Part 09: Makin Dekat

1887 Kata
Setelah kejadian itu Rahel sebisa mungkin menghindari Lucas, demi apapun dirinya sekarang benar-benar canggung jika bertemu lelaki itu, perasaan malu dan kikuknya rasanya campur aduk tak karuan. Tok tok tok! Rahel melirik pintu kamarnya, tanpa bertanyapun ia sudah bisa menebak jika itu adalah Lucas karena beberapa waktu ini lelaki itu sering sekali menerornya. Tok tok tok! "Rahel buka aku tau kamu belum tidur!" pekik Lucas makin intens mengetuk pintunya. Rahel menghela napas, melirik kembali pintunya namun tak lama ia membuang muka, mengabaikan begitu saja. Tok tok tok.... "Kalau kamu gak mau bukain aku bakal terus ngetuk disini!" Tok tok tok tok tok tok tok tok ... "Raheeeel bukaaa~" Tok tok tok tok tok... "Raheeel~" Tok tok– Brak! "Bisa diem nggak?!" jerit Rahel akhirnya tidak tahan juga, jika lelaki ini terus mengganggunya yang ada dirinya bisa mati darah tinggi duluan. Lucas langsung menyengir tanpa beban, seolah tindakannya tadi tak berdosa sama sekali. "Lagian kamu gak mau bukain." Rahel menyugar rambutnya yang sedikit berantakan dengan napas lelah, "aku sibuk!" "Masa sampe beberapa hari tetep sibuk." Cebiknya, Rahel mendelik kehabisan kata-kata. "Ada pekerjaan penting yang harus aku kerjakan jadi jangan ganggu aku!" ketusnya berniat menutup pintu namun Lucas dengan sigap menahannya, ia tentu saja tidak akan melepaskan kesempatan ini begitu saja. "Kalau kamu memang sibuk biarin aku nunggu di dalem aja, aku janji gak bakal ganggu kok." Jelasnya dengan kerlipan berharap, Rahel memicingkan matanya galak. "Gak!" "Cih jahat banget," Lucas sengaja mengatakannya dengan lantang membuat Rahel jelas melotot lebar, berani sekali manusia satu ini. "Kamu tuh aneh banget tau gak sih, padahal sebelumnya kamu fine-fine aja pas aku temenin kamu, kayaknya ada yang kamu sembunyikan deh!" tuduhnya memicingkan mata yang membuat Rahel seketika tergagap. "Ngg–" "Iya, pasti ada sesuatu!" cetusnya membuat Rahel yang belum sempat membalas jadi mendelik kecil, "ada apasih? Kalau aku salah bilang aja, setidaknya jangan diem aja kayak gini." Rahel menghela napas panjang, nampak begitu frustasi dan tertekan. "Yaudah masuk aja tapi jangan ganggu aku!" ketusnya memilih ngalah karena ia takut sendiri jika makin lama dicecar yang ada dirinya jadi ketahuan, ia dengan sedikit tergopoh menuju meja kerja yang ada di pojok kamarnya dan belagak melanjutkan pekerjaannya padahal sebenarnya pikirannya sedang campur aduk sekarang. Selama beberapa waktu hanya terdengar suara ketikan keyboard dari laptop Rahel karena keduanya sama-sama diam, sejujurnya itu adalah momen paling canggung dan kikuk di antara mereka. Rahel yang sejak tadi berusaha fokus pada laptopnya akhirnya tidak tahan untuk melirik Lucas, aneh kenapa lelaki itu tidak ada suaranya sama sekali. Dan ketika ia akhirnya melirik Lucas ternyata lelaki itu tengah menatapnya juga dengan mata terbuka lebar. Deg! Rahel spontan membuang mukanya salah tingkah, ia seperti maling yang habis kepergok nyolong. Duh sialan padahal ia melirik diam-diam biar lelaki itu gak tahu tapi siapa yang menduga jika lelaki itu tengah memandangnya dengan sangat intens. "Rahel." Rahel tidak melirik, justru makin menundukkan kepalanya. "Rahel." " ... " Grep! "Kamu kenapa