81. Dia Biasa Saja

2250 Kata
“A-APA…?” Rianti menatap tak percaya. Dion pun menghela napas panjang dan kembali berkata, “Maafin gue.” Rianti menelengkan kepala. Masih merasa tidak yakin dengan jawaban yang diberikan oleh Dion. Bukankah selama ini Dion juga menunjukkan tanda-tanda bahwa lelaki itu menyukainya? Bukannya selama ini Dion selalu menampakkan sinyal bahwa dia jatuh hati pada Rianti? Tapi kenapa sekarang Dion berkata demikian? Semua diluar dugaan Rianti. Rianti mengira bahwa Dion hanyalah terlalu lambat dan takut untuk menyatakan perasaannya. Itulah alasannya kenapa Rianti berani menyatakan perasaannya lebih dulu. Tapi jawaban yang diberikan Dion nyatanya membuat langit terasa runtuh bagi Rianti. “J-jadi apa artinya selama ini?” tanya Rianti dengan tatapan nanar. “Apa arti dari semua kebaikan lo sama gue? Apa arti dari semua kepedulian dan perhatian yang lo kasih selama ini?” Dion menghela napas sesak. “Memangnya ada yang salah dengan itu semua? Gue memang memperlakukan teman seperti itu.” Rianti tersentak. Bibirnya kini sudah bergetar menahan tangis. Tapi kemudian ia malah tertawa. Suara tawanya itu terdengar getir. Sebuah tawa yang coba menghadang tangis di pelupuk mata. “Jadi lo nggak punya perasaan apa-apa sama gue?” tanya Rianti lagi. “Lo itu teman gue. Udah!” Jawaban itu tetap tidak membuat Rianti merasa puas. “Nggak! Semua sikap lo selama ini udah ngebuat gue berpikir kalo lo suka sama gue, Dion!” “Lo salah paham!” tukas Dion tak mau kalah. “Maaf kalau sikap gue selama ini udah ngebuat lo salah paham. Maaf kalo semua perhatian dan kepedulian yang gue berikan mendatangkan sebuah arti yang salah buat lo.” Air mata Rianti akhirnya jatuh juga di pipinya. Dia segera berpaling dan menyeka air mata itu. “Haaaah. Jadi selama ini gue yang salah paham?” Dion tidak lagi menjawab. Rianti pun mengangguk-angguk dengan susah payah. Berusaha menerima kenyataan yang teramat pahit itu. Dia berusaha tegar, tapi air mata terus saja mengalir. “Maafin gue. Lo berhak buat marah! Lo juga boleh memaki dan meneriaki gue. Agar hati lo puas. Lo juga boleh menampar gue kalo lo mau. Agar lo jadi lebih lega,” ucap Dion lagi. Rianti menatap Dion dengan mata yang sudah memerah. Dion pun menatapnya dengan tenang. Ia memberikan kesempatan pada Rianti untuk mengumpat padanya. Untuk marah padanya. Karena sejatinya Dion pun menyadari bahwa sikapnya selama ini pada Rianti memang sangat berlebihan. Dion tidak bisa menampik bahwa dia memang sudah mempermainkan perasaan Rianti. Sekarang Dion bahkan siap jika Rianti akan menamparnya sekalipun. Tapi ternyata… Rianti hanya menatapnya dengan mata yang basah, lalu kemudian melangkah pergi dari sana. Dion tertegun. Tapi kemudian dia menyadari sesuatu saat melihat dua sepeda di ujung sana. “Haaah. Dia meninggalkan sepedanya,” bisik Dion lirih. ** Rianti tiba di rumah saat Dina dan sang ibuk sedang menjemur kerupuk di halaman rumah. “Sepeda kamu mana?” tanya sang ibu. Rianti tidak menjawab dan langsung masuk ke rumah dengan langkah gusar. Dina pun mengernyit bingung. Dia melihat mata Rianti yang bengkak. Dina tahu Rianti sudah menangis. Tapi kenapa? “Lah, dia pergi bawa sepeda. Tapi balik-balik dia ndak bawa sepedanya pulang,” oceh sang ibu lagi. Dina hanya tersenyum. Tapi otaknya mulai berpikir. Apa yang sudah terjadi? Dina tahu bahwa hari ini Rianti bersepeda bersama Dion dan anggota klub sepedanya. Apa ada sesuatu yang sudah terjadi di antara mereka? Dina coba menerka-nerka. Namun kemudian dia menggelengkan kepala. Dina tidak mau memikirkan hal itu. Bukan