudah membawakan sarapan.” Mereka duduk bersebelahan dalam keheningan yang hanya diisi gemuruh kota di luar jendela. Aidan meraih tangan Celestine, menggenggamnya erat seolah menahan sesuatu agar tidak lepas. “Aku suka cara kamu tertawa,” bisiknya. “Bahkan ketika kamu berusaha menyembunyikannya di balik tatapan dinginmu.” Celestine membalas tatapan itu. Ada jeda. Ada jarak. Tapi juga ada api yang belum padam. Ia menarik tangannya perlahan. “Aidan, aku harus pergi. Ada rapat besar hari ini. Arya pasti mulai bertanya kalau aku terlalu lama.” Aidan mendekat, wajahnya nyaris menyentuh pipinya. Suaranya mengalun rendah, penuh godaan. “Mau aku mandikan? Rasanya seperti mengulang malam yang tidak ingin kutinggalkan.” Celestine hampir tertawa, tapi saat itu teleponnya berdering. Ia meraihnya dan suaranya berubah, lebih tegas, lebih profesional. “Bu Celestine, jadwal rapat dipercepat. Anda harus segera bersiap,” ujar sekretarisnya cepat dan padat. Ia menanggapi singkat dan menutup panggilan. Aidan menarik napas panjang, menyembunyikan kecewa di balik senyum liciknya. “Jangan pergi dulu. Aku belum puas menikmati pagi ini denganmu.” Celestine nyaris tergoda untuk menunda semuanya. Tapi telepon kembali berdering. Kali ini, nama yang tertera membuat darahnya berdesir dingin. “Arya.” Ia mengangkat. Suara di ujung sana terdengar dingin, datar, namun menampar. “Cepat pulang,” suara Arya terdengar seperti perintah. “Aku tahu kau sedang bermain, tapi jangan terlalu lama. Ayahmu mungkin tidak curiga, tapi aku tidak akan diam. Kau akan menyesal kalau permainanmu melampaui batas.” Kata-kata itu menusuk tajam, seperti paku yang ditancapkan ke jantungnya. Celestine mematikan telepon, wajahnya menegang, matanya berkilat marah. Aidan mengulurkan tangannya, mencoba menenangkan. “Jangan biarkan suara itu merusak pagimu.” Celestine menepis sentuhannya, menatap dengan pandangan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Aku akan melakukan sesuatu. Aku akan melindungimu.” Aidan memagut bibir bawah Celestine, mengalihkan kemarahan itu menjadi ciuman panas yang menyimpan harap dan kepemilikan. “Aku akan baik-baik saja. Aku di sini, masih milikmu.” Celestine membalas ciuman itu — bukan karena pasrah, tapi karena dia ingin mematri rasa itu sebagai kekuatan. Setelah itu, ia mendorong Aidan pelan. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh sehelai rambutmu.” Aidan mengangguk pelan, senyumnya tak lagi nakal, tapi seperti seseorang yang tahu bahwa separuh rencananya telah berhasil. Celestine bersiap. Aidan memandangi punggungnya — punggung perempuan yang selama ini ia tunggu untuk membuka pintu kepercayaan. Namun ia tahu, ini baru permulaan. Dan jika Celestine benar akan melindunginya, maka permainan ini mulai mengarah ke tempat yang ia inginkan. Senyum melengkung di sudut bibirnya. Tenang. Beracun. --- Di luar, limusin hitam menunggu. Celestine melangkah turun, anggun dalam balutan setelan hitam dengan rok selutut dan blouse ketat yang mempertegas wibawanya. Kacamata hitam dan topi kecil menjadi pelindung dari sorot dunia yang selalu menuntut. Malam tadi ia memakai gaun dengan belahan tinggi. Sekarang, ia adalah wanita yang sama, tapi dalam wujud yang lebih tajam. Gedung megah menyambutnya dengan dinginnya AC dan lantai marmer yang menyuarakan langkah kaku para eksekutif. Ia berjalan ke ruangannya dan membuka pintu — di sana, Arya sudah berdiri menunggu. Tatapan mereka bertemu. Datar, tapi saling mengenal bahaya masing-masing. “Telat, seperti biasa,” ucap Arya. Seolah sekadar sapaan, padahal itu racun. Celestine menanggapi dengan alis terangkat, sinis. “Lalu, apa yang kau