sih?!" betapa kagetnya Rahel saat lelaki itu tiba-tiba ada di depannya dan memegang kedua bahunya padahal beberapa saat lalu lelaki ini masih duduk anteng di tempatnya. "Kalau aku ngelakuin kesalahan aku minta maaf. Tapi setidaknya jangan diem aja trus tiba-tiba hindari aku, aku kan bingung!" akhirnya kesabarannya pecah juga, masalahnya selama beberapa waktu ini ia benar-benar kepikiran dengan sikap Rahel yang terkesan aneh. Rahel menghela napas, menatap Lucas dengan tatapan meredup. "Kamu nggak ada salah sama aku." "Kalau begitu kenapa kamu hindari aku?" Rahel membuang muka kemanapun asal menghindari tatapan Lucas. "Aku malu." Cicitnya sangat pelan. Lucas mengernyit, "ha?" Rahel memilin bajunya tak nyaman, "aku sudah ingat tentang kejadian malam itu." Lucas yang awalnya memasang raut bingung seketika membulatkan bibirnya, paham apa yang sedang dibahas wanita di depannya ini. "Kenapa malu?" Rahel melongok, Lucas nampak masih santai menatapnya bahkan tidak terlihat perubahan ekspresi berarti di wajah lelaki itu. "Jelas aku malu lah! Memangnya kamu nggak?!" "Nggak tuh." Rahel mendelik, Lucas justru dengan tenang tersenyum mencurigakan. "Aku justru seneng kalau kamu inget, jadi malam spesial itu tidak akan menjadi sia-sia." Jelasnya dengan wajah tanpa dosa sedikitpun. Darah di tubuh Rahel seketika mendidih naik memenuhi wajahnya menimbulkan efek merah padam, wanita itu mengepalkan tangannya gemas benar-benar ingin menimpuk kepala orang di depannya ini sampai gegar otak. "Dasar m***m!" ketusnya langsung membalik tubuhnya memunggungi Lucas. Padahal lelaki ini masih begitu muda tapi bisa-bisanya sangat m***m begini, bukankah biasanya anak muda cenderung polos dan pemalu tapi kenapa yang satu ini bentukannya sangat barbar dan tak tau malu. Grep. Rahel membelalakkan matanya, ini kedua kalinya lelaki ini memeluknya tanpa seizinnya. "Jangan lancang, aku masih atasanmu!" Lucas justru asik mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Rahel. "Aku pengen peluk kamu." Rahel berusaha melepaskan pelukannya namun yang ada justru kuncian tangan Lucas makin erat. "Lepa–" "Kamu wangi banget pake parfum apa?" Rahel seketika meremang kaget mendapati lelaki itu tengah asik mengendus-endus tubuhnya, sialan lelaki ini makin lama makin kurang ajar saja. "Lepas!" bentaknya kali ini serius, namun tanggapan Lucas justru tidak gentar dan malah memasang raut menyebalkan. "Aku pengen tidur sama kamu." "Heh mulut kamu mau aku jahit?!" bentak Rahel panik. "Kamarku kasurnya gak enak, badanku sakit-sakit kalau tidur di kamar." Adunya dengan mimik muka paling sedih. Rahel terkesiap, namun tak lama mendongakkan dagu angkuh. "Kamu kira disini hotel yang bisa buat kamu enak-enakan, kamu disini kerja jadi harus terima semuanya!" tukasnya membuat Lucas makin merengut, bukan bualan semata nyatanya ia selalu sakit leher dan punggung setiap bangun tidur karena tidak terbiasa tidur di tempat seperti itu. "Lagian kamu pikir kamu Tuan Muda konglomerat ha, udah terima aja masih mending kamu aku kasih kamar!" "Cih pelit banget padahal duitnya banyak." Sindirnya tanpa takut dengan suara jelas. Rahel menggeram sebal, "balik sana ke kamarmu! Atau mau aku pake cara kekerasan?!" Lucas balik menantang, "yaudah sini pake cara kekerasan, kita bertarung di ranjang." Blush... 