Handphone milik Dion yang tergeletak di atas meja langsung bergetar tepat ketika Dina mengirim pesan pada Rose. Perhatian Dina lekas teralihkan. Dia menatap handphone itu lekat-lekat. Perlahan jemari Dina bergerak hendak mengambil handphone itu. Tapi saat Dina hampir menyentuhnya, tiba-tiba sebuah tangan yang lain menjangkau handphone itu dengan cepat.
Deg.
Dina membeku saat Dion mengambil handphone-nya, lalu kembali melangkah pergi ke luar kelas dengan wajah kesal. Dan Dina pun masih melotot dengan napas tertahan. Setelah melihat Dion sudah tidak ada di kelas, barulah Dina mengembuskan napasnya.
“Haaaah.”
Dina mengatur napas sebentar. “Kenapa dia tiba-tiba muncul seperti itu, sih?”
Sementara itu di luar kelas. Dion terus berjalan menembus koridor, lalu berhenti melangkah setelah cukup jauh dari kelasnya. Dia lekas memeriksa handphone itu dan meringis,.
“Dia tidak mengetahuinya, kan?” desis Dion.
Setelah itu Dion pun segera membalas pesan dari Dina di akun i********: palsunya.
‘Maafkan aku Dina. Hari ini sepupuku datang berkunjung. Dia akan berlibur di sini selama dua hari. Anaknya agak rewel dan juga cerewet. Sepertinya dia akan sangat merepotkanku. Membuatku kesulitan untuk sekedar memeriksa handphone. Jadi maaf jika aku agak slow respon, ya.’
Dion selesai mengetik dan mengirimkannya. Hanya berselang beberapa menit kemudian, balasan dari Dina pun masuk.
‘Okey. Tidak masalah, nikmati waktumu Rose.’
Dion mengembuskan napas lega. Dia sengaja berbohong seperti itu karena dia akan disibukkan dengan turnamen futsal yang sudah dimulai. Sejauh ini Timo Dion dan Bagas terus melaju ke babak selanjutnya. Sejauh ini mereka juga belum menemukan lawan yang sepadan. Ibarat kata, belum ada tim lawan yang menyamai performa tim Garuda yang benar-benar bermain dengan sangat epik di lapangan.
“Hei Dion…!” hardikan itu membuat Dion menoleh.
Pemilik suara itu adalah Bagas yang baru saja datang. Dia masih menyandang ransel di punggungnya.
“Morning, Bro. Gimana kabar lo hari ini?” Bagas langsung tersenyum.
Dion tertawa. “Apaan dah. Kayak udah lama nggak ketemu aja lo sama gue.”
“Hahahaha.” Bagas tertawa.
Dion menatap bingung. “Kenapa lo baru nyampe? Bukannya lo bareng Dina? Dina udah di kelas tuh.”
“Haha iya. Tadi gue udah nyampe bareng Dina. Tapi ternyata gue ninggalin buku tugas di rumah. Jadi terpaksa balik lagi ke rumah buat jemput itu buku.”
“Besok-besok kepala lo yang ketinggalan di rumah,” ledek Dion.
“Asem lo! Mana bisa kepala ketinggalan,” balas Bagas seraya tertawa.
Kedua lelaki itu bercanda dan juga sesekali bergelut. Sementara itu di ujung sana, Dina melihatnya dari pintu kelas. Dina berdiri di sana memandang keakraban antara Dion dan Bagas. Dina tidak menyukainya. Ingin rasanya Dina melarang Bagas berteman dan bergaul dengan Dion. Namun itu jelas tidak mungkin dan memang akan terkesan sangat berlebihan.
Dina hanya menghela napas pendek, lalu berbalik hendak masuk kembali ke kelas, tapi saat itu juga Bagas memanggilnya.
“Dina…!”
Sial.
Dina memejamkan mata sebentar. Dia tidak ingin berbalik. Dina tidak ingin ke sana. Tapi setelah itu Dina segera melangkah menghampiri kedua laki-laki itu.
“Malam ini kita main bareng, yuk! Udah lama nggak soalnya. Ada pasar malam di taman. Aku dapet infonya dari anak-anak yang lain,” ajak Bagas bersemangat.
Dina hanya tersenyum canggung.
Bagas kemudian menyikut Dion. “Mumpung malam ini kita free latihan. Iya, kan?”
Dion tertawa pelan. “Hahaha. Boleh juga sih.”
Dina meneguk ludah. “Tapi Rianti, kan sakit.”
Bagas menepuk jidatnya. “Oh iya. Rianti sakit ya. Gue lupa. Jadi gimana dong. Apa kita tunda saja.”
Dina mengangguk senang. Main bareng? Dina sekalipun bahkan tidak pernah menyukainya. Tidak pernah menikmatinya.
“Kita pergi bertiga aja!” ucap Dion tiba-tiba.
Eh.
Dina langsung melotot menatap Dion.
Lelaki menyebalkan itu juga menatap Dina sebentar sambil menyunggingkan senyum, tapi kemudian dia langsung menatap Bagas. “Kita pergi bertiga aja. Nggak masalah, kan? Gue juga butuh healing nih, soalnya dan udah lama juga nggak main ke pasar malam.”
Dina juga beralih menatap Bagas. Hendak menginterupsi, tapi Bagas malah memutuskannya dengan mudah.
“Oke! Kita pergi bertiga aja.”
Dina terpana. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Dion. Padahal mereka berdua baru saja cekcok di kelas. Tapi sekarang Dion bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa dan malah memberikan usulan yang terdengar gila.
Dina menghela napas sesak. Semua ini tidak bisa dibiarkan. Dina harus mencegahnya. Tapi belum sempat Dina berbicara, bel tanda masuk kelas berdering kencang memekakkan telinga.
Bagas langsung berpamitan dan berlari ke kelasnya.
Jemari Dina mengawang hendak memanggil Bagas kembali, tapi suaranya tak lagi keluar.
Dion pun melirik Dina dan tersenyum miring.
“Kenapa? Lo mau bilang ke Bagas kalo lo keberatan dengan rencana itu?” tanya Dion terus terang.
Dina mengembuskan napas panjang, lalu menatap Dion. “Sebenarnya motif kamu itu apa? Aku benar-benar tidak mengerti. Aku masih ingat bagaimana tatapan mata kamu terhadap Bagas di masa lalu. Kamu terlihat sangat membencinya. Tapi sekarang kamu malah akrab dengannya. Di sisi lain… dulu itu kamu memang terlihat seperti menyimpan rasa pada Rianti. Kamu terlihat seperti sedang berusaha mendekatinya, tapi kemudian kamu malah membuat dia patah hati seperti sekarang ini. Jadi semua sikap kamu itu benar-benar membuat aku bingung. Sebenarnya apa tujuan kamu? Kamu terlihat palsu. Senyuman yang kamu tunjukkan untuk Bagas sangatlah terlihat palsu dan AKU MENGETAHUINYA!”
Glek.
Dion agak tersentak mendengar perkataan Dina. Tapi kemudian dia tersenyum. “Jadi menurut lo sikap gue ke Bagas itu palsu?”
Dina mengangguk dengan wajah geram. “Yah. Sama seperti perlakuan kamu selama ini pada Rianti yang juga penuh dengan kepalsuan.”
Dion menatap Dina. Tanpa berkedip. Melipat tangannya di d**a, lalu tersenyum.
“Ternyata lo nggak d***u-d***u amat ya. Lo cukup pinter dan bisa ngebaca situasinya,” ucap Dion.
Dina terhenyak. Dia mengira bahwa Dion akan membantahnya, tapi… lelaki itu mengakuinya dengan mudah.
“Ya. Lo bener. Sikap gue ke Rianti dan Bagas juga palsu.”
“A-apa?” Dina menatap nanar. “Tapi kenapa? Kenapa kamu ngelakuin semua itu?”
Dion mengalihkan pandangannya sebentar. Menggaruk kepala, lalu kembali menatap Dina. “Iseng aja sih.”
Jawaban Dion membuat Dina melongo. Cowok di hadapannya itu ternyata benar-benar gi-la.
“Kenapa, Din? Apa lo mau mengadu sama Bagas?” Dion menyeringai. Dia tersenyum licik, mendekatkan bibirnya ke telinga Dina, lalu berbisik.
“Kalau lo mau ngadu silakan saja. Tapi… apa lo yakin Bagas akan AKAN PERCAYA…?”