Jakarta mulai terlelap. Lampu-lampu kota membentuk garis-garis cahaya di kejauhan. Angin dari balkon membawa udara malam yang sejuk, menggeser tirai tipis apartemen lantai 18. Celestine membuka pintu pelan. Aidan duduk di sofa dengan jaket lusuhnya yang belum dilepas. Kepalanya menoleh cepat ketika suara pintu terdengar. Tapi kemudian tenang—melihat wanita itu berdiri di ambang, dalam balutan coat hitam dan mata yang menyimpan terlalu banyak luka. “Kau baik-baik saja?” tanya Celestine, mendekat. Aidan mengangguk pelan. “Hanya merasa sedikit lelah.” Celestine berdiri di hadapannya. Mereka saling menatap. Tak ada kata yang memadai untuk menjelaskan malam-malam terakhir. Hanya jeda sunyi yang nyaris terasa berat di d**a. “Pistol itu...” Celestine akhirnya bersuara. “Kau memegangnya seper