'Sialan sekali bocah ini, apakah saat lahir bocah ini tidak punya filter mulut!' umpat Rahel dalam hati. Namun akhirnya Lucas berdiri dari tempat tidurnya dan melangkah pergi meskipun sambil menggerutu tak jelas, Rahel hanya bisa menggelengkan kepala dengan lelah. "Dasar bocah!" dengusnya entah yang keberapa kali, namun tanpa diduga setelahnya Rahel menelepon salah satu bawahannya. "Tolong belikan..." *** "Pagi Nyonya!" Rahel yang baru turun seketika mendelik tajam mendapati sapaan dengan nada girang itu, pemuda berkaos hitam itu menyengir lebar, mengangkat tangannya dengan lambaian besar. "Kamu bisa diam nggak!" ketus Rahel yang kepalang malu karena semua bawahannya sedang menatap mereka penuh arti. Lucas mendengus kecil, namun tak lama kembali tersenyum membuat matanya yang sudah sipit makin seperti bulan sabit. "Galak banget, jangan kekeringan marah nanti cepet tua." Celotehnya hanya dibalas lirikan sinis saja. Selanjutnya Rahel duduk di kursi makan untuk sarapan, seorang pembantu langsung sigap mengambilkan makanan ke piringnya. Setelah itu ia mulai makan namun beberapa saat kemudian ia jadi mengernyit sembari menoleh ke belakang. "Kamu ngapain?" herannya karena lelaki itu masih berdiri di tempatnya. Lucas ikut mengernyit, "aku? Berdiri." Jawabnya sambil menunjuk dirinya kebingungan. Rahel menghela napas sabar, menggeleng capek. "Maksudku ngapain kamu berdiri doang, kamu gak makan?" Lucas terkesiap di tempat, spontan bola matanya membesar antusias. "Aku boleh ikut makan?!" tanyanya sumringah. Rahel jadi melirik aneh, "kalau mau makan ya makan aja, ngapain sok sopan segala biasanya juga kamu ngelunjak." Cibirnya tidak membuat selera makan Lucas luntur sedikitpun, ia jelas senang sekali diajak makan padahal disana bukan cuma ada dirinya, ia jadi merasa sangat spesial. "Biar aku aja," cegah Rahel menatap Lucas yang ingin mengambil makanan, lalu dengan telaten ia mulai menyendokkan lauk pauk ke piring Lucas yang tentu saja membuat semua orang disana melotot syok semua, pasalnya Rahel adalah majikan namun malah mengambilkan makanan untuk pembantunya. Lucas yang mendapatkan perhatian seperti itu tidak dapat menutupi rona merah di wajahnya, astaga sekarang ia benar-benar ingin melompat indah. "Makasih ya." "Hm." "Dan makasih juga buat kasurnya, aku gak nyangka kamu bakal beliin yang empuk buat aku." Kekeh Lucas kesenengan. Rahel belagak sok cool sambil memasang mimik datar, "jangan kegeeran aku membelikannya karena aku aku gak mau terkesan memperlakukan bawahanku dengan buruk, bukan gara-gara kamu yang minta!" ketusnya kemudian lanjut makan. Lucas manggut-manggut namun ekspresi wajahnya sungguh menyebalkan karena jelas sekali lelaki itu tidak percaya. "Anterin aku ngampus ya." Rahel melotot tak percaya, makin hari kenapa lelaki ini makin tidak tau diri sekali. "Kamu makin ngelunjak ya!" Lucas merengut, "cuma minta anter doang kok, sayang duit aku kalau pake Grab." Adunya. "Aku gak bisa, ada meeting penting dan aku gak boleh telat." Lucas jadi menurunkan wajahnya, namun tidak membantah lagi karena jika sudah menyangkut pekerjaan ia tidak boleh egois. Agaknya Rahel menyadari tatapan lelaki itu yang kecewa, padahal ia harusnya senang melihat lelaki itu akhirnya kalah namun nyatanya dirinya justru tidak tega. "Pake aja salah satu mobil di garasi, kamu udah punya SIM kan?" Lucas mengangkat kepalanya tegak, kedua matanya langsung berbinar begitu saja. "Punya! Makasih banyak yaaa!" "Gak usah alay!" dengus Rahel memilih sibuk makan. Lucas makin cengar-cengir, bertopang dagu menatap intens Rahel. "Aku jadi ngerasa kamu kayak sugar mommy ku deh." Celetuknya kesenengan. "UHUK-UHUK!" tersedak sudah Rahel. *** Seorang lelaki dewasa dengan jawline tegas dan otot yang menghiasi tubuhnya yang sempurna itu berdiri sembari menyesap cerutu di mulutnya, ditatapnya jalanan Los Angeles yang padat dari balkon lantai 20 tempatnya berdiri. Bosan. Kesepian. Hampa. Perasaan-perasaan itu perlahan mulai menggerogoti dadanya, mata elangnya memang nampak menatap jalanan namun pikirannya sekarang entah dimana. Ia berjalan menuju meja kerjanya, menaruh cerutunya dan gantian menuangkan minuman beralkohol ke gelasnya, bola matanya bergulir menatap entah kemana sebelum dengan cepat ia meneguk minuman tadi. "Aah!" desahnya memejamkan matanya merasakan sensasi menyenangkan yang candu, meskipun ia sedang berada di tempat kerja namun ia bisa minum seperti ini karena satu alasan yaitu ia pemilik perusahaan ini. Sedikit cerita keluarganya memang sudah punya basic perusahaan di kota ini namun sebelumnya bukan ia yang mengurusnya karena ia tinggal bersama mantan istrinya di Indonesia, namun setelah perceraian ia memilih tinggal di kota ini untuk mengembangkan bisnisnya, jelas alasannya karena di tempat ini ia lebih bebas sehingga bisa bersenang-senang. Namun ternyata ia salah. Awalnya memang seperti surga dunia, ia mempunyai kekasih baru yang selalu memanjakannya bukan seperti mantan istrinya bahkan sering berjalan-jalan untuk liburan, namun entah kenapa beberapa waktu belakangan perasaannya mulai kosong, ada yang tidak beres dengan dirinya. Tok tok tok. Leo melirik pintunya, nampak wanita berbaju sexy yang beberapa tahun ini selalu menemaninya, Nina tersenyum cerah sembari mendekatinya, memeluk dan menciumnya seperti biasa. Ia bahkan tidak membalasnya. "Morning sayang." Leo sedikit menyingkirkan tangan Nina dengan risih, "hm." Balasnya seadanya. Meskipun responnya seperti itu namun Nina masih tersenyum manis kearahnya, "sayang kamu kenapa jarang ke tempatku, aku kangen kamu." Bisiknya mulai mendekatkan wajahnya ke ceruk leher Leo menggoda, namun agaknya lelaki itu sudah bosan, dengan kasar ia mendorong Nina. "Aku sedang malas, kamu pergi saja." "Sayang.." "Pergilah!" Nina mulai gelagapan, ia benar-benar takut ditinggalkan oleh lelaki ini, selain karena ia memang mencintainya ia juga bergantung hidup sepenuhnya pada lelaki ini, segalanya sudah ia serahkan padanya tentu saja ia sangat takut jika ditinggalkan. "Kamu kenapa sih beberapa hari ini kayak ngehindarin aku, kalau aku ada salah aku minta maaf." "Aku hanya sedang ingin sendiri, pergilah!" "Tapi–" "Aku paling tidak suka mengulang perkataanku!" tegasnya kali ini dengan tatapan tajam yang mempu membuat Nina mundur syok. Akhirnya wanita itu beranjak pergi dengan wajah layu, Leo hanya menatap sekilas punggung wanita itu sebelum kembali mengambil minuman keras dan meminumnya. Entah kenapa ia tiba-tiba ingin kembali ke Indonesia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN