Bab 4 Kenikmatan Sejati

1032 Kata
Langit malam membentang gelap di luar apartemen mewah itu, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak boleh diungkapkan pada siapa pun. Lampu-lampu kota berkerlap-kerlip seperti bisikan tak terdengar, menyaksikan dua jiwa yang sedang bermain api dalam bayang-bayang takdir dan perlawanan. Di dalam, udara tak benar-benar hangat karena suhu—melainkan karena ketegangan yang menggantung di antara dua insan yang tak pernah benar-benar bisa saling menjauh. Apartemen itu luas, tenang, dengan aroma kopi yang samar dan jejak parfum lembut di udara, tetapi ruangannya terasa sempit ketika Aidan melangkah mendekat. Celestine duduk di sofa, matanya menatap tajam ke arah pria yang baru saja melepas jasnya. Gerak tubuh Aidan tampak santai, namun setiap tindakannya terukur, seperti predator yang tahu kapan harus menunggu dan kapan harus memangsa. Cahaya lampu membentuk siluet pada tubuhnya, menciptakan pemandangan yang terlalu indah untuk diabaikan, terlalu berbahaya untuk didekati tanpa terbakar. “Kenapa kau selalu bisa membuatku kehilangan kendali, Aidan?” suara Celestine serak, bergetar, namun tak goyah. Ada bara yang menyala dalam sorot matanya, seolah ia tengah menantang api yang telah berkali-kali membakar dirinya sendiri. Aidan mendekat, langkahnya nyaris tak bersuara di atas karpet mahal. Tangan hangatnya menyentuh pipi Celestine—sentuhan ringan, tapi cukup untuk mengguncang dunia di dalam d**a wanita itu. “Aku tak ingin hanya membuatmu hilang kendali. Aku ingin menjadi alasan kau merasa hidup,” bisiknya, lembut tapi menghunjam. Kata-kata itu bergulir pelan seperti angin musim panas yang menggoda kulit, lalu menyusup hingga ke tulang. Celestine menahan napas. Tak ada lagi logika di ruang itu, hanya deru jantung dan suara detak waktu yang tak pernah memihak. Saat Aidan merengkuhnya, tubuh Celestine bereaksi tanpa izin. Bahunya merosot pelan, seolah menyerah pada kehangatan yang tak bisa ditolak. Pelukan mereka menyatu dalam diam—napas yang saling bersahut-sahutan, d**a yang saling merasakan detak, dan tatapan yang saling mengiris ketenangan satu sama lain. “Apartemen ini… terlalu nyaman untuk disebut tempat pelarian,” gumam Aidan, menurunkan suaranya nyaris seperti nada cinta. Celestine mengulas senyum tipis, senyum yang hanya Aidan bisa panggil dari dalam dirinya. “Ini tempat rahasia kita. Dan rahasia itu… hanya milik kita berdua.” Aidan mengangkat alis. “Kalau begitu, izinkan aku menjadi bagian dari setiap rahasiamu.” Ujung jarinya menyusuri punggung Celestine yang telanjang sebagian, membentuk jalur tak kasatmata seperti goresan waktu—membaca masa lalu dan meramalkan masa depan di kulitnya yang masih hangat karena pelukan barusan. Celestine memejamkan mata. Dalam dadanya, badai tak henti berkecamuk—namun di dalam genggaman Aidan, badai itu berubah jadi desir angin yang menenangkan. Dunia luar lenyap, dan hanya ada bisikan-bisikan pelan yang menyusupi ruang di antara mereka. “Kau tahu…” gumam Celestine nyaris seperti pengakuan. “Aku sering bertanya… bagaimana rasanya jatuh cinta lagi.” Aidan mengecup pelipisnya, lembut, hangat. “Biar aku jadi jawabannya.” Mereka tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena kenyataan terasa terlalu pahit jika tak diselipkan tawa. Hasrat masih membuncah, namun tak tergesa. Aidan mengangkat tubuh Celestine ke pangkuannya—seolah ia sedang menyelamatkan seorang ratu dari takhta yang dingin. Bahkan di tengah sentuhan dan desahan samar, keduanya tetap terlihat seperti lukisan klasik: elok, tragis, tak tersentuh dunia. Namun, takdir tak suka melihat ketenangan bertahan terlalu lama. TRRT. TRRT. Getar ponsel memecah hening. Sebuah denting modern yang menyeret mereka kembali ke realitas. Di layar: Arya. Celestine mengembuskan napas panjang, seolah sudah tahu siapa yang akan muncul. Tangannya sempat gemetar, tapi sorot matanya tetap dingin. “Ada telpon,” gumam Aidan, dengan nada tenang tapi tatapannya tajam, seperti menguji keberanian Celestine untuk berdiri di sisinya. “Angkatlah. Atau… kau ingin terus menyembunyikan aku?” Celestine memandangi ponsel itu sejenak. Lalu, dengan suara datar namun berisi keteguhan yang tidak ia tunjukkan kepada siapa pun selain Aidan, ia menjawab, “Halo?” Suara Arya langsung terdengar, tajam dan penuh tuntutan. “Kau bilang akan pulang jam sepuluh.” Celestine menarik napas. Matanya menatap jendela, pada malam yang terlalu gelap untuk menjanjikan pengampunan. “Aku sedang berada di tempat yang membuatku merasa hidup. Jangan ganggu.” "Kamu gila! Kamu harusnya bersyukur aku mau menelponmu. Jika bukan karena—" Klik. Ia menutup panggilan sebelum Arya selesai. Tak ada penyesalan. Tak ada keraguan. Aidan tersenyum samar, satu sisi bibirnya terangkat. “Satu demi satu akan kulepaskan dari hidupmu. Sampai hanya tinggal kita berdua.” Celestine menatapnya—tatapan penuh campuran gairah, ragu, dan ketakutan yang tersembunyi. Ia tak yakin apakah kalimat itu adalah janji atau ancaman. Tapi ia tahu satu hal: ia tidak ingin pergi dari pelukan itu. “Kau marah?” bisik Aidan dari belakang, tubuhnya menempel erat di punggung Celestine. Celestine menggeleng, pelan. “Tidak… hanya butuh dibujuk.” “Bagus,” gumamnya, penuh nada kepemilikan. “Satu demi satu akan kulepas orang tidak berguna dari hidupmu, Celestine. Sampai hanya tinggal kita berdua, hanya aku dan kamu, Sayang.” Sekali lagi, Celestine tidak tahu pasti maksudnya. Tapi hatinya, bodohnya, masih juga jatuh—lagi dan lagi. "Aku sudah tidak mood," gumamnya, pura-pura cemberut. Pipinya mengembung kecil, seperti anak kecil yang merajuk, tapi mata itu... tetap menyala penuh harap. "Maafkan aku, Sayang." Aidan mendekat lalu memeluknya dari belakang, tangan dan napasnya menjadi selimut kedua di tengah malam yang menyimpan terlalu banyak rahasia. "Aku menyesal karena membuatmu mengangkat telpon itu." Suaranya lembut, tapi matanya tajam menatap Celestine, seolah menegaskan: ia tahu lebih dari yang dikira. "Bagaimana kamu menebusnya?" tanya Celestine, separuh menggoda, separuh menantang. "Aku akan menjadi milikmu malam ini." Celestine menyipitkan mata. “Hanya malam ini?” Aidan membalas dengan senyum samar, lalu menunduk ke telinganya. Napasnya panas, suara seraknya menggetarkan, “Kalau begitu… biarkan malam ini jadi milik kita sepenuhnya.” Celestine menunduk, menyembunyikan senyum lebar yang tak bisa ia tahan. Ada rasa manis di hatinya, rasa yang tak boleh tumbuh—tapi tetap mekar, liar dan membahayakan. Malam pun kembali menelan mereka dalam gelombang keintiman yang tak butuh kata-kata. Hanya napas, genggaman, dan bisikan yang memburu. Cerita rahasia itu tak pernah selesai dituliskan. Mereka menyimpannya di antara desahan dan jeda, di antara ciuman dan bisu. Namun, di tengah malam yang hangat itu, kilat mata Aidan menyiratkan sesuatu yang lebih tajam dari hasrat. Tatapan yang mengundang sekaligus mengancam, menegaskan bahwa sekalipun ia terlihat seperti anak anjing yang jinak, ada taring tersembunyi yang siap menggigit kapan saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN