Hujan baru saja reda ketika Celestine berdiri di balkon penthouse-nya. Langit Jakarta sore itu buram, seolah menelan cahaya terakhir hari. Embun hujan masih menempel di kaca railing, dan angin membawa aroma tanah basah. Di tangannya, segelas anggur merah dibiarkan tak tersentuh. Sejak Aidan pergi dua minggu lalu, apartemennya terasa asing. Tidak ada lagi suara langkah kakinya, tidak ada aroma cologne yang dulu diam-diam membuat Celestine memejamkan mata hanya untuk mengingatnya. Tidak ada yang berubah secara fisik — sofa masih di tempatnya, lukisan masih menggantung di dinding — tapi semuanya terasa kosong. Celestine menarik napas panjang. d**a kirinya terasa sesak, tapi matanya tetap kering. Dia sudah terlalu lama menangis; kini air matanya habis, yang tersisa hanya kehampaan. “Kau be
Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari


