Dina hanya merengut saat Bagas memberikan boneka beruang raksasa warna cokelat itu kepadanya. Sejujurnya Dina masih terkejut melihat bagaimana Dion mendapatkan boneka itu dengan mudah. Pemilik tempat panahan itu bahkan terlihat berbisik-bisik tak senang pada rekannya karena Dion sudah memenangkan hadiah utama.
“Nih, ayo bawa!” tukas Bagas.
Dina menatap Dion yang langsung membuang muka saat ia menatap. Tingkah Dion itu membuat Dina kesal dan langsung mendorong boneka yang diberikan oleh Bagas.
“Nggak ah! Kegedean. Aku nggak bisa bawanya,” ucap Dina.
Bagas mengernyit. “Dih. Aneh banget deh. Tadi kamu yang pengen banget. Sampai ngotot buat maksa aku ikutan main. Giliran udah dapet hadiahnya malah bete. Kamu juga harus makasih sama Dion tuh!”
Dina kembali menatap Dion.
“Hah… nggak usah. Dulu gue juga sering bantu dia ini dan itu, tapi dia emang tipikal manusia yang susah bilang makasih,” sindir Dion.
Dina jelas terhenyak dengan mata melotot. Kesalnya lagi, Bagas malah ikut tertawa karena mengira Dion sedang bercanda.
“Liat nih bonekanya lebih besar dari kamu Din. Empuk banget. Ayo di peluk, dibawa.” Bagas membujuk lagi.
Dina menggelengkan kepala dan melipat tangannya. “Nggak. Aku nggak mau.”
Bagas pun terperangah. Dia menggaruk kepalanya karena merasa bingung, tapi kemudian Bagas memilih mengalah. Dia melihat keadaan sekitarnya, lalu melihat sebuah outlet tempat penitipan barang yang berbayar.
“Ya udah… kalo gitu aku titipin bonekanya dulu ya, sebelum kita lanjut lagi.” ucap Bagas kemudian. Bagas langsung membawa boneka itu ke tempat penitipan.
Sedangkan Dion dan Dina masih berdiri di tempatnya.
Dion tampak cuek dengan kedua tangan di masukkan ke dalam kantong celana. Dia sedikit kesal karena Dina malah tidak mau mengambil boneka beruang itu. Sementara itu diam-diam Dina juga melirik Dion. Dalam benaknya, Dina masih teringat bagaimana Dion melempar anak panah dengan tatapan tajamnya. Raut wajah yang penuh keyakinan itu entah mengapa terus terbayang oleh Dina. Hingga ia sedikit geleng-geleng kepala untuk menyingkirkan bayangan Dion dari kepala.
“Nah. Selanjutnya kita ke mana lagi nih.” Bagas yang sudah kembali langsung bersuara.
Dion mengedikkan bahu. “Kalau gue sih terserah aja.”
“Kalo terserah mendingan pulang,” sahut Dina.
Dion meniup wajahnya sendiri. Tampaknya Dina mulai berani menunjukkan ketidak sukaannya terhadap Dion secara terang-terangan bahkan di hadapan Bagas sekalipun.
“Kamu jangan begitu dong, Din… kasihan si Dion, karena Rianti juga nggak ikut,” tutur Bagas.
Dina hanya memutar bola matanya malas.
Bagas memerhatikan keadaan sekitar, lalu kemudian jarinya.
“Gimana kalo kita ke sana?” tunjuk Bagas.
Dina dan Dion sama-sama beralih menatap ke arah telunjuk Bagas. Ternyata yang ditunjuk oleh Bagas itu adalah sebuah wahana rumah hantu.
“R-rumah hantu?” Dina terlihat sedikit ragu.
“Kayaknya seru deh. Yuk kita ke sana!” Bagas terlihat antusias dan melangkah lebih dulu.
Dina meringis. Dia sedikit takut dengan wahana yang satu itu. Sebenarnya dulu sewaktu SMP, Dina pernah bermain ke sebuah rumah hantu bersama teman-temannya. Tapi kemudian Dina memiliki sebuah pengalaman mistis yang kemudian membuat kehebohan. Jadi saat itu Dina melihat sebuah hantu kuntilanak yang duduk di tengah kegelapan rumah hantu. Dina tentu saja tidak merasa takut. Karena ia tahu bahwa hantu itu palsu. Hantu- hantu yang ada di sana hanyalah manusia biasa yang memakai topeng dan juga hiasan wajah yang menyeramkan. Ketika mereka keluar, pihak rumah hantu pun langsung menghampiri kumpulan gadis dengan seragam SMP itu, termasuk Dina di antara mereka. Seperti sebuah wawancara singkat tentang pengalaman mereka setelah berpetualang di dalam rumah hantu. Mereka pun menceritakan semua yang mereka lihat dengan antusias. Dina kemudian menceritakan tentang hantu kuntilanak yang ia temui di dalam rumah hantu. Tapi saat Dina bercerita, semua staf dan orang yang mewawancarai mereka itu malah menatap bingung.
Mereka seperti meragukan pernyataan Dina.
Dina pun meyakinkan semua orang bahwa dia memang melihat sosok hantu kuntilanak. Dengan jubah putih yang kotor dan rambutnya yang tergerai panjang.
Tapi kemudian…
Staf itu mengatakan bahwa mereka tidak memakai talent yang berperan sebagai kuntilanak. Sontak Dina langsung berubah pucat. Keringat dingin juga dengan cepat merambat keluar dari pori-pori wajahnya. Ujung-ujung jari tangannya langsung dingin. Jika tidak ada talent yang berperan sebagai kuntilanak, lalu sosok apakah yang telah Dina lihat?
Kejadian itu sontak berubah menjadi pengalaman yang mengerikan untuk Dina yang saat itu masih duduk di kelas dua SMP. Malam harinya Dina bahkan bermimpi buruk dalam tidurnya. Setelah itu ia juga demam selama tiga hari. Membuat teman-teman yang datang bersamanya ke rumah hantu menjadi cukup khawatir saat itu.
Sungguh sebuah pengalaman yang mungkin tidak akan dilupakan oleh Dina seumur hidupnya.
Dan sekarang… ia dihadapkan lagi pada wahana yang serupa. Saat ini mereka bertiga sudah berdiri di depan sebuah rumah hantu yang tampak gelap. Suara teriakan dari pengunjung di dalam sana juga sesekali terdengar. Bagas sudah membeli tiket untuk mereka bertiga.
Dina tampak takut. Dia menatap rumah hantu itu dengan perasaan gamang.
Dion yang menyadari ketakutan Dina itu pun tersenyum. Sekarang dia mempunyai bahan untuk meledek Dina.
“Kayaknya si Dina takut deh. Kalo dia takut nggak usah aja. Hahahaha. Gokil sih… kayak bocah SD aja yang takut sama hantu,” ledek Dion.
“Kamu beneran takut sayang?” tanya Bagas.
Dina menggeleng. “Aku nggak takut kok.”
Dion tersenyum. Rupanya Dina sudah terpancing dengan ledekannya. Saat ini gadis itu sedang memaksakan diri untuk terlihat tidak takut.
“Ayo kita masuk!” tukas Dina lagi dengan lagak sok jagoan.
Bagas mengangguk. “Oke.”
Tapi tepat saat akan melangkah masuk. Tiba-tiba handphone milik Bagas berdering.
“Sebentar ya. Mama nelpon nih,” ucap Bagas.
Dina hanya mengangguk dan kemudian berdiri tenang di tempatnya. Kali ini Dina sama sekali tidak menatap ke arah Dion. Dia sudah tidak peduli lagi. Dia tidak akan menganggap keberadaan lelaki itu.
Dina hanya berdiri diam sambil melipat tangan.
Tak lama kemudian Bagas berdiri di sampingnya. Di suasana yang cukup kelam itu, Dina melihat topi koboi yang dikenakan oleh Bagas.
“Kenapa kamu lama sekali. Ayo kita masuk sekarang!”
Bagas tidak menjawab, tapi Dina langsung mengamit lengannya Bagas dan menarik lelaki itu untuk segera masuk ke rumah hantu.
**
Dina berkali-kali memicingkan mata saat hanu-hantu yang menyeramkan keluar dari persembunyiannya. Dia juga tidak melepaskan tangan Bagas sama sekali. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong yang menghubungkan satu ruangan dan ruangan yang lainnya.
“AAA…!”
Dina memekik saat seorang anak dengan kepala botak dan badan yang putih berlarian di depannya.
“Dasar tuyul!” umpatnya kemudian.
Mereka berdua terus menyusuri lika-liku rumah hantu itu. Dina terus berpegangan ke lengan Bagas dengan sangat kuat. Sesekali dia juga menyurukkan wajahnya di belakang punggung Bagas.
“Apa ini masih jauh?” tanya Dina.
Bagas tidak menjawab.
Mereka berdua terus melangkah. Saat ini keduanya sedang menyusuri lorong yang sempit nan sangat gelap. Lantainya di penuhi oleh dedaunan kering yang berbunyi ketika diinjak. Dina tetap menatap waspada. Biasanya hantu-hantu itu muncul di jendela kaca yang tiba-tiba saja bercahaya di lorong itu. Ketika melewatinya, tiba-tiba jendela itu bercahaya kemerahan dan menampilkan wajah yang menyeramkan.
Tapi saat ini Dina tidak melihat ada jendela sama sekali di sisi kiri dan kanan lorong itu.
“Sepertinya di sini aman, ya. Hanya lorong kosong saja,” oceh Dina.
Bagas sama sekali tidak bersuara.
“Kamu dari tadi kenapa diem aja, sih? Kamu takut ya!” tuding Dina.
Bagas tetap membisu.
Dina mengembuskan napas lega karena tidak ada hal yang menyeramkan di lorong itu. Tapi beberapa langkah kemudian…
“AAA…!!!”
Dina langsung memekik histeris saat tiba-tiba ada sesosok tubuh yang menggantung jatuh dari langit-langit. Tubuh yang jatuh itu hanya boneka yang terlihat seperti manusia gantung diri. Namun Dina yang ketakutan kini memeluk Bagas sangat erat.
Dia memeluk tubuh Bagas dengan sangat erat dan juga memejamkan matanya.
Bagas diam beberapa saat. Membiarkan Dina memeluknya seperti itu. Tapi kemudian Bagas mendorong kedua pundak Dina dengan pelan agar melepaskan pelukannya.
Namun Dina malah memeluk Bagas lebih erat lagi.
“NGGAK! AKU NGGAK MAU!” pekik Dina. “Aku mau seperti ini aja sampai kita keluar,” ucap Dina.
Hening.
Mereka berdua tidak bergerak selama beberapa detik.
Hingga kemudian Bagas kembali melangkah. Dina pun juga melangkah dengan mata terpejam dan tetap memeluk tubuh Bagas erat-erat. Tingkah Dina itu membuat Bagas sedikit kesulitan untuk melangkah.
Akhirnya mereka menelusuri sisa-sisa perjalanan di wahana rumah hantu.
Dina yang sudah ketakutan itu benar-benar tidak lagi membuka matanya. Mereka terus berjalan hingga kemudian Dina mendengar suara riuh di depan sana. Terdengar ramai sekali. Membuat Dina memberanikan diri membuka mata dan ternyata…
Ia sudah melihat pintu keluar di depan sana. Dengan senyum mengembang seperti melihat jalan kebebasan, Dina pun melepaskan pelukannya pada Bagas dan segera berlari duluan keluar.
“Hah… akhirnya keluar juga!” Dina langsung memekik girang.
Dia mengembuskan napas lega, juga memegangi kedua lututnya yang masih terasa letih. Dina terengah-engah. Dia bahkan kesulitan untuk sekedar menghela napas selama di dalam sana. Tak lama kemudian dia juga tersenyum karena semuanya sudah berakhir.
“Kamu udah keluar, Din?”
Eh.
Suara itu membuat Dina mengeryitkan dahi. Dia langsung menatap ke depannya. Melihat sosok Bagas yang berdiri di depan sana.
Deg.
Dina langsung tersentak. Jari telunjuknya bergetar terangkat ke arah Bagas.
Dina yakin bahwa Bagas masih di belakangnya dan belum keluar dari rumah hantu. Tapi bagaimana bisa Bagas malah berdiri di hadapannya.
“B-bukannya kamu masih di belakang sana?” tanya Dina dengan suara bergetar.
Bagas mengernyit. “Siapa yang di belakang sana?”
Dina langsung melotot. “K-kamulah… kan kita berdua dari dalam sana.”
Bagas semakin bingung. “Dari dalam sana? Aku kan nggak ikutan masuk, Din. Makanya aku nungguin kamu di sini.”
Dina tertegun. Seperti ada kilatan petir di otaknya.
Apa dia lagi-lagi mengalami hal mistis. Jadi siapa yang bersamanya di dalam rumah hantu? Lengan siapa yang sudah ia genggam erat. Siapa yang sudah ia peluk erat itu?
Dan di tengah-tengah kebingungan itu, sepasang kaki kini berdiri di samping Dina.
Dina pun menoleh pelan.
“D-DIOOOON….!!!”
Seketika dia terperanjat. Sosok itu adalah Dion yang mengenakan topi koboi milik Bagas yang tadi dibeli.
Dina lebih syok lagi karena mengetahui bahwa sosok yang bersamanya selama berada di rumah hantu adalah Dion.
Sementara itu Dion malah terlihat santai dan kemudian menyeletuk.
“Nggak ada serem-seremnya. Semuanya membosankan,” ucap Dion, lalu kemudian melangkah pergi.