Celestine tetap di rumah, mencoba untuk menghilangkan segala kegalauan yang dirasakannya. Sekalipun dia benci berada dalam satu rumah dengan Arya, tetap saja, dia tidak bisa meninggalkan rumahnya malam ini. Sebab, apa yang dikatakan oleh Arya adalah benar. Dia akan membahayakan Aidan dan dirinya bila melakukan tindakan yang gegabah.
Di ranjang yang dingin, disertai dengan hujan yang turun malam itu, Celestine hanya bisa menghela napas panjang dan berat. Setelah itu, dia menelan beberapa pil tidur lalu terlelap sampai pagi. Dia tidak menghubungi Aidan, terlalu berbahaya. Dia harus mengganti ponsel dan kartunya besok. Arya bisa saja sudah menyadapnya.
Keesokan paginya, ketika matahari belum juga terbit, dia telah bersiap. Dengan pakaian kerja dan riasannya, tak lupa kacamata dan topinya, Celestine siap untuk pergi.
"Pagi sekali, Istriku."
Suara Arya sedikit mengagetkan Celestine, tapi wanita itu hanya menoleh sebentar lalu memasang sepatu hak tinggi berwarna merah miliknya.
"Kamu mungkin akan jatuh dengan hak setipis dan setinggi itu."
"Itu bukan urusanmu."
"Aku tidak ingin istri yang berjalan pincang."
"Maka kamu bisa mendandani Aulia dengan topeng wajahku lalu menampilkannya di publik."
"Mulut sialanmu itu berbahaya." Arya memperingatkan.
"Tidak sesial karena menikahimu."
"Bukannya aku yang harus berbicara begitu?"
"Katakan itu pada malam di mana kamu melamarku."
"Aku disuruh ayahmu."
"Dan kamu mau? Patuh sekali."
"Dia akan menghancurkan ayahku."
Celestine menarik satu ujung bibirnya, "Lemah."
Arya mengepalkan tangan.
"Aku berharap kamu akan mengalami hal buruk agar aku tidak perlu menceraikanmu."
"Hah, kamu memang pecundang."
"Sebaiknya kamu memperhatikan anjingmu. Dia bisa saja menggigitmu."
"Sejak kapan kamu peduli dengan anjingku?"
"Sejak kamu membahayakan posisi kita."
"Kita? Posisimu maksudmu?"
"Ayahmu akan menyingkirkan Aidan begitu dia tahu."
Celestine menurunkan kacamatanya sebentar, "Kalau ayahku sampai melakukan itu, sebelum Aidan tersingkir, aku akan mengirimkan peti mati dengan mayat Aulia di dalamnya."
Udara di sekitar mereka memanas.
"Kamu bukan mafia."
"Tapi aku sanggup menyewa mereka."
"Kamu semakin mirip ayahmu."
"Kamu semakin mirip ayahmu." Celestine membalas tapi dengan nada yang berbeda, makna yang sangat berlawanan, membuat Arya hanya mampu mengepalkan tangan.
"Jangan mengusikku, maka wanitamu akan aman. Ingat itu!"
Celestine berbalik, keluar dari ruangan. Tak peduli seberapa dingin pagi itu, bahkan matahari masih mengintip malu-malu, ia tahu harus pergi—harus menjauh. Sebelum seluruh api di hatinya membakar logika dan membuatnya mengobarkan perang yang tidak perlu.
Celestine turun dari mobil mewahnya, langkahnya cepat tapi hatinya berdebar.
Saat pintu apartemennya terbuka, Aidan sudah menunggu. Tatapannya lembut, senyumnya seperti pelukan yang lama dirindukan.
"Kau datang," katanya pelan, mengulurkan tangan.
Celestine jatuh ke dalamnya, seperti orang yang kehausan di padang pasir akhirnya menemukan oase.
"Aku muak," bisiknya. "Dengan semua kebohongan. Dengan suamiku yang hanya ingin menjatuhkanku. Dengan aku yang merasa terjebak di kastil penuh duri."
Aidan mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu.
"Di sini, kau bebas. Aku bukan suami politikusmu. Aku bukan beban. Aku hanya aku. Untukmu."
Celestine mengangguk, napasnya mulai tenang.
Di pelukan Aidan, ia merasa hidup kembali. Perasaan hangat yang tak pernah ia temukan di rumah sendiri.
Di sana, di antara kecupan dan bisikan lembut pria itu, Celestine tahu ia tak hanya lari dari perang—tapi mungkin, tanpa sadar, mulai memilih pihak.
"Kamu mau sarapan bersamaku?"
"Lebih tepatnya... aku ingin menikmati pagiku dengan rasa yang hanya kau miliki," Aidan membisik, nadanya seperti angin yang menggoda.
Ia menarik Celestine masuk ke dalam dan menciumnya—lama, dalam, dan penuh kerinduan yang tak mampu disimpan lebih lama.
Mereka terseret dalam badai yang sunyi. Tubuh saling mencari, bukan sekadar untuk melepas hasrat, tapi untuk menyembuhkan luka yang tak pernah sempat diobati.