urusannya. Tidak ada sangkut paut dengannya sedikit pun. Hingga malam menjelang, Rianti pun tidak keluar dari kamarnya. Membuat sang ibu menjadi khawatir. Sudah tak terhitung berapa kali sang ibu mengetuk pintu itu. Meminta Rianti keluar atau sekedar menjawab panggilan sang ibu. Tapi Rianti membisu di dalam sana. Kali ini sang ibu mengetuk pintu kamarnya seraya membawakan makan malam. “Rianti! Kamu kenapa toh? Ayo buka pintunya…! ibuk bawain makan malam buat kamu!” pekik sang ibu. Hening. Rianti tetap tidak memberikan respon apa-apa. Sang ibu semakin cemas. Dia coba mengetuk lagi. “Kamu itu kenapa? Kenapa tiba-tiba mengurung diri seperti ini?” Sang ibuk mengembuskan napas frustasi. Dia meletakkan piring makanan di atas meja dan duduk sambil memijit kepala yang berdenyut. Dina pun mengembuskan napas kasar. Dia melirik pintu kamar Rianti yang tertutup rapat. Setahu Dina, Rianti adalah tipikal yang akan tetap mengisi perutnya apapun masalah yang akan datang. Ketika sedang meribut besar sekalipun, Rianti tetap akan makan. Tapi kali ini Rianti benar-benar mengurung dirinya di sana. Tak lama berselang terdengar suara ketukan pintu dari luar sana. Sang ibu mengernyit. Dina pun juga meyipitkan matanya. “Siapa yang bertamu malam-malam seperti ini, ya?” desis sang ibu. Dina yang sedang duduk di kursi tamu, seraya membaca buku pelajarannya pun bergegas bangun. “Biar aku yang bukain pintunya, Buk.” “O iya.” Dina bergegas membukakan pintu. Dan ternyata…. “D-Dion.” Dion tersenyum canggung. “Hai.” Dina hanya menatap sebentar, lalu menoleh ke arah sang ibu. “Buk, ada Di--” “Gue cuma mau nganterin sepeda Rianti doang.” Dion lekas berkata. Membuat Dina kembali menatap padanya. Tatapan Dina pun beralih pada sepeda Rianti yang sudah diparkir di halaman. “Gue cabut dulu ya.” Dina hanya termangu, sementara Dion langsung berlari pergi. Dalam sekejab lelaki itu sudah menghilang di kegelapan. Sang ibu pun juga menatap bingung dan kini berjalan ke pintu dan berdiri di belakang Dina. “Apa katanya?” tanya sang ibu. “Dia nganterin sepeda, Buk,” jawab Dina. Sang ibuk mengembuskan napas panjang. “Apa mereka bertengkar?” Dina hanya berdehem dan tersenyum tipis. Enggan ikut berkomentar sesuatu yang tidak ia ketahui dengan pasti. “Mmm.…” Dina hanya merespon singkat. Sang ibuk kemudian geleng-geleng kepala. “Ya sudahlah. Anak muda jaman sekarang. Pusiiiing. Nanti kalo lapar dia pasti juga akan keluar sendiri.” Sang ibu kemudian beranjak untuk memulai pekerjaan rutinnnya dan Dina pun juga bersiap untuk membantu. Setelah itu keduanya tidak lagi membahas tentang Rianti. Hanya bercerita seputar resep dagangan sang ibu dan cara membuatnya. Hingga malam pun semakin larut, Dina dan ibu Rianti juga masuk ke kamarnya. Sang ibuk yang sudah kelelahan menjalani aktivitas seharian langsung terlelap dengan wajah letih. Sementara Dina melanjutkan aktivitas belajarnya dengan sebuah meja kecil di samping tempat tidurnya. Dina belajar menggunakan meja lipat yang baru saja dibelinya. Meja lipat dengan gambar kartun Doraemon itu dibeli seharga lima puluh ribu rupiah saja. Selain itu Dia juga membeli sebuah lampu meja yang kecil. Dan semua itu sudah cukup membuat suasana belajarnya menjadi lebih baik. Dina masih asyik membaca buku materi pelajaran bersama malam yang semakin larut. Sesekali dia juga membalas pesan sahabat online-nya, Rose. Mereka hanya membicarakan hal-hal yang lucu dan seru. Hingga kemudian Rose berpamitan karena dia sudah mengantuk. ‘Aku tidur dulu ya, Din. Aku sangat mengantuk sekali.’ Begitulah pesan yang dikirimkan oleh Rose. Dina mengerutkan kening. Agak bingung dengan pesan itu. “Bukankah Indonesia dan Belanda memiliki beda waktu yang sangat jauh?” Dina menggaruk kepalanya pelan, tapi setelah itu dia tersenyum. “Aah… mungkin saja dia itu tidur siang,” ucapnya kemudian. Tak mau ambil pusing memikirkan hal itu. Dina lanjut belajar. Hingga rasa kantuk itu pun datang. Sebelum tidur, Dina keluar kamar untuk menggosok gigi dan mencuci mukanya terlebih dahulu. Dia melakukannya dengan cepat karena sudah sangat mengantuk. Ketika akan masuk ke dalam kamar, Dina melirik pintu kamar Rianti sebentar. Pintu itu masih tertutup rapat. Tatapan Dina beralih pada makanan yang ditutup di meja makan. Semuanya masih tampak sama. Menandakan bahwa Rianti belum keluar dari kamarnya. “Haaaah.” Dina hanya menghela napas panjang, lalu masuk ke dalam kamar. “Aku sudah mengantuk sekali,” lirih Dina. Ia langsung berbaring, menarik selimut yang hangat, lalu memejamkan mata. Dina bersiap untuk memasuki alam mimpinya, tapi kemudian… ia mendengar suara-suara aneh. Dina memiringkan wajahnya, masih dengan mata terpejam. Suara itu masih terdengar. Suara apa itu? Suara jangkrik? Bukan. Suara angin? Rasanya juga bukan. Suara itu mirip dengan suara rintihan. Dan ketika Dina coba mendengarkannya dengan lebih seksama lagi, dia tahu bahwa itu adalah suara tangisan. Deg. Dina membuka matanya. Suara tangisan itu jelas berasal dari kamar sebelah. Suara isak tangis itu bahkan terdengar semakin jelas di tengah kesunyian. Malam ini… Rianti menangis. ** Pagi harinya, masih tidak ada tanda-tanda dari Rianti. Dina sudah selesai berpakaian, juga sudah menyelesaikan sarapannya, tapi Rianti tidak juga terlihat. Tapi sekarang Rianti tidak mengunci pintu kamarnya lagi. Sang ibu sekarang sudah berada di dalam sana. Sang ibu mendekat dan Rianti hanya menatapnya sebentar, lalu kembali menarik selimut hingga menutupi wajah. Sang ibu duduk perlahan di tepi ranjang. Sedikit menghela napas panjang sebelum mulai bicara. “Kamu kenapa?” tanya sang ibu. Rianti tidak menjawab. “Ada apa toh? Kamu ndak mau cerita sama ibuk?” Tetap sunyi. Sang ibu mengangguk-angguk. “Ya sudah kalau kamu ndak mau cerita. Tapi sekarang kamu harus bangun. Nanti telat ke sekolahnya.” “Aku nggak sekolah.” Rianti bersuara kali ini. Sang ibu mengernyit. “Aku tidak enak badan,” ucap Rianti lagi. Sang ibu enggan berkomentar lebih jauh dan akhirnya memilih keluar saja dan kembali menutup pintu kamar itu. Bertanya lebih banyak hanya akan membuat Rianti mengamuk nantinya. Sang ibu sudah hapal sekali tabiat anak semata wayangnya itu. Suara deru motor di halaman membuat Dina bergegas memasang tali sepatu Bagas sudah datang menjemputnya. Bersamaan dengan itu sang ibu juga keluar dari kamar Rianti dan Dina segera menghampirinya. Dina langsung salim dan berpamitan. “Buk aku pergi dulu, ya. Bagas udah di depan.” Sang ibu mengangguk. “Ibuk minta tolong ijinkan Rianti ya. Katanya dia tidak enak badan.” “Tidak enak badan?” tanya Dina. Sang ibu hanya mendesah, lalu mengangguk. “Katanya begitu.” Dina menatap ke kamar Rianti sebentar. Melirik dari pintu yang sedikit terbuka itu. Tapi kemudian ia kembali menatap sang ibu dan mengangguk. “Baik, Buk. Nanti akan aku mintakan ijin ke kelasnya.” “Bekal kamu sudah dibawa toh?” ingat sang ibuk. “Sudah, Buk.” Setelah itu Dina bergegas menghampiri Bagas yang sudah menunggu di motor. “Si Dion kok belum nongol. Apa mereka udah pergi duluan?” tanya Bagas. Dina menghela napas, lalu menjawab sambil memasang helm-nya. “Dion nggak akan datang. Rianti juga tidak sekolah hari ini.” “Kenapa?” “Rianti sakit.” Dina pun enggan membahas lebih jauh perihal Rianti dan Dion. Yang jelas sekarang ini Dina sudah tahu bahwa ada sesuatu hal buruk yang terjadi antara mereka berdua. Namun apa pun itu, Dina sedikit banyaknya sudah bisa menebak. Toh, Dion memang sudah jauh-jauh hari mengatakan bahwa ia tidak menyukai Rianti sama sekali. Setiba di sekolah, Dina langsung bergegas ke kelasnya. Ternyata sosok sang murid baru sudah duduk di kursinya. Dion terlihat sedang sibuk menulis. Dina pun melangkah lebih dekat. Suasana kelas itu masih sunyi. Saat ini hanya ada mereka berdua di sana. Seorang murid berkacamata sempat berlari masuk ke dalam kelas, tapi setelah meletakkan tasnya di atas meja, dia kembali menghambur keluar. Dina menghela napas panjang, lalu juga duduk di bangkunya. “Selamat pagi!” Dion menyapa ramah tanpa menatapnya. Dina tidak menjawab. Dia hanya duduk dan kemudian juga mengeluarkan beberapa buku pelajaran. Dina ingin mengulang sedikit hafalannya. “PR Fisika lo udah selesai?” tanya Dion. “Udah.” “Yang nomer delapan itu lo bisa nggak? Gue agak stuck di sana. Salah mulu. Padahal rumusnya udah bener. Tapi kenapa hasilnya malah gak ada di opsi jawaban ya?” Dina hanya bisa mengembuskan napas pendek. Dia sebenarnya tak ingin berinteraksi dengan Dion pagi ini. “Nih, coba lo liat deh… gue udah bener, kan? Tapi kenapa jawabannya malah nggak ada di opsi pilihan gandanya?” Dion malah meletakkan bukunya di depan Dina. Dina menatap Dion lekat-lekat. Hanya menatapnya saja. Tak terlihat rasa bersalah sedikit pun tergurat di raut wajah itu. “Liat jawaban gue dong! Jangan liat wajah gue… gue tau kok, kalo gue cakep, tapi jangan segitunyalah,” sergah Dion sambil cengengesan. Dina menghela napas gusar. “Hari ini Rianti nggak masuk ke sekolah.” Hening sebentar. Tapi kemudian Dion kembali bersuara. “Kalo soal yang satu ini bener, gue yakin bakalan dapet nilai seratus.” “Rianti sakit! Dia mengurung diri di kamar dan juga tidak mau makan,” ucap Dina lagi. “Haaaah.” Dion mengembuskan napas kasar. “Lalu urusannya sama gue apa?” “Kamu yang sudah membuatnya seperti itu!” Dina menatap tajam. “Nggak! Bukan gue! Tapi harapannya sendiri,” bantah Dion. Dina mengangguk dan tersenyum sumbang. “Ah. Ternyata benar. Aku sudah menduganya. Jadi Rianti sudah mengetahuinya?” Dion meniup wajahnya yang terasa panas. “Kenapa lo jadi ikut campur? Bukannya terakhir kali lo sendiri yang menyuruh gue untuk memberikan sebuah kepastian sama dia?” Dina tersentak, tidak bisa berkata-kata dan kemudian memilih bungkam. Setelah itu Dion pun memasukkan bukunya ke dalam tas dengan gusar dan melangkah pergi sambil mengomel. “Padahal gue cuma mau nanya PR fisika nomor delapan,” omelnya. Dina pun terdiam. Sekarang merasa sedikit bersalah juga karena sudah ikut campur. Dina terdiam di kursinya. Merasa bingung dengan semua yang terjadi. Harusnya dia juga tidak peduli lagi terhadap apa yang terjadi dengan Rianti. Setelah cukup lama tertegun, Dina mengeluarkan handphone-nya. Bermaksud menyapa sang teman online, sekaligus ingin curhat di pagi ini. Tapi setelah Dina mengirimkan pesan. Drrrt… drrrrt…. Dina mendengar suara handphone yang bergetar. Tatapannya pun langsung tertuju ke kursi Dion. Ternyata handphone Dion tertinggal di sana. Mungkin terjatuh dari kantong celananya. Dina hanya meliriknya sebentar. Setelah itu dia kembali mengirimkan pesan lainnya pada Rose dan tepat setelah ia mengirim pesan ;agi… Handphone milik Dion lagi-lagi bergetar dan Dina kini menatapnya….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN