Cahaya matahari belum menghangat, tapi Celestine sudah duduk di meja makan dengan Bram berdiri di depannya. Wajah CEO wanita itu pucat, tapi dingin. Rambut disanggul rapi. Tak ada sisa kepanikan semalam. Di balik jubah elegan yang ia pakai, tersimpan pistol kecil di paha kirinya. Di meja, ada dokumen-dokumen, dan di ponselnya—tampilan CCTV yang menunjukkan Aidan masih tidur. “Dia belum bangun?” tanya Celestine lirih, menyeruput kopinya. Bram, yang berdiri tegak, menjawab datar, “Belum, Nyonya. Kami telah mengganti semua sistem keamanan. Tidak ada yang akan masuk tanpa seizin saya.” Celestine menatap ke arah jendela. “Dia bukan orang biasa, Bram.” Bram terdiam. “Aku kira aku mengenalnya. Aku kira dia hanya lelaki yang jatuh cinta dan tak tahu harus berbuat apa. Namun, semalam dia mene

