Bab 11 Riak sebelum Badai

1033 Kata
Suara pelan dari piano klasik mengalun dari pengeras suara. Celestine berdiri di depan cermin kamar tidur Aidan, mengenakan kemeja pria itu yang sedikit kebesaran. Wajahnya tampak lelah tapi juga damai. Seakan beban yang selama ini ia pikul perlahan mencair dalam keheningan pagi itu. Aidan keluar dari dapur membawa dua cangkir kopi. Tatapannya hangat, tapi kali ini juga sedikit waspada. "Kamu yakin tidak ingin aku mengantarmu ke kantor?" tanyanya sambil menyodorkan kopi. Celestine mengambilnya, menghirup aromanya sebelum menjawab, "Aku belum siap menghadapi dunia itu hari ini. Lagi pula, aku butuh waktu untuk menyusun kata-kata jika nanti harus bicara dengan Arya." Aidan menatapnya dalam diam. Ada pertanyaan yang menggantung di udara, tapi ia memilih menahan diri. Hingga akhirnya, Celestine sendiri yang berkata, "Kau tahu... aku tidak tahu siapa yang aku tipu lebih dulu—Arya, publik, atau diriku sendiri." Aidan menyentuh ujung jarinya ke pipi Celestine. "Kau tidak perlu menjelaskan apa pun, kecuali pada dirimu sendiri." Suara notifikasi ponsel Celestine memotong keheningan. Ia mengambilnya, dan wajahnya langsung berubah. Dari: Sekretaris Pribadi > "Bu, rapat penting diundur ke pukul 11. Mohon konfirmasi kehadiran. Pak Arya meminta Ibu tetap hadir." Celestine mengembuskan napas panjang. “Dia tahu aku di sini,” gumamnya. Aidan diam. Namun matanya jelas berkata: Kamu tak harus kembali jika kamu tak mau. Celestine memejamkan mata. Sebuah keputusan besar menunggu di ujung pagi ini. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa takut. "Aku takut, Aidan," suaranya bergetar. "Terlalu banyak yang harus aku jaga, dan aku merasa terkekang." Aidan membelai lembut rambutnya, senyum manisnya bersemi seperti pagi. "Aku tahu, tapi aku di sini. Aku bukan hanya sekadar tempat pelarianmu, Celestine. Aku ingin jadi rumahmu, yang selalu kau tuju saat dunia terasa berat." Celestine membuka mata, menatap wajahnya yang teduh dan penuh janji. "Bagaimana kau bisa tetap kuat di tengah semua ini?" Aidan menghela napas. "Karena ada kau. Kau yang membuatku ingin melindungi dan berjuang, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk kita." "Apa kamu yakin ingin terus bersamaku? Aku mungkin tidak akan bisa melindungimu di akhir." "Kau tahu," ucap Aidan dengan senyum yang penuh rahasia, "di dunia ini, aku hanya benar-benar tenang saat melihatmu tersenyum. Kamu adalah orang yang ingin aku lindungi. Aku lelakimu, Celestine." Celestine tersipu, menatap matanya yang hangat. "Kau selalu punya cara membuatku lupa sejenak semua kekacauan." Aidan menggeleng, serius tapi penuh kasih. "Bukan untuk melupakan, tapi untuk menguatkan. Aku di sini, Celestine. Tidak akan pergi ke mana pun, bahkan saat badai datang." Celestine menarik napas dalam-dalam, merasakan ketenangan yang jarang ia rasakan belakangan. "Terima kasih, Aidan. Karena kau, aku percaya masih ada tempat untuk bahagia." Aidan meraih wajahnya, mengusap lembut pipi Celestine. "Itulah aku. Manis di depanmu, tapi tak pernah lemah. Karena aku ingin melindungimu... dan membawamu keluar dari kegelapan itu." Mata mereka bertemu, ada janji yang tak terucap, sebuah kisah yang baru mulai ditulis di antara mereka. "Kemarilah, Cantikku." Aidan membimbing Celestine mendekat dan membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan pria itu. Celestine duduk di pangkuannya, kedua tangan Aidan merangkulnya dengan lembut, membiarkan kehangatan tubuh mereka saling menyatu. Keduanya bertukar pandang sebentar. "Kamu cantik, Ratuku." Tangannya menyentuh pinggang Celestine dengan kelembutan yang menghanyutkan. "Aku ingin membuatmu melupakan segalanya, meski hanya sebentar." Aidan menunduk, bibirnya menyusuri garis rahang Celestine dengan sentuhan yang menyentuh relung terdalam. "Kau tahu," bisiknya di telinga Celestine, "setiap detik bersamamu membuatku merasa dunia ini berputar hanya untuk kita." Celestine membalas dengan menatap matanya. Napasnya naik turun, tapi tidak terburu. "Aku tak ingin ini berhenti, Aidan." Dengan kelembutan yang penuh kehendak, Aidan mengangkat dagu Celestine, menyatukan bibir mereka dalam ciuman yang dalam—mengandung rindu, kasih, dan janji. Mereka saling menghangatkan, menjelajahi ruang di antara napas dan jarak dengan lembut. Gerakan Aidan tetap terkendali, penuh perhatian. Celestine menegang sesaat, lalu mencair dalam keintiman itu. Aidan menurunkan wajah ke lehernya, menghembuskan napas hangat yang membuat Celestine menggigil. Jemarinya bergerak pelan, menyusuri punggung wanita itu seperti menghafal setiap lekuk keberadaannya. “Kau tahu,” bisik Aidan, “aku bisa saja menunggu dengan sabar. Tapi aku memilih menjadi api yang membakar dunia yang mencoba memisahkan kita.” Celestine menoleh, matanya bersinar, suaranya tertahan. “Aku ingin percaya padamu. Tapi dunia kita... penuh jebakan.” Aidan menjawabnya dengan satu ciuman lembut di pelipis. “Itulah kenapa aku di sini. Bukan hanya sebagai pelindung, tapi sebagai pejuang. Suamimu mungkin mengira dia mengendalikan segalanya, tapi dia belum tahu cara kamu akan bergerak. Jangan buat langkah yang bisa dia prediksi.” Celestine terdiam. Kata-kata itu ambigu. Ia tahu Aidan menyimpan sesuatu, tapi tubuhnya memilih diam, hatinya menolak menjauh. Tangan Aidan bergerak lagi, perlahan namun mantap. Kali ini, bukan untuk membakar, tapi untuk membalut luka. “Aku akan ada untukmu.” Saat Celestine memejamkan mata, ia membiarkan dirinya terlarut dalam hangat yang ia tahu takkan abadi—tapi untuk saat itu, cukup. “Aku tidak akan pernah melepaskanmu.” Aidan menjawab pelan. "Aku juga tak akan membiarkanmu pergi." Lalu ia mencium dahi Celestine, lalu memeluknya erat. Memagari mereka dari segala kebisingan dunia. Seakan hanya ada mereka. “Kau percaya padaku, kan?” bisiknya. Celestine menelan ludah, napasnya goyah. “Aku mau percaya.” Aidan menggenggam tangannya, erat tapi lembut. “Kita akan hadapi ini bersama. Tidak ada yang akan menjatuhkanmu... selama aku masih berdiri.” Senyum Celestine akhirnya tumbuh. Ia mendekat, dan berbisik, "Aku mencintaimu, Aidan." Aidan menatapnya, mata mereka saling mengunci. “Aku juga, Sayang.” Dia mencium Celestine dengan lembut, dan untuk beberapa saat ke depan, mereka kembali larut—dalam dunia kebersamaan, dalam dunia yang hanya mereka miliki berdua seolah mereka tidak ingin saling melepaskan. Di balik pelukan itu, dunia seakan berhenti sejenak. Hanya ada detak jantung mereka, napas yang berkejaran, dan rintik gerimis yang mulai menetes di luar jendela. Aidan membelai rambut Celestine dengan gerakan ritmis, seperti lagu yang hanya mereka berdua tahu iramanya. Dalam diamnya, tatapan matanya menembus jauh—melampaui tembok apartemen itu, menuju rencana yang telah ia susun perlahan. Senyum yang terukir di wajahnya tak sepenuhnya tulus. Ada sesuatu yang menunggu di tikungan waktu. Sementara Celestine menutup matanya dan bersandar lebih dalam, percaya bahwa untuk sekali ini, ia bisa beristirahat tanpa rasa takut... Aidan justru membuka matanya lebih lebar. "Aku akan menjaga segalanya tetap berjalan," bisik Aidan nyaris tak terdengar, menyentuh puncak kepala wanita yang ia peluk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN