Setelah ke kampus dengan mobil yang berharga fantastis itu tentu saja Lucas langsung menjadi trending topik, bukannya norak atau apa meskipun di kampus itu juga banyak orang kaya namun Lucas yang merupakan mahasiswa baru jelas langsung mengguncang kampus dan membuat dirinya menjadi begitu famous.
"Ck gue kok jadi curiga sama lo ya," Alif memicingkan mata kearahnya namun juga curi-curi lirik pada mobil berwarna biru cerah itu dengan minat. "Ngaku lo! Lo pasti beneran jadi simpenan kan!" ia memang baru berteman dengan Lucas ketika Maba namun gaya Lucas dulu benar-benar sederhana seperti anak kuliahan pada umumnya, boro-boro bawa mobil ia justru sering melihat Lucas kucing-kucingan sama temannya karena dulu Lucas terkenal suka ngutang lalu ilang.
Lucas mendongak pongah dengan tawa angkuhnya yang begitu menyebalkan, "gue? Jadi simpenan? Mata lo peyang!" umpatnya menoyor kepala temannya itu membuat Alif merengut sambil mengusap kepalanya.
"Lo tuh sebenarnya siapa sih!" decak Alif jadi beneran kepo.
Lucas mengangkat alisnya samar sebelum tersenyum tak terbaca, "yang jelas manusia." Balasnya sambil menggedik menyebalkan seperti biasa.
"Jujur nih ya duluuuu banget pas baru kenalan sama lo gue bahkan ngira lo tuh anak konglomerat tajir melintir karena pakaian lo branded semua, tapi beberapa saat setelahnya lo justru tampil gembel dan suka ngutang kek orang susah aja. Trus sekarang tiba-tiba lo tampil keren gini lagi, kan aneeeh!" seru Alif meluap-luap gregetan sendiri entah kenapa.
Lucas justru terkekeh sambil merangkul bahu temannya itu, "mau gue kasih tau sesuatu nggak."
Alif mengerjap tertarik, "apa?" keponya.
Lucas mendekatkan bibirnya ke telinga Alif, "sebenarnya gue pake babi ngepet."
"ANJENGG!" pekik Alif dan langsung mengejar Lucas yang sudah siap berlari duluan. "Sini lo gue timpuk pake beban hidup gue!" pekik Alif entah kenapa malah jadi curhat.
***
"Rahel," sebuah suara terdengar dibarengi ketukan pintu.
Rahel menoleh dengan kernyitan samar, "masuk aja Thur."
Arthur tersenyum tipis ketika berjalan masuk, nampak jika ada kecanggungan diantara keduanya, itulah kenapa Arthur sengaja mendatangi Rahel untuk memecah suasana diantara keduanya.
"Aku bawain roti." Arthur menaruh sebungkus roti isi di atas meja Rahel, sebenarnya bukan menjadi hal baru lagi jika lelaki ini sering membawakan makanan untuknya namun untuk situasi sekarang rasanya aneh saja bagi Rahel.
"Makasih ya." Balas Rahel mencoba biasa saja.
Arthur tersenyum kecil, mulai bisa rileks. "Kerjaan kamu masih banyak? Mau aku bantu?" tawarnya mendekat ke sebelah Rahel sedikit membungkuk ke arah komputer sehingga posisi Rahel terkungkung diantara tubuh besar Arthur. Rahel sedikit menggeser tubuhnya tidak nyaman dan itu jelas dipahami Arthur, lelaki itu hanya bisa tersenyum kecut.
"Nggak usah lagian ini juga udah mau selesai kok."
Arthur yang peka memundurkan tubuhnya perlahan. "Hm, yaudah aku tunggu kalau gitu." Putus Arthur duduk di sofa membuat Rahel mengerjap kaget, kok tumben sekali lelaki ini bersikap seperti ini.
Rahel yang melihat wajah berharap Arthur jadi tidak tega mengusirnya, akhirnya ia pun menyegerakan menyelesaikan pekerjaannya dan beranjak mendekati Arthur, tidak enak juga membiarkan lelaki ini menunggunya terlalu lama.
"Mau kemana?"
Arthur mendongak, tersenyum cerah dan segera berdiri. "Kamu makan dulu rotinya, kita cari makan lagi habis ini."
Rahel mengangguk, mengambil rotinya dan berjalan beriringan dengan Arthur. "Padahal aku makan roti aja juga udah kenyang sebenarnya." Celetuknya.
"Jangan dibiasain, gak baik buat kesehatan. Kalau waktunya makan ya makan, jangan terlalu memforsir tubuhmu." Ujarnya dengan lembut yang tentu saja membuat Rahel lumayan tersentuh, Arthur itu tipikal lelaki dewasa yang mampu memperlakukan wanita dengan sangat baik yang tentu saja membuat wanita manapun pasti merasa nyaman.
"Thur kamu tuh kapan mau nikah sih padahal kamu udah siap banget buat jadi kepala keluarga," kekeh Rahel tiba-tiba gatal untuk mengatakan hal itu, karena bisa dibilang Arthur sudah mapan baik dari segi finansial maupun fisik.
"Ya mau gimana lagi wanita yang aku suka nggak peka." Balas Arthur membuat Rahel reflek menghentikan langkahnya. "Ngapain? Ayo sini, liftnya mau ketutup." Ajaknya mengayunkan tangannya membuat Rahel buru-buru masuk lift.
Dan entah kenapa, rasanya mereka jadi lebih canggung daripada sebelumnya.
***
"Padahal kamu gak perlu anterin aku pulang gak papa loh Thur, tapi makasih ya." Rahel menatap Arthur sungkan, padahal rumahnya dan rumah lelaki ini berlawanan arah tapi lelaki ini tetap memaksa ingin mengantarnya.
Arthur tersenyum seperti biasa, "santai aja Hel, kamu masuk gih di luar dingin."
Rahel tersenyum kikuk, "sekali lagi makasih ya, kamu hati-hati di jalan."
Arthur tersenyum kemudian masuk ke dalam mobil dan melajukan pergi setelah melambai sekilas, Rahel menghela napas berat sebelum berbalik dan detik itu juga ia terlompat di tempat ketika melihat Lucas berdiri di ambang pintu dengan mata melotot sempurna.
"Astaga kamu ngapain sih berdiri di depan pintu!" omel Rahel berjalan mendekat.
Lucas merengut, raut wajah sebalnya sengaja ia tunjukkan. "Siapa tadi?" sewodnya.
Rahel mengerutkan dahinya, "oh temen kantor." Jawabnya santai sambil melenggang masuk.
Lucas sengaja menghadang jalannya yang membuat Rahel jelas mendelik kesal. "Kamu ngapain sih? Minggir, aku mau masuk!" jengkelnya.
"Kamu habis ngapain kok dianter temen kantor? Emangnya kamu gak punya supir?" tanyanya masih mencecar yang membuat Rahel menghela napas lelah.
"Kamu kenapa sih sebenarnya, mau aku ngapain juga itu bukan urusan kamu!" balasnya akhirnya tak kalah sewod.
"Dia pacar kamu ya!" tuduh Lucas membuat Rahel bukan lagi mendelik tapi sampai melotot tajam.
"Jangan asal fitnah kamu, kamu makin ngada-ngada aja ya, udah cepet minggir aku capek pengen istirahat!" udah pulang kerja capek sampe rumah masih diganggu oleh makhluk menyebalkan ini lagi, siapa coba yang tidak kesal!
Lucas akhirnya memberi jalan meskipun wajahnya masih tertekuk kusut, sejujurnya ia sekarang lagi kesal banget, entah kenapa begitu melihat wanita ini pulang bersama pria lain ia seperti merasa panas sendiri.
"Rahel jawab jujur dong." Rengeknya akhirnya tidak bisa menahan diri lagi, bahkan ia sambil menarik-narik tangan Rahel yang tentu saja membuat wanita itu menghentikan langkahnya. "Siapa cowok tadiii?" kali ini Lucas sambil memasang ekspresi puppy eyes yang membuat Rahel menggeleng tak habis pikir, sebenarnya berapa sih usia lelaki ini kenapa tingkahnya kekanakan sekali.
"Dia temenku namanya Arthur, tadi dia nawarin nganter aku karena kebetulan pulangnya bareng juga. Puas?!" jelas Rahel diakhiri pekikan membahananya.
Lucas terkesiap, namun tak lama justru mengulum bibirnya menahan cengiran bodohnya yang jatuhnya aneh sekali. "O-ooh..." gumamnya membulatkan bibirnya.
"Udah kan? Sekarang lepasin tanganku!" delik Rahel menatap genggaman tangan Lucas membuat lelaki itu buru-buru melepas genggamannya sambil terkekeh malu. Rahel mendengus singkat sebelum akhirnya berjalan besar-besar pergi.
Meninggalkan Lucas yang sedang tersenyum bodoh di tempatnya.
***
"Raheeel aku bawa camilan!"
Rahel yang sedang berkutat dengan laptopnya hanya melirik sekilas kemudian melanjutkan kembali kegiatannya seolah lelaki itu adalah makhluk ghoib, saking seringnya lelaki itu mengganggunya ia sampai kebal.
Lucas seperti biasa menaruh nampan makanan di atas nakas dan duduk di sebelah Rahel, jelas terlihat jika membawa makanan sebenarnya hanyalah akal bulusnya semata karena niatnya yang sesungguhnya adalah modus kepada wanita ini.
"Kamu setiap hari kerja mulu gak capek apa?" celetuknya menyandarkan kepalanya di pundak Rahel.
Anehnya entah karena terbiasa atau apa tapi Rahel tidak menepis bahkan nampak nyaman-nyaman saja oleh skinship yang dilakukan oleh lelaki ini. "Kalau gak kerja dapet duit darimana? Kamu kira duit tinggal metik di pohon?" balasnya masih fokus pada layar laptopnya.
Lucas tertawa kecil, "kamu jadi istriku saja kujamin hidup kamu pasti damai tidak kekurangan apapun."
Rahel menggeleng tak habis pikir, menjitak pelan jidat lelaki di sebelahnya itu. "Ngurusin hidup kamu sendiri aja masih kekurangan sok-sokan ngelamar anak orang, mending kamu fokus belajar yang bener biar nanti bisa dapet kerjaan yang bagus."
Lucas mengusap bekas jitakan Rahel dengan bibir mencebik, "ngapain coba susah-susah kerja, kan ada kamu." Jawabnya benar-benar tidak tau diri sekali.
Rahel untungnya sudah terlatih kesabarannya, jadi tidak terlalu kaget lagi dengan segala tindak-tanduk nyeleneh orang di sebelahnya ini. "Memangnya mau sampai kapan kamu tinggal disini? Suatu saat kamu harus melanjutkan hidupmu sendiri."
Lucas tertegun sejenak, menyadari kenyataan itu entah kenapa membuatnya merasa tidak nyaman. "Memangnya aku gak boleh ya tinggal disini selamanya, aku lebih suka tinggal disini daripada di rumah." Gumamnya membenamkan wajahnya ke ceruk leher Rahel.
Rahel menghela napas, mengelus kepala lelaki ini jadi iba. "Suatu saat pasti kamu juga perlu bekerja sungguhan, menikah, dan mempunyai keluarga. Masa depanmu masih panjang jangan disia-siakan."
"Gimana kalau aku nikahnya sama kamu aja."
"Astaga memang ya dasar bocah, gampang sekali kamu ngomong begitu!" gemas Rahel mendorong kepala Lucas sampai mata mereka bertemu. "Kamu pikir menikah itu semudah ngupil? Kamu harus nyiapin fisik, financial, dan banyak hal. Lihat kamu sekarang, kamu punya apa sampai berani ngajakin aku nikah?" ucapan Rahel menusuk sekali ke jantung Lucas, sebagai pelajar yang masih kerja bergantung pada wanita ini ucapan Rahel barusan memang tepat sasaran sekali.
Rahel membuang muka, menatap layar laptopnya dengan sendu. "Dan juga aku adalah seorang janda." Lirihnya membuat Lucas tersentak di tempat, namun hanya sesaat karena setelahnya ia kembali memeluk erat Rahel.
"Memangnya kenapa? Aku gak keberatan kok."
"Jangan berbicara seperti itu, aku tau kamu pasti sekarang sedang kaget."
Lucas tersenyum lembut, justru menepuk-nepuk kepala Rahel membuat wanita itu tersentak diam.
"Tidak ada yang berubah mau kamu janda ataupun bukan, toh meskipun aku berstatus perjaka nyatanya aku juga tidak beneran masih perjaka."
Dan seketika juga Rahel tersedak di tempat, astaga bisa-bisanya lelaki ini berujar hal memalukan sesantai itu!