tunggu? Cinta? Maaf, mungkin sudah basi.” Arya mendekat, senyum tipis terukir. “Ini bukan soal cinta. Ini soal citra. Aku pria paling diidamkan kota ini, dan kau... CEO yang harus kujaga, agar posisiku tak goyah.” Celestine tertawa pelan. “Kau bermimpi. Aku yang membangkitkan kerajaan ini dari abu. Tanpaku, kau hanya nama dalam daftar pemilu.” “Aku memakai cincin itu demi keuntungan,” Arya berkata pelan. “Sama seperti kau. Kita ini pemeran utama di panggung yang tidak pernah memilih naskahnya sendiri.” Celestine melirik jam tangannya. “Rapat sudah menunggu. Tak ada waktu untuk drama usang ini.” Arya mengangguk. “Sampai nanti. Jangan lupa, ini perjanjian. Bukan cinta.” Celestine melangkah pergi. Di balik langkahnya, dia membawa kekuatan yang disamarkan dalam elegansi. --- Di ruang rapat besar, ia duduk di kursi utama, sorot matanya menusuk seperti ujung pedang. Para petinggi perusahaan memperhatikan — dia bukan hanya seorang istri, dia benteng bagi sebuah dinasti. Ayahnya dan ayah Arya bukan hanya pebisnis atau politisi — mereka dalang kekuasaan. Di tempat lain, Arya sedang berdiskusi dengan para pemegang saham. Kata-katanya tajam, licin, penuh siasat. Mereka tahu: satu celah kecil, dan seluruh benteng bisa runtuh. Dan saat Celestine dan Arya kembali bertemu di ruang eksekutif — bukan sebagai pasangan, melainkan sebagai lawan yang saling memahami — kalimat terakhir mengikat napas. “Ini bukan tentang kita,” Celestine berkata, hampir tak terdengar. “Ini tentang mereka yang duduk di atas sana.” Arya menjawab pelan, “Kita hanya bidak... tapi kita bisa jadi raja bila waktunya tepat.” Mereka tahu: dalam permainan ini, cinta adalah kelemahan. Tapi kekuasaan? Itu harga yang layak ditebus dengan seluruh diri mereka. Di dalam benteng megah bernama perusahaan itu, Celestine duduk kembali di kursi eksekutif. Di balik layar presentasi, di balik grafik pertumbuhan dan proyeksi masa depan, tak ada yang tahu bahwa jantungnya berdetak bukan karena ambisi… melainkan karena rasa takut kehilangan satu-satunya lelaki yang membuatnya merasa hidup—Aidan. Ia menatap layar lebar di depannya, mendengar suara rekan kerja berbicara soal merger, tapi pikirannya melayang. Bukan pada Arya. Bukan pada ayahnya. Tapi pada lelaki yang tadi pagi mencium keningnya, dan berkata "aku milikmu." Namun Celestine tahu, dunia mereka bukan milik pecinta. Dunia mereka milik para pemangku kuasa—yang menjatuhkan lawan bukan dengan senjata, melainkan dengan senyuman dan keputusan yang sudah disusun berbulan-bulan sebelumnya. Di sisi lain gedung, Arya berdiri di depan jendela kaca, memandangi siluet langit Jakarta yang memudar oleh kabut politik dan debu ambisi. Ia memejamkan mata sesaat. Ia tahu Celestine bukan lagi miliknya. Tapi ia juga tahu, jika ia membiarkan Aidan terlalu lama di sisi Celestine, maka seluruh panggung yang telah dibangunnya akan runtuh. Dan ia tidak akan membiarkan itu terjadi. Bukan karena cinta. Tapi karena Celestine adalah satu-satunya lawan yang sepadan, dan kehilangan lawan sepadan… adalah kekalahan yang paling menyakitkan. Di luar, langit mulai mendung. Awan hitam menggulung pelan, seperti ancaman yang belum sepenuhnya terlihat. Dan di antara tiga jiwa yang saling memata-matai — Celestine, Arya, Aidan — tidak ada yang benar-benar menang. Mereka semua sedang menunggu. Menunggu giliran. Menunggu saat untuk menikam atau diselamatkan. Satu hal pasti: ini bukan akhir. Ini adalah pembukaan dari sebuah permainan yang lebih besar. Celestine—dengan segala luka, cinta, dan kekuasaan di tangannya—berniat untuk menang, meski harus mengorbankan segalanya. Bahkan dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN