“Jangan lupa ya, Sayang. Nanti malam aku jemput jam tujuh malam.” Bagas tersenyum.
Dina melepas helm-nya, lalu memberikannya pada Bagas. “Apa nggak bisa kita perginya berdua saja? Kenapa Dion harus ikut?”
Bagas tersenyum. “Kasian dong dia kalo ditinggal.”
“Ya, masa iya dia nemenin kita pacaran.” Dina masih mengeluh dan juga berusaha untuk membujuk Bagas agar mengubah keputusaannya.
Bagas berpikir sebentar. “Kalo gitu kamu bujuk saja Rianti agar dia ikutan bareng kita. Kata kamu dia nggak beneran sakit, kan?”
Dina hanya bisa menatap lelah.
Bagas pun kemudian berlalu pergi. Motor itu sudah melaju jauh, tapi Dina masih tertegun di tempatnya. Dua pilihan yang Bagas berikan tidak ada yang baik bagi Dina. Dia bahkan tidak bertegur sapa dengan Rianti, tapi Bagas malah memintanya untuk membujuk Rianti?
Dina kemudian melangkah gontai masuk ke dalam rumah.
Langkahnya terhenti saat melihat Rianti yang sedang makan di ruang tamu. Namun begitu melihat Dina, Rianti langsung beranjak ke dalam kamarnya sambil membawa piring makanan itu.
Dina pun hanya bisa menghela napas pendek. Setidaknya Rianti sudah mengisi perutnya.
Dina pun juga segera masuk ke dalam kamar. Kegiatan Dina setelah itu pun cukup padat. Dia mencuci pakaian yang sudah menumpuk, membersihkan rumah dan juga mengerjakan PR ditemani oleh secangkir kopi. Selama itu Dina juga mendengar Rianti yang bolak balik keluar masuk dari kamar sebelah. Sepertinya Rianti sudah kembali aktif. Baguslah. Rianti sudah membuat ibunya menjadi sangat khawatir karena drama patah hatinya itu.
Dan hari pun beranjak malam. Dina sudah mengantongi ijin dari sang ibu untuk keluar malam ini. Tapi Dina merasa malas sekali. Dina memakai outfit yang asal-asalan saja. Baju kaos longgar dengan jeans dan ditambah jaket levis berwarna biru. Dia mengikat rambutnya dengan gaya cepol.
“Hah… aku benar-benar tidak ingin pergi,” desis Dina.
Lama Dina tertegun. Rasanya dia ingin di rumah saja dan membantu sang ibu menyiapkan dagangan sambil mengobrol seperti biasanya.
“Dina… Bagasnya sudah datang!” terdengar suara panggilan ibuk dari luar.
“Iya, Buk!”
Dina menghela napas. “Sepertinya malam ini akan sangat melelahkan.”
Setelah berpamitan pada ibu Rianti, Dina bergegas menyusul Bagas yang sudah menanti di depan. Bagas menggoda Dina dengan sedikit candaan, tapi Dina tidak bersuara. Dia hanya memasang helm dan kemudian duduk di boncengan.
Motor itu pun melaju pergi dan ternyata…
Rianti menatap kepergian Dina dan Bagas dari kaca jendela kamarnya.
**
Suasana pasar malam itu sangat ramai.
Ada banyak hal menarik sepanjang mata memandang. Ada berbagai permainan seru, ada banyak penjual makanan, semuanya sangat menarik, kecuali satu hal, yaitu sosok lelaki yang kini berjalan di sebelah kanan Dina, yaitu Dion.
“Kita mau ke mana dulu, nih?” tanya Bagas yang berada di sebelah kiri Dina.
“Ke mana aja yang pentik asyik,” jawab Dion bersemangat.
Dina hanya memutar bola matanya malas. Dia kemudian berpindah ke sisi Bagas, agar tidak dekat-dekat dengan Dion lagi.
Mereka bertiga mulai menjajal semua yang terlihat menarik. Mencoba permainan lempar bola, menghabiskan waktu dengan mesin capit, melihat-lihat berbagai benda menarik yang dijual seperti pakaian hingga aksesoris.
“Sepertinya kamu cocok memakai topi ini.” Dina mengambil sebuah topi koboi warna hitam dan meletakkannya di atas kepala Bagas.”
Bagas tertawa. “Hahaha. Benarkah? Apa aku cocok dengan topi ini?”
Dina mengangguk. “Iya. Sangat cocok sekali.”
“Kalau begitu aku beli.” Bagas menyeringai.
Sementara itu Dion hanya diam saja. Dia seperti obat nyamuk di antara dua insan yang sedang berpacaran. Setelah membeli topi untuk Bagas, mereka juga mencoba berbagai jajanan kuliner yang lezat dan menggoyang lidah.
Dina dan Bagas tentulah sangat mesra sebagai pasangan kekasih. Mereka berdua sesekali saling suap-suapan. Ketika ada noda saus di bibir Bagas, Dina pun menyekanya dengan lembut. Di lain waktu, Bagas juga mengikatkan tali sepatu Dina yang terlepas. Semua pemandangan itu agaknya sedikit menganggu Dion.
Entahlah.
Dion juga tidak mengerti. Namun semua kemesraan yang ditunjukkan oleh Dina dan Bagas itu terasa mengganggunya.
“Eh, itu ada di sana rame sekali!” tunjuk Dina.
Tatapan Dion dan Bagas pun beralih ke arah telunjuk Dina. Terlihat kerumunan orang yang sangat ramai mengantri.
“Ayuk ke sana!” ajak Bagas.
Dina mengangguk senang dan berjalan seraya bergelayut di lengan kekasihnya itu. Sementara Dion, melangkah lambat di belakang mereka sambil tersenyum kecut.
Ternyata di balik keramaian itu adalah sebuah wahana panahan dengan kumpulan hadiah yang menarik.
Tatapan Dina pun beralih pada sebuah boneka beruang ukuran besar warna cokelat dengan dasi kupu-kupu warna biru. Sang pemilik wahana itu pun terus bersorak dengan pengeras suaranya.
“Hadiah utama bisa dimenangkan jika berhasil memanah tepat sasaran sebanyak lima kali berturut-turut. Jika gagal… maka hitungannya dimulai lagi dari awal,” ucapnya nyaring.
Dion langsung berdecak. “Cih. Licik sekali. Siapa juga yang bisa memanah tepat sasaran berturut-turut? Mereka hanya ingin menguras uang semua orang.”
Dina tidak menghiraukan perkataan Dion dan malah meminta Bagas untuk ikut bermain. “Kamu ikut main ya! Aku mau boneka itu!”
Bagas mengernyitkan dahi. “Sejak kapan kamu suka boneka, ha?”
“Aaaah. Lihat deh itu bonekanya lucu sekali.” rengek Dina.
Bagas mengembuskan napas pendek. “Aku nggak terlalu jago main panahan. Pasti nggak akan dapet. Aku beliin aja boneka yang sama persis ya!”
Dina menggeleng. “Nggak mau. Aku maunya boneka yang itu! Kesannya akan beda antara yang dibeli sama yang didapat dari hadiah menang games.”
Bagas mengerutkan kening. Merasa heran dengan tingkah Dina malam ini. “Kamu kenapa jadi manja sekali malam ini? Gemesin deh!”
“Jadi nggak boleh?” Dina langsung cemberut.
“Boleh banget malah! Aku emang mau kamunya kayak gini.” Bagas mencibit pipi Dina pelan.
Dion benar-benar gerah. Dia juga merasa aneh dengan sosok Dina yang mendadak menye-menye tak jelas kepada Bagas. Karena bujukan Dina, alhasil Bagas mengikuti permainan itu. Dia membeli tiket untuk bermain sebanyak enam kali sekaligus.
Dina yang berdiri di sampingnya pun kini memberi semangat sambil bertepuk pelan.
“Ayo. Kamu pasti bisa.”
Bagas tersenyum. Ia juga tampak bersemangat. Permainan itu pun di mulai. Tapi seperti perkataannya, Bagas memang tidak ahli sama sekali dalam bermain panahan. Jangankan mengenai sasaran. Menempel pun tidak anak panah itu di papan sana.
Tapi Dina terus saja menyemangatinya. Meski kegagalan beruntun pun terus terjadi. Hingga Bagas sudah menghabiskan semua tiketnya dan membeli tiga tiket lagi.
“Aku beneran nggak yakin, Din,” ucap Bagas.
“Mungkin aja kali ini kamu akan beruntung. Go… go… go…!” Dina menyemangati lagi.
Tapi nyatanya…
Bagas tetap tidak berhasil. Mengenai sasaran lima kali secara beruntun memang adalah hal yang sulit. Orang-orang sebelum Bagas pun belum ada yang berhasil. Seperti kata Dion. Tempat itu memang hanya ingin menguras uang pengunjung seperti Bagas saat ini.
“Ini kesempatan terakhir,” ucap Bagas kemudian. Hanya satu tiket yang tersisa.
Dion yang sedari tadi hanya diam. Tiba-tiba meringsek maju dan menengadahkan telapak tangannya.
Eh.
Dina menatap bingung. Pun demikian dengan Bagas.
“Sini gue yang main. Kalo gini terus… bisa-bisa kita di sini terus sampai pasar malamnya tutup.” Dion tampak sedikit gusar.
Bagas mengangguk dan memberikan lima anak panah itu kepada Dion.
Sekarang Dion menggeser posisi Bagas.
Dia bersiap untuk mulai bermain.
Bagas terlihat tenang-tenang saja. Tapi Dina malah terlihat kesal karena Dion mengambil alih seperti itu.
Dan… lemparan pertama dilakukan.
TEPAT SASARAN.
Suara sorakan penonton langsung bergemuruh.
“Gila! Lo jago panahan ya!” Bagas pun langsung memuji.
Dion hanya diam. Dia menatap papan target di depan sana lekat-lekat dan kemudian melempar sisa anak panah di tangannya hingga habis.
Dua.
Tiga.
Empat.
Lima.
Kelima anak panah itu sudah di lempar. Dan semuanya… melekat di lingkaran pusat berwarna merah.
Sorak penonton semakin ramai. Sang pemilik tempat games itu bahkan ternganga sebentar.
Dion berhasil memenangkan hadiah utama. Dia berhasil mendapatkan boneka beruang raksasa itu.
Dan Dina kini terhenyak dengan tatapan Nanar. Dion pun berbalik menatap Bagas dan menepuk pundak lelaki itu pelan.
“Ambil bonekanya! Dan ayo pergi dari tempat memuakkan ini,” ucap Dion kemudian.