Hangat kulit, desir napas, dan letupan emosi menciptakan simfoni sunyi di antara dinginnya dinding apartemen.
Setelah waktu yang tak bisa diukur oleh jam, mereka terbaring, diam—masing-masing hanya mendengar detak jantung yang tak lagi tenang.
Aidan memeluk Celestine dari belakang, tanpa jarak yang cukup untuk membuat jantung Celestine berdetak lebih lambat.
Tangannya mengangkat pelan dagu Celestine, memaksa matanya bertemu dengan tatapan penuh perhatian dan kehangatan.
"Kau tahu," suara Aidan rendah, "di dunia ini, sangat sedikit tempat di mana kau bisa merasa benar-benar aman. Tempat di mana kau bisa jadi dirimu sendiri."
Celestine menghela napas, menurunkan pandangannya ke lantai.
"Aku sudah lama tidak merasa seperti itu," katanya dengan suara bergetar. "Di rumah... aku selalu harus menjadi CEO yang sempurna. Kuat, tak terlukai. Tapi di sini... denganmu... aku bisa melepas semua itu."
Aidan mengusap pelan punggung tangannya, merasakan gemetar kecil di tubuh wanita itu.
"Itulah aku. Bukan hanya pelarian, tapi tempat di mana kau bisa menemukan kembali dirimu yang hilang."
Mata Celestine mulai berkaca-kaca, campuran antara kelegaan dan ketakutan. Ia menoleh, bibir mereka hampir menyentuh.
"Jangan pernah pergi," bisiknya hampir tak terdengar.
Aidan membalas dengan senyum penuh harap. "Aku di sini, bukan hanya untuk hari ini. Aku ingin jadi sesuatu yang lebih, jika kau mau."
Keduanya akhirnya tenggelam dalam pelukan yang memabukkan, tubuh mereka berbicara dalam bahasa yang tak perlu kata-kata.
Setiap sentuhan adalah doa diam. Setiap bisikan adalah janji yang dibisikkan hanya untuk jiwa yang mau mendengar.
Dan dalam diam, mereka menyulam sesuatu yang lebih dari sekadar pelarian—sebuah kemungkinan.
---
Di tempat lain, dunia yang sama sekali berbeda...
Sinar matahari pagi yang masuk dari jendela ruang kerja Arya tak mampu menghangatkan suasana hati pria itu. Di hadapannya, layar televisi menampilkan debat politik yang memanas, sorot lampu studio menyilaukan wajah-wajah tersenyum penuh topeng. Sorakan pendukung, tatapan lawan politik—semuanya menambah tekanan yang sejak pagi telah menghimpit dadanya.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari asistennya:
> "Pak, ada laporan soal aktivitas istri Bapak. Kabarnya, beliau sering terlihat keluar masuk apartemen mewah di pusat kota. Publik mungkin akan curiga bila dibiarkan. Juga, tuan besar mulai mengendus sesuatu."
Arya mengetik cepat:
> "Lindungi Celestine. Bagaimanapun caranya, ayahku tidak boleh mengetahuinya. Alihkan dia pada masalah lain."
Balasan datang hampir seketika:
> "Baik, Tuan muda."
Arya menghela napas panjang. Sudah berapa lama sejak dia bisa hidup dengan bebas? Tanpa belenggu nama keluarga, tanpa ekspektasi, tanpa pernikahan yang dibuat untuk kekuasaan.
Ponsel kembali bergetar. Kali ini dari nomer lain—bodyguard pribadi yang ia tugaskan diam-diam.
"Dia di sana?" tanya Arya langsung, suaranya kering, hampir serak.
"Benar, Tuan. Nyonya belum keluar sejak empat jam lalu."
Arya menutup matanya sejenak. "Kalau sampai jam sepuluh dia tidak keluar, suruh sekretarisnya menghubunginya. Ada rapat penting hari ini. Dia tidak boleh melewatkan itu hanya karena dia marah padaku dan memilih bermain-main dengan selingkuhannya."
"Baik, Tuan."
"Dan tentang pria itu... selidiki dia. Lebih rinci. Hasil sebelumnya terlalu bersih. Aku curiga."
"Apa hasil saya tidak cukup memuaskan, Tuan?" tanya Jake, sedikit ragu.
Arya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Tidak, Jake. Justru itu masalahnya. Terlalu bersih. Dia seperti sengaja menyiapkan masa lalunya agar terlihat polos. Aku ingin tahu—siapa dia sebelum datang ke negara ini. Termasuk kehidupannya di Inggris."
"Saya mengerti. Akan saya urus."
"Bagus."
Telepon ditutup. Arya menggenggam ponselnya erat, buku-buku jarinya memutih. Ia menoleh ke arah foto di mejanya—satu-satunya foto pernikahan mereka.
Celestine tertawa di sana. Murni. Lugu. Senyum itu kini terasa seperti kenangan dari kehidupan lain.
"Padahal, kamu dulu sangat manis, Celestine," bisiknya pelan.